Kasus Ketidakadilan HukumÂ
 Ketidakadilan itu nampak dari beberapa kasus yang terjadi di Indonesia yang sungguh merugikan rakyat miskin dalam keputusan yang diambil oleh penegak hukum itu. Kasus itu, seperti: 2 orang pria yang mencuri sebuah semangka dengan tuntutan 2 bulan 10 hari di Kediri, Jawa Timur pada tahun 2009 yang dirasa keputusan ini tidak adil dan menuai protes dari perwakilan mahasiswa kepada Pengadilan Negeri Kediri sehingga putusan diubah dengan hukuman penjara 15 hari. Dari kasus ini nampak bahwa memang 2 pria ini sudah dinyatakan bersalah dan memang tindakannya merupakan sebuah kesalahan, namun dalam pemberian sanksi terhadap tindakannya itu penegak hukum hanya melihat dari apa yang tertera dalam undang-undang, dan bukannnya melihat secara keseluruhan kasus itu sehingga terkesan masalah yang kecil atau sepele mendapat hukuman yang tidak sebanding atau adil.
 Kedua, mencuri 3 buah kakao dengan tuntutan 1 bulan penjara. Kasus ini terjadi pada seorang nenek bernama Minah yang mencuri 3 buah kakao milik PT. Rumpun Sari Antan yang berada di Banyumas, Jawa Tengah. Walaupun, nenek Minah sudah mengembalikan buah kakao ini setelah kedapatan mencuri, pihak manajemen perusahaan justru tetap memperkarakan kasus ini dengan alasan untuk memberi efek jera bagi pelaku sehingga nenek Minah mendapat hukuman 1 bulan penjara dan pihak perusahaan sendiri merasa puas dengan keputusan itu. [7] Perasaan puas ini menunjukkan ketidakadilan bahwa perasaan ini hanya dialami dan dicapai oleh pihak perusahaan yang berarti perasaan ini dialami sepihak dan bersifat memaksa karena perusahaan menjadi pihak yang kuat dalam kasus ini. Dan keputusannya nampak sekali tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan melihat secara keseluruhan kasus tersebut.Â
 Ketiga, kasus korupsi e-ktp yang menjerat beberapa oknum pejabat negara (Sugiharto, Irman, Andi Naragong, Markus Nari, Anang, dan Setya Novanto) selama periode 2012-2017 dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp. 2.314 triliun. [8]Kasus ini sungguh heboh saat itu dengan titik sentral pada Setya Novanto yang saat itu masih menjabat sebagai ketua DPR RI. Dimana kasus ini sungguh tindakan tidak bermoral dari seorang wakil rakyat yang menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau korporasi yang merugikan negara hingga Rp. 2.3 triliun. Dengan tindakannya ini Setya Novanto melanggar pasal 3 dan 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda 500 juta, serta mencabut hak politik beliau selama 5 tahun dan uang pengganti sebesar US$ 7,3 juta. Kalau, kita perhatikan putusan ini tentunya tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukannya, bahkan putusan ini pun lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK berdasarkan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pindana korupsi, yakni penjara selama 20 tahun. Hal ini yang membuat sungguh putusan ini bukanlah putusan yang maksimal bila dilihat dari ketentutan pasal yang dilanggarnya. Maka, hukum tumpul ke atas sungguh nampak di sini, apalagi aneka fasilitas mewah dan akses yang masih terbuka bagi Setya Novanto sungguh menunjukkan ketidakadilan bagi para pelanggar yang lain.Â
 Kualitas Penegak Hukum
Keputusan yang tidak adil dan semena-mena menunjukkan bahwa kualitas beberapa penegak hukum di Indonesia masih buruk dan tidak selaras dengan kode etik profesi hukum itu sendiri. [9] Tentunya, kualitas yang buruk ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh desakan-desakan dari pihak penguasa yang hanya menginginkan kemenangan bukannya keadilan dalam keputusan tersebut, adanya kedekatan atau kerekatan dalam ikatan keluarga atau rekan pejabat sehingga mau untuk melindungi kawannya, tidak adanya independensi dalam keputusannya sehingga penegak hukum hanya mendengarkan penguasa dan yang memiliki uang, sedangkan rakyat miskin diabaikan hanya demi popularitas dan kepentingan pribadi, dan realisasi hukum yang kurang tepat dalam persidangan sehingga hukum memang ada namun pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan hukum tersebut. [10] Hal ini yang membuat penegak hukum di Indonesia mesti diseleksi secara ketat sehingga kualitas dan mutu penegak hukum Indonesia itu memenuhi kriteria tertentu, memiliki kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan bukannya malah mudah tergoyahkan dengan tawaran-tawaran menarik dari pihak penguasa sehingga berimbas pada kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegak hukum itu sendiri. Maka, penegak hukum itu mesti memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat terhadap mereka berlangsung baik dan terjalin kerja sama dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.Â
 Kesimpulan
Pelaksanaan hukum di Indonesia sungguh ditentukan dari mutu dan kualitas penegak hukum itu sendiri yang meliputi: kepolisian, advokat, kejaksaan, dan lembaga yudikatif (MA, MK, dan KY). Mutu dan kualitas ini tentunya bukan hanya soal institusi tetapi masing-masing pribadi penegak hukum itu mesti memiliki keutamaan-keutamaan yang baik dalam menunjang tugas mereka, seperti: keadilan, kejujuran, independensi, dan tekad yang teguh sehingga setiap keputusan yang mereka ambil itu sungguh bijaksana dan netral tanpa ada kecenderungan untuk melakukan keberpihakan. Hal ini penting, dikarenakan hukum yang didalamnya sudah ada campur tangan permainan atau manipulasi, pasti tidak akan berjalan mulus dan akan berlangsung terus menerus hingga penegak hukum itu sendiri sadar akan pentingnya untuk senantiasa memperjuangkan keadilan dan sikap netral dalam menjalankan hukum. Apalagi, pelaksanaan hukum ini ditujukan bagi seluruh warga negara tanpa memandang ras, suku, latar belakang, budaya, dan sebagainya. Sehingga, hukum mampu berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pendukung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penegakan hukum di Indonesia yang masih kurang baik menjadikan istilah hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas itu masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat sebagai bentuk kekecewaan dan tanggapan masyarakat terhadap keputusan hukum yang diambil oleh para penegak hukum di Indonesia. Pernyataan ini akan tetap eksis apabila tidak adanya pembenahan terhadap mutu dan kualitas penegak hukum. Pembenahan ini dapat dilakukan dengan reformasi substansial, reformasi struktural, dan reformasi kultural bagi para penegak hukum sehingga kebiasaan yang buruk dengan aneka manipulasi, permainan, dan kejahatan berupa praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) itu dapat terminimalisir dengan sendirinya sehingga penegak hukum dipenuhi dengan kejujuran, keadilan, netral, bijaksana, dan berintegritas. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum itu lambat laun semakin pulih dan harapannya terjalin kerja sama dan relasi yang baik antara penegak hukum dan masyarakat dalam memperjuangkan penegakan hukum di Indonesia dengan ungkapan hukum mengayomi semua dapat terlaksana dengan baik.
Â
Â