[caption caption="gambar diambil dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id"][/caption]Angin semilir membelai-belai wajah saya ketika saya bersandar di Menara Syahbandar Batavia, yang sekarang menjadi museum bahari, tepatnya di jalan pasar ikan, penjaringan, Jakarta Utara. Menara tersebut terasa bergoyang-goyang diterpa angin. Memang menara itu sekarang miring 5 derajat dan mulai miring sejak 1980, ketika ada proyek penyodetan kali kecil, Opak dengan kali Jelakeng, saluran sodetan itu dinamai kali pakin, tepat di belakang menara tua itu. Menara itu sendiri dibangun tahun 1839. Masih dalam komplek museum bahari yang terpisah dari bangunan museum utamanya di seberang jalan pasar ikan.
Saya membayangkan 388 tahun yang lalu ribuan pasukan Sultan Agung yang dipimpin Tumenggung Bahurekso dan Pangeran Mandureja mendarat tepat di depan saya. Menyerbu Kasteel yang menjulang tepat di tepi pantai. Benteng itu diserang dua kali selama dua tahun berturut-turut dan dua kali pula gagal. Selain dari utara pasukan Mataram juga menyerang dari arah tenggara. Tepatnya ke benteng Hollandia, benteng yang tinggal cerita. Karena sekarang sudah jadi pusat pertokoan glodok.
Harus diakui meski kalah jumlah, pasukan VOC secara mental lebih unggul. Bahkan ada cerita bahwa pertahanan Hollandia yang dipimpin seorang sersan asal Jerman, Hans Madelijn sudah kehabisan peluru. Mereka kemudian melemparkan segala macam yang bisa dilempar, termasuk tangki kakus. Sejarawan jerman Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta mencatat kejengkelan pasukan Jawa “O, seytang orang Hollanda de bekkalay samma tay!” (Wo, Belanda setan! Kalian berkelahi pakai tahi!)
Pada penyerangan kedua tahun 1629, panglima Mataram Adipati Ukur sempat meracuni sungai ciliwung yang menyebabkan wabah di Batavia. Hal ini mungkin terinspirasi dengan keberhasilan taktik sebelumnya, hal yang sama dilakukan Sultan Agung waktu menyerang surabaya dengan membendung dan meracuni kali Brantas. Hingga surabaya takluk pada pasukan Mataram. Meski Batavia tetap bertahan dan pasukan Mataram mundur, kabarnya gubernur jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen atau J.P.Coen meninggal karena wabah tersebut.
Saya kemudian berjalan menuju bangunan utama museum yang merupakan bekas gudang rempah-rempah persekutuan dagang hindia timur (vereenidge oost indische compagnie) atau biasa disebut VOC. Gudang itu mulai dibangun sejak tahun-tahun awal VOC bercokol di batavia, gudang sebelah timur selesai pada 1718, sedangkan keseluruhan kompleks selesai dibangun tahun 1773. Bangunan gudang itu terlihat jelas dari atas menara. Dari gudang tersebut, rempah-rempah dari seluruh nusantara dikirim sebagai komoditi mahal ke eropa. Bangunan pergudangan tersebut dikelilingi tembok setinggi kurang lebih 2 meter, di depan pintu masuk, agak menjorok sebelah utara terdapat bastion kecil dan beberapa dudukan meriam. Nampaknya gudang tersebut dari awal sudah diperkuat layaknya benteng kecil.
Ketika saya masuk ke bagian utama museum cuacanya panas dan lembab, maklum di pesisir pantai. Meski sekarang pantainya masih sekitar kira-kira 500 meter ke utara, namun 300 tahun yang lalu gudang itu tepat di bibir pantai. Saya kemudian mulai gelisah kepanasan, dan masuk ke perpustakaan museum. Biasanya perpus ada AC-nya, batin saya. Masuk kesana bukannya sejuk, tapi malah tambah panas. “AC-nya mati” kata mas-mas penjaga yang bersemangat. “mari masuk mas, saya jelasin.
