Ketika kita melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi passion/gairah, tentu hasil yang dicapai pun akan lebih maksimal. Dan butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk bisa mencari apa sebenarnya passion saya, serta bagaimana cara untuk mewujudkan passion yang kadang kerap dianggap sebagai bentuk keidealismean berlebih oleh beberapa pihak yang kontra.
Banyak hal yang saya coba untuk lakukan sebelum akhirnya benar-benar berjodoh dengan sesuatu yang kemudian saya yakini sebagai passion hidup saya, terutama dalam berbisnis. Ketika itu, saya benar-benar yakin bahwa saya adalah orang yang amat sangat payah jika harus bekerja di bawah perintah orang lain. Terbukti dengan berbagai "prestasi" kegagalan yang saya dulang berkat ketidakberhasilan saya untuk mengizinkan ada telunjuk selain milik saya yang memerintah. Yah, selepas SMA saya memutuskan untuk rehat 1 tahun dan menunda melanjutkan kuliah, meski saat itu saya telah mengantongi 1 beasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Cirebon.
Demi mengisi keluangan waktu tersebut, saya mencoba bekerja apa pun asalkan bisa menghasilkan uang. Pertama, saya bekerja di salah satu perusahaan asing di Bandung sebagai tenaga packing barang. Pekerjaan tersebut hanya mampu bertahan hingga kali pertama saya menerima gaji, tepatnya hanya 2 minggu saya bertahan untuk bekerja di perusahaan yang konon katanya cukup ketat dalam menyeleksi pegawai itu. Hal paling utama yang melatarbelakangi keputusan saya untuk hengkang dari pekerjaan yang baru seumur jagung dijalani tersebut, karena saya merasa kurang dimanusiakan oleh sesama pegawai yang kebetulan lebih dulu bekerja di sana ketimbang saya. Sulit menerima saat barang yang telah susah payah saya packing, lantas seenaknya dilemparkan ke wajah saya karena menurutnya hasil kerja saya kurang rapi.
Selepas mengemban status sebagai mantan pegawai perusahaan tersebut, kemudian saya mencoba bekerja di perusahaan yang nyaris serupa, namun kini di bidang quality control. Suasana dan lingkungan kerja yang ramah, nyaman, serta tanggungjawab kerja yang tidak terbilang berat, ternyata masih belum mampu juga membuat saya untuk sudi bertahan paling tidak hingga 1 bulan masa kerja. Well, saya kembali mengundurkan diri pada hari ke-26 saya bekerja, dengan alasan utama gaji yang kurang bisa menutupi apa yang telah saya keluarkan.
Setelah 2 kali gagal bekerja di perusahaan Bandung, lantas saya memutuskan untuk mencari peruntungan di Tangerang. Sekian belas surat lamaran saya tebar ke berbagai perusahaan, bahkan saya sampai rela naik-turun angkot, ojek, hingga bahkan berjalan kaki setiap harinya selama mencari pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Namun ternyata Tuhan masih belum berkehendak jika saya harus bekerja d jalur ini—jalur sebagai pegawai. Selalu ada kendala yang saya dapatkan, mulai dari telat hadir pada interview lanjutan akibat dari miss communication, hingga tertolak dengan paksanya saya karena enggan melepas jilbab—yang dalam keseharian selalu saya pakai—agar dapat bekerja di perusahaan yang memerlukan wanita berpenampilan menarik untuk menjadi pegawainya.
Merasa cukup gagal untuk merintis karir di rantau, saya kembali ke haribaan Ibu di kampung halaman Majalengka, dan terpaksa harus menerima apa pun keputusan dari ayah saya untuk keberlangsungan aktifitas hidup saya selama dalam masa penantian tahun ajaran baru perkuliahan. Akhirnya saya menuruti kemauan orangtua untuk mengisi waktu luang dengan hal yang lebih bermanfaat dibanding tidur-tiduran. Saya mulai membantu mengajar anak-anak usia 5-7 tahun di TPA/TPQ milik kerabat saya.
Well, setelah dijalani, pekerjaan ini terbilang tidak menyita waktu saya sama sekali, justru malah membuat saya bisa menebar manfaat untuk anak-anak didik saya. Bahkan, dengan menjalani kegiatan yang tidak sampai menyita 3 jam dari waktu yang saya miliki perharinya itu, sedikit banyak mampu menggiring saya menuju passion yang selama ini saya cari; menulis. Yah, meski menulis bukanlah hal yang baru bagi saya yang sejak SD hingga SMA sudah memiliki masing-masing satu buku berisi kumpulan puisi, kumpulan cerpen, bahkan hingga novel serial yang meski keseluruhannya hanya saya tulis tangan di buku catatan, namun kali ini saya menemukan sesuatu yang tidak hanya sekadar wadah penyaluran hobi, tapi bisa menjadi pemasukan finansial bagi saya.
