Saat itu usiaku empat tahunan di tahun 1998. Negara lagi dilanda krisis moneter. Bahan-bahan pokok mahal. Termasuk susu untuk balita. Itu kata ibu, saat aku menginjakan kaki di bangku SMP. Tahun 2005 keadaan ekonomi bangsa ini sudah membaik. Kebanyakan guru-guru di sekolah kami sudah menggunakan handphone genggam. Tapi sayang, keluarga kami dililit masalah ekonomi. Jadi, handphone bagiku ibarat barang antik. Ayah harus bekerja serabutan. Wajahnya lelah dan kusut karena seharian bekerja. Tapi tak pernah ia mengungkapkan itu semua kepada kami. Ia seorang ayah yang tegar dan bertanggung jawab.
Ayah selalu pergi pagi dan pulangnya pada malam hari. Itu berlangsung berhari-hari selama beberapa tahun. Saat itu aku sedang menempuh pendidikan di SMP. Entah sampai kapan masalah lilitan ekonomi keluarga kami berakhir? Tapi hari ini aku bangga pada ayah akhirnya aku sudah bisa berada ditahap seperti ini.
Oh iya, ayah memberi nama Darlin Nuhamara untukku. Darlin itu dari kata Darling yang berarti sayang. Kata ayah kepada ibu saat itu, aku adalah kesayangannya. Ayah akan berjuang berdarah-darah untuk kehidupan keluarga kami dan masa depanku. Makanya ia selalu membuktikan  janji-janjinya dengan kerja keras.
Ayah memang memiliki banyak tatto. Aku kerap dibully teman sebagai anak preman. Itu aku rasakan sejak aku berada di bangku SD kelas VI bahkan sampai di kelas XI SMP. Ayah selalu mengingatkan aku agar sabar menghadapi ejekkan teman-teman. Ayah selalu bilang, walau dunia membencimu ayah akan selalu sayang dan bangga padaku. Ayah tak pernah mengajari aku untuk membalas.
Disaat aku duduk di bangku SMA aku makin paham dengan pekerjaan ayah. Ayah hanya seorang security. Diajak sebagai security karena ayah dianggap mantan preman.
Disaat aku dibully aku tak pernah kecewa tapi tekadku terus belajar. Didikan ayah dan ibu yang penuh kasih sayang dan disiplin membuat prestasi belajarku di sekolah terus menanjak. Aku termasuk anak yang cerdas di sekolah kami. Makanya ketika lulus SMA aku mendapatkan beasiswa kedokteran disalah satu universitas negeri.
Ayahku memang hanya lulusan SMP. Dan ibuku seorang wanita berijazah SMA. Namun karena lama merantau di Bali mereka benar-benar sadar dan paham tentang kerasnya hidup. Kata ibu, ayah memutuskan hijrah dari dunia premanisme setelah menikahi ibuku. Mereka berdua akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman setelah mengumpulkan sedikit modal.
Di kota itu, mereka membuka usaha namun usaha mereka bangkrut. Ayah akhirnya memilih menjadi security di sebuah bank. Ayah beberapa tahun bekerja serabutan untuk membiayai hidup kami.
Perubahan sikap ayah membuat aku bangga. Dan semua orang pun bangga pada ayah. Beberapa saat lagi aku akan menjadi seorang dokter. Ayahku kini makin tua. Tapi diwajahnya selalu memancarkan semangat juang. Tapi yang lebih penting dari itu ia selalu setia menjaga ibuku dan membawa diriku ke tahap ini. Ayah, kamulah yang terhebat dalam hidupku.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H