Guru berbicara politik sebagai bonum commune: kebaikan bersama itu saja. Kalau lebih itu jelas pelanggaran.
Bagi saya ini pertanyaan kritis. Pertanyaan yang perlu dijawab mungkin harus pakai referensi hukum dan dilanjutkan dengan diskursus biar bisa jelas dan terang.
Kalau seorang guru yang aktif berbicara politik kadang ia dituduh melakukan praktik politik atau memiliki afiliasi dengan kelompok tertentu. Apakah benar?
Seharusnya kita melihat konten, konteks dan momentum pembicaraan baru kita membuat kesimpulan. Jangan langsung menuduh.
Jika politik yang seharusnya menjadi diskursus dalam konteks pendidikan dianggap tabuh bagi seorang guru (PNS) maka saya yakin ada sikap pembiaran dari guru ketika politik menempuh jalur pragmatisme dan ketika politik membangun budaya permisif.
Kita harus tahu dan sadar bahwa guru memiliki peran vital untuk memberi edukasi kepada peserta didik (SMP -SMA/ SMK) yang nota bene akan menjadi calon pemilih pemula. Kalau mereka tidak dididik yang baik jelas mereka menjadi pemilih buta. Padahal mereka-mereka ini kadang menjadi penentu atau kunci kemenangan.
Kita tak perlu alergi dengan politik. Karena politik itu tidak lepas dari berbagai aspek kehidupan manusia. Agama saja yang dianggap sebagai ruang privat dan bebas dari jangkauan politik malah menjadi sarana politik. Sarana untuk mendapatkan kekuasaan.
Agama sebagai ruang suci yang mempertemukan manusia dan Tuhannya kini menjadi pasar politik dan transaksi politik menjadi laris manis di sana. Saya pikir pola-pola menjadikan tempat ibadah sebagai arena politik bisa menjadi model baru di masa yang akan datang ketika akal sehat hilang kesadarannya dan nurani mati. Maka kita butuh sesuatu areal lain sebagai jalan pencerahan.
Ruang yang bisa mengembalikan dan mengendalikan alam sadar manusia tentu melalui pendidikan. Agama sulit mengendalikan tabiat politik karena agama ruang yang ekslusif-dapat membutakan rasionalitas dalam konteks politik.
Saya coba googling kira-kira masalah apa saja seorang PNS itu langsung dipecat?