Seorang ibu kelihatan akan memasuki ruangan itu. Ia agak malu-malu. Di depan pintu masuk ia sempat ingin melepaskan alas kakinya. Seorang pria muda (mungkin lima tahun di bawah saya) menepuk pundak ibu tadi agar membatalkan niatnya. Saya melihat kejadian itu karena saya duduk persis di depan gedung itu. Maklum penulis jalanan selalu ada di mana-mana.
Ibu itu pun keluar, di sampingnya ada pemuda itu. Dia mengantarkan ibu tadi di tempat di mana ia menjemputnya. Setelah ibu itu menjauh darinya, pemuda itu hanya menggelengkan kepala sambil memandang penuh rasa simpati.
Saya mendekat ke tempat di mana pemuda itu berdiri. Dengan sikap penuh rasa hormat saya mengajak pemuda itu ngobrol santai. Sebungkus LA Bold saya letakkan di atas meja. Ia pun mengeluarkan sebungkus Sampoerna Mild dari saku bajunya. Dia ini tak lain teman saya. Teman yang dikenal dari Facebook kemudian menjadi teman dekat.
Saya tanya kepada teman saya ini tentang sosok wanita tadi. Dengan singkat dia kasih tahu kalau ibu itu janda. Hidup di desa tapi gigih memperjuangkan hidup kedua anaknya. Suaminya sudah meninggal dunia. Demi kedua anaknya ia tak buru-buru kawin lagi.
Hari itu dia menemui teman saya ini untuk meminjam duit demi biaya pengobatan karena salah satu anaknya sakit.
Jawaban teman saya ini membuka kembali memori masa lalu saya setelah ayah (bapak) mati muda. Ibu (mama) jadi janda muda. Untungnya saya anak tunggal jadi tidak cukup membebani ibu. Apalagi di usia remaja saya sudah cukup mendiri walau hidup dalam kemiskinan.
Bukan hanya saya. Hari ini banyak anak-anak yang hidup bersama ibu mereka sebagai orang tua tunggal. Salut juga melihat ibu mereka berjuang "berdarah-darah" untuk menghidupi anak-anaknya.
Menjadi janda apalagi janda muda bukan perkara mudah. Dibutuhkan kekuatan luar biasa agar bisa hidup mandiri dalam kondisi tekanan psikis dan materi dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Apalagi ada beberapa anak yang menjadi tanggung jawab dia sebagai orang tua tunggal. Banyak yang gagal tapi tidak sedikit yang berhasil.
Teman juga bercerita tentang sosok ibunya yang menjadi inspirasi hidup bagi dirinya.
Mereka tiga bersaudara. Ibunya menjadi janda lantaran ditinggal pergi sama suami karena alasan tertentu. Mereka hidup tanpa ayah sejak kecil. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibunya bekerja serabutan. Menjadi tukang cuci, berjualan, dan mengerjakan apa saja yang penting halal.Â
Satu komitmen mereka bahwa apapun terjadi anak-anak harus tetap sekolah. Bagi mereka pendidikan adalah "the way" dalam usaha mengubah nasib.
Dengan kerja keras dan doa, ketiga saudara ini berhasil menamatkan pendidikan. Untungnya mereka dikaruniai kecerdasan yang baik. Mungkin juga karena komitmen mereka untuk selalu tekun belajar sehingga prestasi belajar mereka sangat baik, sejak SD sampai perguruan tinggi.
Usaha keras ibu mereka ditambah doa tulus seorang ibu membawa kakak sulungnya menjadi PNS. Dengan menjadi PNS yang jelas beban ibu mereka yang semakin renta berkurang. Selanjutnya kakak sulung bertanggung jawab atas mereka. Sampai hari ini si bungsu sudah menjadi seorang dokter. Penderitaan hidup membawa mereka dalam kesuksesan.
Sebagai guru saya mendapati beberapa anak didik saya bernasib sama seperti saya. Ketika saya tanya apakah nanti kalian akan kuliah?
"Tidak, Bapak e. Tidak punya uang," begitu jawab mereka.
Jawaban ini yang selalu keluar dari mereka. Ketika saya bertemu dengan orang tua mereka saya selalu bilang ayo bapak ibu lanjutkan anak-anak kalian ke jenjang pendidikan tinggi. Tapi apa? Ekspresi yang tampak adalah selalu pesimis.
Sebenarnya jika orang mau berusaha dan berjuang habis-habisan orang bisa sukses. Banyak kok orang sukses gagal berkali-kali sebelum membawa mereka pada tangga kesuksesan.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H