Bermula dari keisengan saya membuka salah satu catatan facebook yang di-tag-kan oleh salah seorang teman, akhirnya membawa saya untuk turut keranjingan mengekor apa yang dia lakukan; mengikuti berbagai lomba kepenulisan di facebook. Berhubung ketika itu saya belum memiliki perangkat komputer jenis apa pun, lantas mau tak mau saya hanya bisa memanfaatkan cara manual; menuliskan cerita saya di buku catatan terlebih dahulu. Dan untuk menghemat biaya tarif warnet jika saya menyalin tulisannya langsung—sebab pengiriman naskah lomba melalui email ke panitia—maka saya mengetik tulisan saya tersebut di note facebook yang di-set private dengan menggunakan ponsel (jangan tanya bagaimana keramnya jemari saya), kemudian barulah saya pergi ke warnet untuk meng-copy-paste-nya di microsoft word sekaligus mengatur format penulisannya, setelahnya langsung mengirimkan naskah tersebut ke email panitia.
Semula orientasi saya dalam menekuni kegiatan yang terbilang baru tersebut bukanlah uang, melainkan just for fun, itung-itung sebagai media penawar rasa jenuh bagi saya yang memang type anak rumahan sekali jika sedang berada di kampung halaman. Namun lama kelamaan—terutama saat saya mulai memasuki tahun perkuliahan di rantau Yogyakarta—saya mulai sedikit "perhitungan" dengan hobi tersebut.
Berawal dari dorongan orangtua dan saudara-saudara yang meminta saya untuk mencari side job yang paling tidak bisa sedikit saja hasilnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan saya selama di rantau, akhirnya otak saya mulai berpikir serius tentang jenis pekerjaan apa yang sekiranya layak untuk orang dengan type seperti saya. Saran untuk melamar pekerjaan sebagai penjaga toko, penjaga warnet, dan sejenisnya dari keluarga saya coret mentah-mentah dari daftar pekerjaan yang layak bagi saya. Sebab sudah dapat ditebak akhirnya jika saya memaksakan diri untuk bekerja di bawah perintah ketat orang lain lagi, dengan penghasilan yang menurut saya tidak pernah bisa sesuai dengan apa yang telah saya lakukan. Well, sebutlah saya adalah orang dengan tingkat kenarsisan begitu tinggi, yang kerap merasa bahwa saya—dengan segala keistimewaan bakat yang Tuhan berikan—berhak dan teramat pantas untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang bisa mereka berikan kepada saya.
Berkaca pada type saya yang sulit menerima perintah dan sulit merasa puas dengan apa yang mereka berikan sebagai bentuk penghargaan, maka saya memutuskan untuk berwirausaha. Jenis usaha pertama yang saya lakukan adalah menyewakan buku-buku koleksi saya yang diperoleh dari hadiah lomba-lomba menulis yang telah saya ikuti. Meski tidak terbilang gagal, namun nyatanya usaha ini tidak bisa membantu banyak bagi perekonomian saya. Dan yang pasti saya belum bisa menunjukkan apa-apa untuk meyakinkan pada keluarga bahwa saya mampu menuai hasil dengan cara saya sendiri, sesuai dengan sesuatu yang saya sebut passion. Kemudian saya beralih pada jenis usaha penjualan buku-buku dan batik secara online, dengan memanfaatkan pangsa pasar facebook saya yang terbilang luas, dan kemudahan dalam memperoleh barang yang saya jualkan tersebut dari kawasan pasar Malioboro dan sekitarnya di Jogja.
[caption id="attachment_284725" align="aligncenter" width="300" caption="Perjalanan menuju Pasar Malioboro"][/caption]
Penghasilan saya memang terbilang cukup fantastis untuk kapasitas keluarga kami, namun lagi-lagi itu masih belum cukup menuntaskan hasrat saya yang kerap merasa bahwa saya berhak dan pasti bisa untuk memperoleh sesuatu yang lebih dari itu. Terlebih penghasilan tersebut baru mampu untuk saya gunakan dalam pemenuhan kebutuhan pribadi saja, belum bisa ikut saya cicipkan bagi keluarga dan orang lain. Selain itu, kendala dari jauhnya jarak antara pasar dan tempat kost saya yang biasanya saya tempuh hanya menggunakan sepeda onthel, juga kesulitan saya dalam mempromosikan produk saya secara rutin sebab saat itu saya belum memiliki komputer juga—hingga harus bolak-balik warnet atau perpustakaan kampus untuk akses komputer dan internet gratis—menjadi beberapa alasan saya untuk kembali mencari bidang usaha lain yang benar-benar passion saya.
