Mohon tunggu...
Bonifasius Marcello Rahardja
Bonifasius Marcello Rahardja Mohon Tunggu... Akuntan - Pelajar yang berjuang untuk masa depan

Saya masih anak SMA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Janji Kosong di Dunia Pendidikan

8 November 2024   20:28 Diperbarui: 8 November 2024   21:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus yang menimpa puluhan calon mahasiswa S3 ini berawal dari mimpi mereka untuk mendapatkan pendidikan tertinggi dan gelar doktoral dari sebuah universitas ternama di Manila. Mimpi ini dijual oleh seorang profesor ternama di Bekasi, yang menjanjikan akses ke program doktor dengan syarat pembayaran sejumlah biaya yang cukup besar. Sayangnya, janji-janji tersebut ternyata tak lebih dari kebohongan yang merugikan. Para korban, yang terdiri dari berbagai kalangan, termasuk dosen dan pekerja profesional, merasa tertipu setelah mengetahui bahwa program tersebut tidak pernah ada, dan uang yang telah mereka keluarkan tidak pernah kembali. Kejadian ini bukan hanya menyisakan kekecewaan, tetapi juga mempertanyakan integritas akademik dan tanggung jawab seorang pendidik.

Penipuan akademik seperti yang menimpa calon mahasiswa S3 di Bekasi ini memperlihatkan perbedaan mencolok dalam standar etika pendidikan tinggi di berbagai negara. Di negara-negara maju seperti Jepang, institusi pendidikan yang terakreditasi secara ketat tidak hanya bertanggung jawab dalam memberikan kualitas pendidikan terbaik tetapi juga dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Universitas-universitas di Jepang, misalnya, memegang prinsip bahwa kejujuran akademik adalah fondasi utama dari dunia pendidikan, dan segala tindakan yang mencederai kepercayaan publik akan menghadapi sanksi yang tegas. Di Indonesia, sayangnya, praktik-praktik yang merugikan mahasiswa masih terjadi karena lemahnya pengawasan terhadap lembaga dan oknum pendidik. Perbedaan ini mencerminkan perlunya standar yang lebih ketat dalam menyeleksi dan mengawasi lembaga pendidikan serta para pengajar agar dunia pendidikan kita dapat lebih dipercaya.

Bayangkan seorang calon mahasiswa, mungkin seorang dosen yang ingin meningkatkan kredibilitas akademiknya dengan meraih gelar doktor. Ia menyisihkan tabungan bertahun-tahun demi membiayai program doktoral impiannya. Dengan penuh harapan, ia menyetorkan sejumlah dana pada profesor yang menjanjikan akses mudah ke universitas luar negeri, yang sayangnya, ternyata tidak pernah ada. Kerugian finansial tentu sangat besar, tetapi kekecewaan pribadi dan hilangnya kepercayaan pada sistem pendidikan lebih menyakitkan lagi. Bagi para korban, pengalaman ini bagaikan mimpi buruk yang menghancurkan niat baik mereka dalam mengejar pendidikan yang lebih tinggi.

Kasus-kasus penipuan akademik seperti yang dialami oleh para calon mahasiswa S3 di Bekasi ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Di berbagai daerah, muncul pula laporan serupa tentang lembaga atau oknum yang menawarkan pendidikan berjenjang tinggi dengan iming-iming cepat lulus tanpa prosedur yang jelas. Misalnya, beberapa waktu lalu di sebuah kota besar, ada kasus lembaga yang mengklaim bekerja sama dengan universitas internasional dan menawarkan program S2 instan. Setelah mahasiswa menyetorkan biaya yang tinggi, mereka baru menyadari bahwa gelar yang didapatkan tidak diakui oleh pemerintah dan dunia kerja. Hal ini menunjukkan bahwa praktik-praktik yang merugikan mahasiswa bukan hanya terjadi sekali dua kali, tetapi sudah menjadi masalah yang membutuhkan perhatian lebih serius.

Tragedi penipuan ini benar-benar memalukan dan sangat mencoreng dunia pendidikan kita. Bagaimana bisa, seseorang yang seharusnya berperan sebagai pendidik dan teladan justru merusak harapan orang-orang yang mempercayainya? Institusi pendidikan yang sejatinya adalah tempat membentuk karakter dan mencerdaskan generasi muda kini justru dicemari oleh aksi tak bertanggung jawab seperti ini. Sudah saatnya pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lebih serius dalam menindaklanjuti kasus semacam ini. Selain itu, masyarakat juga perlu lebih berhati-hati dan kritis dalam memilih lembaga atau program pendidikan yang ditawarkan, agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi.

Penipuan dalam dunia akademik ini layaknya rayap yang menggerogoti fondasi sebuah rumah. Awalnya, mungkin hanya tampak kecil dan sepele, tetapi lama-kelamaan, jika dibiarkan, seluruh bangunan akan roboh. Begitu pula dengan pendidikan kita: jika integritas pendidik dan lembaga terus-menerus dikorbankan demi keuntungan pribadi, maka kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan akan runtuh. Pendidikan yang seharusnya menjadi tiang penyangga kemajuan bangsa justru hancur oleh perilaku segelintir oknum yang mengkhianati amanah mereka.

Di tengah keinginan besar masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi yang berkualitas, lembaga pendidikan harusnya hadir sebagai sumber inspirasi dan pembimbing yang tulus. Kampus dan universitas, seharusnya, adalah tempat di mana nilai-nilai integritas, kejujuran, dan kedisiplinan ditegakkan dengan kuat. Mahasiswa yang memasuki ruang kelas harus merasa yakin bahwa apa yang mereka pelajari dan capai adalah buah dari kerja keras dan nilai moral yang baik. Namun, kasus penipuan akademik seperti ini menciptakan suasana yang bertolak belakang, di mana harapan akan pendidikan berkualitas berubah menjadi pengalaman pahit yang menumbuhkan ketidakpercayaan dan kekecewaan mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun