Pada hari Minggu, 19/06/2016, Teman Ahok berhasil menggalang dukungan sejuta KTP untuk Basuki Tjahaja Purnama dan Heru Budi Hartono (Ahok-Heru). Sebenarnya persyaratan minimum KTP untuk calon independen sudah dicapai oleh Teman Ahok pada tanggal, 11/04/2016 lalu sebanyak 533.420 foto copy KTP dan formulir dukungan. Sedangkan syarat minimum dukungan untuk calon perseorangan di DKI Jakarta, yaitu 532.213 atau 7,5 persen dari jumlah DPT Pemilu sebelumnya.
Target satu juta KTP ini sesuai dengan permintaan Ahok sendiri bahwa dirinya akan maju melalui jalur independen jika Teman Ahok mampu mengumpulkan satu juta KTP. Pertanyaannya apakah dengan satu juta KTP ini bisa memuluskan langkah Ahok menjadi calon gubernur pada Pilgub DKI Jakarta 2017 nanti? Atau ada kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi?
Tersandera Aturan
Dalam konferensi persnya salah satu pendiri Teman Ahok, Singgih Widyastono, menyatakan pihaknya telah mengajukan judicial review UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, Jumat, 17 Juni 2016. Judicial review ini terkait dengan aturan verifikasi faktual secara sensus yang akan dilakukan oleh KPU.
Metode sensus ini maksudnya petugas PPS akan mendatangi langsung para pendukung calon perseorangan. Jika tidak bisa bertemu dengan pendukung calon perseorangan artinya tim pasangan calon harus menghadirkan pendukung ke kantor PPS paling lambat tiga hari. Tentunya prosedural ini bisa saja menggagalkan calon independen. Karena untuk bisa memfasilitasi warga DKI Jakarta dengan tingkat mobiltasnya tinggi diperlukan waktu yang cukup dan biaya politik yang tinggi. Padahal Teman Ahok adalah sekumpulan anak muda yang “terpanggil” karena mereka percaya bahwa Ahok masih menjadi calon gubernur terbaik untuk mengurai benang kusut masalah Jakarta.
Jika pada akhirnya melalui kalkulasi politik Ahok ternyata batal menempuh jalur independen bisa saja Ahok diusung oleh tiga partai politik (parpol) yang selama ini menyatakan diri mendukung Ahok tanpa syarat sebagai calon gubernur. Jumlah kursi dari tiga parpol pendukung itu kalau dijumlahkan mendapatkan total 24 kursi: Nasdem 5 kursi, Hanura 10 kursi, dan Golkar 9 kursi, dari syarat minimal 22 kursi anggota DPRD DKI Jakarta untuk bisa mengusungkan pasangan calon.
Kehadiran Golkar, yang diakui Ahok sendiri “terlalu cepat” tentu menghadirkan tanda tanya besar. Apakah Golkar “tulus” mendukung Ahok atau ada embel-embel politik dibalik dukungan tersebut? Realitas politik Golkar dalam konteks Pilgub DKI hari ini sebenarnya tidak cukup kuat untuk menggoyang kekuatan elektabilitas Ahok. Justru Ahok-lah yang akan mengatrol elektabilitas Golkar jika untuk kepentingan jangka pendek partai pada pilkada serentak di tahun 2017. Memang bukan untuk DKI 1, melainkan calon kepala daerah untuk daerah lain di Indonesia yang masih menganut politik primordialismenya. Popularitas nama Ahok cukup populer di Indonesia.
Bagaimana relasi Ahok dan Partai Nasional Demokrat? Relasi antara Ahok dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dari sisi benefit politik sangat menguntungkan Ahok. Walau ada kadar mutualistik disitu. Karena apa? Selain partai pertama yang menyatakan memberi dukungan tanpa syarat, ada media power. Untuk Pilkada sekelas DKI Jakarta kekuatan media tak bisa dielakan. Media power (tv, portal online, sosial network) sangat mempengaruhi mindset pemilih. Lihat saja, bagaimana peran media menghadapi serangan fitnah bertubi-tubi yang diarahkan ke Ahok. Dalam politik itu, media yang menjadi pendukung sebagai sarana dalam meng-cover black campaign yang dilakukan oleh lawan-lawan politik.
Rindu Terpendam Ahok
Hubungan Ahok dengan beberapa petinggi Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P) memang turun naik. Walau begitu, sebenarnya tidak mempengaruhi rasa rindu Ahok pada salah satu kader terbaik PDI-P yang sekarang menjadi wakil-nya di DKI, Djarot Saiful Hidayat. Beberapa kesempatan Ahok secara terbuka menyampaikan kepada media, dia sudah cocok dengan Djarot Saiful Hidayat.