Dan pada akhir Mei tahun lalu, saya berhasil menemukan serpihan passion saya yang lain. Tercetuslah ide besar untuk menjadikan hobi yang selama ini digeluti sebagai lahan bisnis yang sekiranya mampu menghasilkan fee jutaan rupiah atau paling tidak setara dengan mereka yang bekerja di bawah perintah, meski pekerjaan itu hanya saya lakoni di balik balutan selimut kumal. Lahirlah usaha penerbitan buku indie—Penerbit Harfeey.Impian yang tercetus pada sekitar pukul 11 malam tanggal 27 Mei 2012 itu, kemudian langsung saya realisasikan keesokan harinya. Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta adik saya yang berada di Jakarta (saya di Yogyakarta) untuk membuat design logo.
[caption id="attachment_284723" align="aligncenter" width="300" caption="Logo Penerbit Harfeey"]
Sebagai permulaan, saya membeli satu buah netbook yang harganya paling murah (sekitar 2 jutaan, karena saat itu saya tidak mementingkan kualitas, tapi netbook yang harganya sesuai dengan budget yang saya miliki). Akhirnya, dengan berteman netbook tersebut, saya bisa menjalankan pekerjaan yang sesuai passion saya ini, mulai dari mempromosikan paket penerbitan, memrosesterbitkan naskah yang masuk, menjual buku-bukunya, mengadakan event lomba, dan lain sebagainya, yang keseluruhannya hanya saya lakukan di balik layar virtual.
Perjalanan saya untuk merealisasikan Harfeey pun berlanjut, saya mulai membuat akun facebook khusus untuk usaha Penerbit Harfeey. Dan bertanya pada Ibu-ibu senior di satu grup kepenulisan facebook tentang cara membuat penerbitan indie, terutama tentang pembuatan akta notaris agar usaha penerbitan saya legal di mata hukum. Semula saya nyaris drop saat teman penulis yang lebih dulu membuka usaha penerbitan indie menginfokan jika tarif untuk membuat akta notaris itu Rp3.500.000,-, teman lainnya menginfokan lebih “murah” lagi, yakni Rp1.500.000,-.
Saya nyaris terpuruk karena merasa tidak ada yang bisa saya mintai untuk pinjaman uang (karena seumur hidup saya tidak terbiasa/dibiasakan untuk meminjam uang). Untuk meminjam pada orangtua pun tidak mungkin karena saya berjanji pada diri sendiri, untuk tidak memberitahu tentang niatan saya dalam membuka usaha ini sebelum ada “hasil” yang jelas tampak nyata berwujud materi. Namun saya terus berusaha mencari jalan. Prinsip saya juga saya tidak akan mencari uang yang sesuai dengan tarif, tapi saya mencari tarif yang sesuai dengan uang yang bisa saya kumpulkan untuk membayarnya.
Puji syukur, Allah Maha Baik kembali memainkan peranannya dalam setiap titian langkah-langkah kecil saya, Dia mengutus seorang Ibu di salah satu grup itu (yang kalau tidak salah orang Makassar, maaf saya lupa T_T) untuk memberi info bahwa dia memiliki penerbitan dan saat mengajukan untuk pembuatan akta notaris, tarifnya hanya Rp500.000,-. Saya mulai kembali optimis, walaupun saya tau jika tahun pembuatan akta Ibu tersebut adalah tahun 2006.
Saya mulai mencari lokasi kantor notaris di Jogja yang sekiranya paling dekat dengan tempat domisili saya, melalui google map. Beberapa nomor telepon notaris saya kantongi dan mulai saya hubungi satu-satu. Dan... alhamdulillah, lagi-lagi Allah Yang Maha Baik memudahkan jalan saya dengan tidak mempertemukan saya dengan oknum notaris “nakal”, dari semua notaris yang saya tanya keseluruhannya menjawab bahwa tarif untuk membuat akta notaris adalah Rp500.000,-. Allahu Akbar.
Perjuangan tidak lantas selesai sampai di situ. Saya ingat hari itu tepat satu minggu sebelum bulan suci Ramadhan, dan mayoritas mahasiswa perantau di Jogja sudah pulang ke kampung halaman masing-masing guna menikmati libur panjang 3 bulan lamanya. Memang semenjak saya bisa dengan cukup jeli melihat peluang bisnis, sejak bulan Maret 2012 saya sudah tidak menggantungkan kebutuhan finansial pada orangtua saya lagi, namun uang yang saya peroleh dari berjualan buku-buku dan baju via online pun hanya cukup untuk bayar kost, kuliah, dan biaya hidup saya sehari-hari di perantauan.
Dan ketika itu kebetulan tabungan saya tidak sampai Rp500.000,- saya kembali galau. Dengan mempertebal wajah, akhirnya saya beranikan diri untuk meminjam uang pada kakak saya yang berdomisili di Tangerang. Semula saya merasa ragu dan tidak enak, apalagi yang menransfer uang pinjaman itu adalah kakak ipar saya—istri dari kakak saya—dikarenakan kakak saya sedang ditugaskan di daerah pulau Kalimantan. Ada rasa khawatir jika saya dianggap benalu dan hanya berbasa-basi untuk meminjam uang yang padahal niatnya minta.
