Namun dari waktu ke waktu nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar, kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi simbol yang tanpa arti. Bahkan akhir-akhir ini budaya masyarakat hampir secara keseluruhan mengalami reduksi, menampakkan diri sekadar pajangan yang sarat formalitas. Kehadirannya tak lebih untuk komersialisasi dan mengeruk keuntungan.
Tentu banyak faktor yang membuat kearifan lokal dan budaya masyarakat secara umum, kehilangan geliat kekuatannya. Selain kekurangmampuan masyarakat dalam memaknai secara kreatif dan kontekstual kearifan lokal mereka, faktor lainnya adalah pragmatisme dan keserakahan yang biasanya dimulai dari sebagian elit masyarakat. Kepentingan subyektif diri mengantarkan mereka untuk “memanfaatkan” kearifan lokal. Mereka menggunakannya secara artifisial, tapi sekaligus menghancur-leburkan nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungannnya masih bersifat patron-client “meneladani” sikap dan perilaku elit mereka.
Pada sisi itu bencana budaya mulai berkecambah dalam masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak mampu lagi melihat, apalagi menyelesaikan, secara arif hanpir persoalan yang menimpa mereka. Krisis demi krisis lalu menjadi bagian hidup bangsa.
Kendati tidak menjamin persoalan akan selesai, rekonstruksi kearifan lokal sangat niscaya untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka.
Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai.
Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa, masing-masing lalu merajut kebhinnekaan, menjadikannya untaian yang kokoh dan indah. Dengan untaian yang menyatukan satu dengan yang lain, mereka bersama-sama menyelami kehidupan secara arif dan bijak. Di sana pijar-pijar lampu kehidupan pasti akan menerangi menuju kehidupan yang lebih baik, sejahtera, damai dan penuh keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H