“Kalau sudah ada istri lama ngapain lagi cari istri baru”, begitu kata Ahok.
Terpilihnya Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil gubernur DKI tidak terlepas permintaan pribadi Ahok kepada Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarno Putri. Perlu diketahui, awalnya PDI-P mengusulkan Boy Sadikin untuk menempati posisi wakil gubernur setelah Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai presiden pada pemilihan presiden tahun 2014 silam. Perubahan nama wakil diluar kesepakatan internal partai (PDI-P), setidaknya memberi gambaran kepada publik bahwa Ahok memiliki hubungan yang “mesra” dengan Ketua Umum PDI-P. Jangan heran walau disindir berkali-kali oleh elit PDI-P, Ahok terlihat adem ayem saja.
Selain memiliki relasi yang baik dengan Megawati, Ahok juga tetap memikirkan masa depan karir dan kepentingan politiknya. Pertama, politik jangka pendek Ahok. Kedua, politik jangkah menengah.
Pertama, kepentingan jangka pendeknya bagaimana modal politik Ahok seandainya dia benar-benar maju melalui jalur independen dan menang? Tentunya, PDI-P akan menjadi modal politik Ahok. Perlu diingat, PDI-P adalah pemenang pemilu legislatif (Pileg) DKI Jakarta dengan meraih 28 kursi anggota DPRD.
Dengan modal politik itu, PDI-P akan menjadi kunci sukses Ahok dalam setiap pembahasan anggaran dari Pemprov DKI Jakarta di dewan. PDI-P akan memainkan peran dengan menyebarkan pengaruhnya melalui lobi-lobi politik. Jika mandek dalam komunikasi politik, Ahok bisa saja meminta pengaruh Joko Widodo sebagai Presiden yang merupakan kawan lama Ahok.
Kedua, kepentingan politik jangka menengah ini berkaitan dengan bargaining politik di tahun 2019. Bagaimanapun Ahok, dia tetaplah seorang politikus. Bisa saja Ahok memiliki ambisi pribadi dalam menapaki karir politiknya. Dengan bantuan publikasi media, kerja nyata selama menjadi gubernur DKI Jakarta bisa menjadi modal politik Ahok. Bisa saja duet Jokowi – Ahok kembali terulang pada Pilpres tahun 2019.
Melihat potensi dan tantangan di atas, kemudian dengan politik yang serba mungkin, PDI-P bisa saja hadir sebagai pemain terakhir yang menentukan jalan politik Ahok diajang Pilgub DKI 2017. Suhu politik itu panas tapi dinamikanya selalu cair dan tidak mudah ditebak. Para analis politik boleh-boleh saja menebak tapi menentukan adalah mbah di Teuku Umar.
Dan Ahok boleh saja menjaga komitmen dengan pernyataannya bahwa dia akan setia bersama Teman Ahok. Dalam hal ini tentu berkaitan dengan etika politik. Tapi ingat, pada hari yang sama, Minggu, 19/06/2016 dalam konferensi persnya salah satu pendiri Teman Ahok, Singgih Wydiastono menyampaikan kepada publik: “dengan sejuta KTP bukan berarti Teman Ahok menyandera Ahok. Partai politik boleh saja mengusung Ahok yang penting bisa menunjukan bukti bahwa partai itu serius mengusung Ahok.” Kelihatan sekali Teman Ahok mulai lebih realistis.
Dengan pernyataan seperti ini dari Teman Ahok, PDI-P memiliki peluang mengusung Ahok di last minute. Skenarionya, Heru Budi Hartono secara mengejutkan akan mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai bakal calon wakil gubernur. Sudah ada berita sebelumnya bahwa Heru Budi Hartono akan mengundurkan diri saat setelah dirinya bertemu dengan wakil gubernur Djarot Saiful Hidayat. Mungkin juga skenario ini dibuat untuk meredam kekecewaan pendukung Ahok – Heru yang telah menyumbangkan KTP-nya dan menghindari masifnya politisasi negatif di masa kampanye nanti.
Selain itu, dengan menempuh jalur dari koalisi parpol (PDI-P, Nasdem, Hanura, dan Golkar) peluang Ahok memenangkan pilgub lebih terbuka lebar. Karena didukung kekuatan mesin politik, Teman Ahok, dan jaringan relawan yang sudah terbentuk. Modal politik lainnya yakni figur Ahok sendiri yang juga akan menentukan kemenangannya. Dengan adanya koalisi Parpol dapat menekan cost politik yang menjadi momok bagi calon perseorangan*
Salam gado-gado dari Penulis Gado-Gado
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H