Namun saya berusaha keras untuk melunasinya sesuai janji saya di awal saat meminjam uang pada kakak saya, SATU MINGGU lagi saya bayar. Demi Allah, saat mengikrarkan janji itu sebetulnya saya pun masih bingung akan mendapat uang dari mana, sementara untuk gencar mempromosikan jualan saya pun, setidaknya saya harus lebih sering ke warnet karena saat itu saya belum memiliki laptop, dan itu artinya saya harus mengeluarkan cukup banyak uang untuk berwarnet ria setiap harinya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar... tak lelah saya kabarkan jika lagi-lagi Allah mempermudah jalan saya menuju gerbang pendewasaan. Saya bisa dengan gencar promosi jualan online dengan cara memanfaatkan fasilitas penggunaan komputer dan internet gratis di perpustakaan kampus. Tak jarang saya pulang hingga ba’da isya meski lelah berdiri (karena tidak disediakan tempat duduk). Dan tak lelah juga saya bolak-balik dari kost saya di dekat UIN Jogja menuju pasar Bringharjo di kawasan Malioboro, menggunakan sepeda onthel yang sebelumnya alhamdulillah mampu saya beli dari hasil usaha jualan online saya (dengan sedikit tambahan dari orangtua, hehe). Puji Tuhan, TEPAT satu minggu setelah pinjaman dari kakak saya dapatkan, saya berhasil mengumpulkan uang lebih dari Rp500.000,- yang kemudian langsung saya gunakan untuk melunasi hutang saya. Meski saya yakin kakak saya akan sangat penuh dengan pemakluman jika pun saya belum mampu melunasi dalam waktu singkat, tapi bagi saya yang penting saya berusaha dulu dan terbukti Allah memberi jalan.
Selama satu minggu sebelum Ramadhan itu saya menunggu jadwal untuk bertemu dengan notaris, guna penandatanganan dari akta notaris yang semula data-data yang perlu dikirimkannya sudah saya kirim via email. Sekitar hari kelima bulan Ramadhan, saya berangkat ke kantor notaris sendirian dengan menggunakan sepeda onthel saya, untuk mengambil akta CV Penerbit Harfeey yang sudah jadi. Awalnya orang-orang di kantor itu cukup heran dan kurang menyangka kalo saya adalah orang yang selama ini mereka panggil “Ibu Lily”, karena... well, tampilan fisik dan usia saya yang memang mini dan masih anak bawang (xixixi). Namun mereka mengungkapkan kekagumannya karena anak muda (atau kecil?) seperti saya sudah mau dan berani membuka usaha sendiri. Yah, keberanian saya dalam berwirausaha semata karena dilatarbelakangi oleh kepayahan saya jika harus bekerja di bawah perintah telunjuk orang lain. Passion saya bukan di jalur sana.
Dan lihat sekarang, meski—katakanlah—dulu saya kerap dianggap selayaknya produk gagal oleh para kerabat yang beranggapan bahwa sikap pemilih saya dalam menentukan pekerjaan yang cocok, adalah alibi dari alasan yang sebenarnya saya hanyalah malas dalam bekerja. Mereka tidak tau jika selama ini saya hanya mencoba mencari sesuatu yang benar-benar layak untuk menjadi lahan pekerjaan saya. Sesuatu yang bisa saya jalani paling tidak dengan minim atau bahkan sama sekali tanpa beban karena saya menyukainya, dan terpenting hasil yang saya peroleh bisa setimpal dengan apa yang telah saya lakukan. Mereka yang kemarin lalu memandang saya sebelah mata pun tidak, kini mulai menganggap keberadaan saya ada setelah saya membuktikan bahwa saya berhasil memperoleh penghasilan rata-rata Rp5.000.000,- perbulan (beberapa kali bahkan hingga mencapai 8 juta, tergantung dari keseriusan dan kerja keras saya).
[caption id="attachment_284724" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama sample buku terbitan Harfeey"]
Setelah menyimak tulisan ini, mungkin sebagian pembaca akan mengasihani saya dan beranggapan bahwa saya tumbuh dan lahir dari kalangan keluarga yang berkekurangan dari segi materi. Maka saya tekankan di sini, alhamdulillah anggapan itu tidak benar. Saya terlahir dan besar dalam keluarga yang meski tidak tergolong kaya, tapi juga tidak bisa dikatakan miskin, cukup sebutlah sederhana. Namun saya dan keenam saudara saya yang lain, sadar betul bahwa kami dibesarkan oleh orangtua yang menanamkan pada tiap-tiap diri kami bahwa, "Kerja keras dan tanggungjawab adalah bagian dari kehormatan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H