Coba buka halaman 9...” Katanya sambil menyodorkan buku panduan dengan judul MUSEUM KEBAHARIAN JAKARTA. Dua puluh detik kemudian saya sudah ga terlalu jelas mendengar omongannya karena keringat sudah membanjir di kepala saya. Sebenarnya saya agak sedih meninggalkan mas penjaga perpustakaan tadi, meski bajunya juga kelihatan basah dan rambutnya berantakan, tapi tetap semangat mencoba menjelaskan mengenai museum. Tapi hawa panas benar-benar melumpuhkan kesadaran saya. Saya pamit keluar sambil tersenyum pakewuh. Untung dia masih membalas senyuman dan melambaikan tangannya pada saya. Gila, ini orang tahan betul nongkrong di ruang pengap begini.
Saya menuju ruangan lain, ada kisah penjelajah nusantara dan penjelajah dunia. Ruangan museum di gedung timur lantai dua masih kelihatan lumayan bersih dan terawat. Tapi sangat disayangkan tidak ada cerita detail mengenai batavia itu sendiri, misalnya detail soal penyerbuan Sultan Agung tadi. Saya berjalan sendirian, ruangan benar-benar sepi. Cuma ada patung-patung penjelajah yang bentuknya aneh, besar-besar dan sepertinya semua menatap saya. Saya jadi membayangkan masuk Istana Boneka di Dufan tapi sendirian. Saya kemudian menuju gedung barat, banyak anak-anak seumuran SD bermain disana. Saya pikir pengunjung juga, tapi dari pakaian dan tingkah lakunya kayaknya kok bukan pengunjung tapi anak-anak sekitar museum, ada yang merokok, yang laki-laki merangkul yang perempuan. Duh, sedih saya melihatnya.
Belum selesai geleng-geleng kepala sambil mengelap keringat di jidat saya. Saya tambah sedih melihat kondisi diorama pantai batavia tahun 1627 yang lampunya jebol dan berdebu tebal. Sementara petugas museum diseberangnya terkantuk-kantuk. Maket-maket dan kapal-kapal di ruangan sebelahnya juga berdebu sebagian tanpa keterangan. Gerombolan anak-anak tadi berlompat-lompatan di salah satu kapal yang agak besar. Bagian-bagian kapal , kemudi, kompas besar, ada yang ditumpuk sekenanya dipojok ruangan, terus ada pompa air berkarat nongol di pojok seberangnya.
Pompa air yang mencolok dengan kain lusuh tersampir di pipanya ini saya pikir sama sekali ga ada hubungannya dengan kebaharian, atau batavia, atau VOC. Walaupun saya belum nanya ke petugasnya. Tapi ada satu maket bagus yang menjelaskan bangunan-bangunan cagar budaya. Saya terkejut ada bangunan benteng besar dengan nama “kastil batavia” yang letaknya tepat di sebelah timur menara syahbandar, apakah sama dengan Kasteel yang diserbu Sultan Agung? Saya berniat melihatnya setelah selesai menjelajah museum.
Kesimpulan saya, ruangan yang cukup terawat di museum bahari ini ada dua, eh tiga kalau menara syahbandar dihitung. Pertama ruang patung-patung tadi, meski ukurannya terlalu besar dan wajah-wajahnya, kayak wajahnya Cheng Ho agak aneh dan seram. Kedua ruang foto-foto panglima, panji-panji TNI AL dan tulisan-tulisan semacam sapta marga dan tugas TNI AL juga lumayan bersih, tapi saya kurang tertarik melihatnya sampai habis. Selebihnya saya masuk museum bukannya tambah ilmu tapi tambah bingung dan sedih. Oh iya, toilet dan halaman museum juga lumayan bersih. Satu lagi, seharusnya mas-mas penjaga perpustakaan tadi dijadikan kepala museum bahari. Saya yakin akan beda ceritanya dengan kondisi sekarang.