Hi readers, perkenalkan saya Boni. Sudah cukup lama saya tidak lagi menulis, jadi mohon maaf sebelumnya jika ada yang kurang di artikel saya ini. Tapi tunggu, eh kenapa jadi mau bahas Cinta di 80an sih, sekarangkan udah zaman milenial.
Alasannya cukup simple saya bukan mau cerita tentang kisah cinta di 80an yang di alami saya, tapi ini review saya dari pementasan "Cinta di 80-an" karya Ibas Aragi, yang baru saja di pentaskan oleh Teather Legiun.
Jujur saya tidak pernah menapakan kaki ataupun memiliki cacatan di tahun 80-an. Namun karya Ibas Aragi kali ini lagi lagi membuat saya bertepuk tangan dan layak diberikan standing ovation, saya benar-benar diajak untuk menghidupi era tahun 80-an. Dalam pementasannya tahun ini Teather Legiun dan Ibas Aragi mengajak semua penonton untuk kembali mengingat apa yg terjadi di tahun 80-an.
Kisah yang diangkat kali ini adalah kisah 3 keluarga yang hidup rukun dan bersahabat di suatu jalan yang di sebut Jl Cinta. Ketiga keluarga tersebut adalah keluarga pak Widyo Pranoto, seorang pegawai negri yang berkecukupan berserta istri dan 2 putranya , Cakra dan Pram yang masih SMA.
Di sebelahnya keluarga Pak Sumarna seorang Guru Idealis, beserta istrinya Nauli dan ke dua putrinya Dita mahasiswi yang pemikirannya idealis dan adiknya Viki yang masih anak SMA. Lalu di sebelahnya lagi tinggalah pak Lim yang memiliki toko beserta putranya Buana sang atlet bulu tangkis berprestasi.
Setiap keluarga memiliki kisahnya masing masing dimana kisah cinta antara putra putri mereka menjadi bumbu menarik dalam pementasan ini.
Dita mahasiswi dengan pemikiran idealis, dia memliliki cinta terhadap sosial dan politik. Dikisahkan Dita mengusung aksi bersama teman-temannya untuk membela hak rakyat zaman tersebut. Di sela-sela kejadian tersebut Cakra menyatakan cintanya pada Dita. Begitu pula dengan Viki dan Pram yang memperjuangkan kisah cinta mereka yang bertepuk sebelah tangan.
Sedangkan Buana, dia memiliki rasa cinta terhadap gadis kesukaannya dan kepada negara. Buana menjadi pahlawan bangsa sebagai atlet bulu tangkis. Ditambah kisah mengenai kasus pak Dibyo yang sangat identik dengan kebanyakan pegawai negri saat itu yang dihimpit atas dan bawah.
Kisah ini pun dikemas dengan sangat rapih dan sangat mudah dimengerti. Bagi saya yang bukan pecinta teater, karya Ibas Aragi ini sangat mudah dimengerti dan cocok untuk berbagai kalagan. Terutama bagi mereka yang baru pertama kali nonton teater, dijamin pasti langsung jatuh hati dengan pementasan ini.
Banyak aspek kehidupan yang dapat kita ambil dari pementasan ini. Mulai dari jaman 80-an rukun tetangga sangat tinggi, saling menolong pun menjadi hal yang sangat sering terjadi. Bahkan di zaman tidak adanya internet ketemuan pun sebatas omongan tanpa adanya ketik ketik mengkonfirmasi pertemuan tersebut.
Pertemanan pun sangat sederhana tanpa memandang bulu dan perbedaan. Tidak ketinggalan kisah Petrus (Penembakan Misterius) dan ketegangan Politik yang sering terjadi di era tersebut pun disisipkan sebagai pelengkap pementasan ini.