Estetika tidak akan muncul saat etika tidak dikedepankan. Persoalan perdebatan di Media Sosial misalnya, hari ini yang ada kita disuguhkan oleh pembodohan dan menghilangkan adat fouding fathers yang berdebat dengan etika sehingga estetika perdebatan itu terlihat. Dari sisi etimologi etika berasal dari Bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.
Menurut Abdurezak A.Hashi etika didefinisikan sebagai, "Ethics deals with those standards that prescribe what man out to do. It also addresses virtues, duties and attitudes of the individual and the society. In addition, ethics is related to customs, traditions as well as beliefs and worldviews. Artinya, etika adalah standar hidup bagi siapa saja, yang juga membahasa tentang kebajikan perihal tugas dan hidup masyarakat. Selain itu, etika juga terkait dengan adat istiadat, tradisi serta keyakinan dan pandangan dunia.Â
Dalam kacamata Islam etika ialah sistem yang dibentuk lewat nilai-nilai yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammada baik lewat perkataan dan kebiasaan dan tingkah lakuny, sehingga pembentukan etika itu kunci dari sesorang itu berakhlak atau tidaknya.Â
Hal ini juga sejalan dengan pendefinisian etika oleh Mohammad Manzoor Malik dengan mengatakan, "etika Islam sebagai satu disiplin yang lengkap hadir pada setiap persoalan etika, meliputi: konseptual, praktikal, normatif, aplikatif dan lain-lain. Dengan kata lain bahwa persoalan terjadinya perdebatan yang kadang menjurus pada kebencian akibat tidak adanya pemahaman tentang etika berkomunikasi.
Haryatmoko mengutip pandangan Boris Libois yang mengatakan, "Setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak, sebagai berikut:
Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap public. Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak  negatif dari logika Istrumental. Dengan demikian penerapan etika komunikasi dalam media sosial mempunyai peran penting mengantisipasi perdebatan yang tajam yang dapat berujung ke kekacuan sosial.
sisi lain, Barat memahami kebebasan bersuara pada sudut negatif sebagaimana pernyataan Rashid Al-Ghannoushi yang dikutip oleh Maszlee Malik dalam bukunya Risalah pemuda Muslim, dengan mengatakan, "Kebebasan yang sepatutnya dipahami ialah kebebasan untuk (melakukan) freedom to (Kebebasan untuk) bukan kebebasan yang Freedom from (Kebebasan dari).". Abdul  Karim zaydan mengemukakan ada empat syarat seseorang dapat  mengamalkan hak kebebasan bersuara bagi seorang muslim: pertama, niat yang betul; kedua, tidak mempunyai niat jahat; ketiga, mengikuti prinsip-prinsip Islam yang disepakati; menjaga akhlak-akhlak islamiah, yang menuntut seseorang tidak berkata buruk, caci maki.
Budaya mengemukakan hujah juga merupakan budaya Al-qur'an yang menuntut seseorang itu menjaga prinsip dan kepercayaan. Sebagaimana Allah berfirman, Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (Q.s Al-Baqarah: 111)
 Juga dalam Al-qur'an terdapat anjuran untuk melakukan perdebatan dalam berdakwah, Allah berfirman," Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.s an-Nahl : 125)
Budaya debat juga merupakan budaya para ulama salafussoleh. Dapat dilihat di banyak literature seperti Hilyatul Awliya karangan Abu Nu'aym Ahmad al-Asfahani. Lahirnya disiplin ilmu akidah yang dinamakan "ilmu kalam" pada zaman Abbasiyyah, dan pada zaman ini adalah puncak dari peradabat perdebatan dan budaya hujah dalam berbagai disiplin ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H