"Boleh tahu, siapa nama adik?" tanya Om Gabriel. "Shinta, om," jawabnya singkat. Cerita pun  berlanjut kalau Shinta kelas lima sekolah dasar pada sekolah yang ada di desa itu.
Pemuda bernama Gabriel itu terkejut saat tahu kalau gadis ini dipelihara oleh neneknya. Ibu dari gadis ini meninggal beberapa bulan setelah melahirkan Shinta. Selama ini ia bersama neneknya menetap di gubuk ini dalam kehidupan yang serba terbatas. Tidak ada perabot dapur yang istimewa. Semua yang ada hanya cukup untuk mereka berdua.
Sepertinya Shinta sudah terlatih untuk mandiri. Ia memanaskan air. Beberapa saat kemudian ia membawa segelas kopi ke pemuda itu. Berikutnya sepiring singkong. Neneknya Shinta yang semenjak tadi bak membisu entah alasan apa kali ini mempersilahkan pemuda itu mencicipi hidangan kampungan itu.
"Maaf Pak, tidak ada kue natal. Hanya ubi saja," kata nenek itu basa-basi.
"Tidak apa-apa mama, yang penting sudi terima saya, kalau boleh malam ini saya tidur di sini," kata Gaby sedikit memohon.
Dan saat itu mereka bertiga bercerita panjang lebar sampai larut malam.
"Pak, Â sebenarnya mau kemana malam-malam begini?"
"Begini oma, saya dokter PTT yang dikirim dari Jakarta. Saya baru mau bertugas di sini. Saya agama Kristen karena mau natalan, saya ingin natal bersama warga disini. Sekalian berkenalan dengan warga disini," jelas dokter Gaby.
Terlihat mimik bahagia terpancar dari wajah nenek itu. Baru kali ini mereka kedatangan tamu istimewa. Dokter Gaby menikmati segelas kopi dan menghabiskan beberapa potong singkong rebus. Sedangkan Shinta sudah terlelap dalam pangkuan neneknya. Kantuk tak bisa dielakan oleh mereka. Beralaskan tikar dokter Gaby menghabiskan malam di gubuk tua itu.
Keesokan hari dokter Gaby harus melanjutkan perjalanan ke salah satu Puskesmas di Desa itu tempat ia akan bertugas. Sekaligus ingin merayakan natal perdana di kampung dimana ia bertugas. Ia sedikit membersihkan beberapa bagian motor yang kotor agar tidak mengganggu perjalanannya. Ia mesti menempuh perjalanan 10 kilometer lagi. Iapun pamit tak lupa menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan ke penghuni gubuk itu.
Sempat nenek itu keberatan, pada akhirnya penghuni gubuk itu menerimanya. Cucu dan nenek itu melepaskan kepergian dokter Gaby dengan menitikan air mata.