Mohon tunggu...
Bonaventura Ricky Yosan
Bonaventura Ricky Yosan Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelaksanaan Hukum di Indonesia: "Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah"

15 Mei 2024   20:49 Diperbarui: 15 Mei 2024   20:49 3390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar sudah memiliki hukum yang resmi sejak kemerdekaannya untuk mengatur seluruh masyarakat Indonesia dan secara tidak langsung mengikat masyarakat itu sendiri sehingga harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hukum yang mesti dipatuhi ini dilaksanakan dan dibuat oleh pemerintah yang adalah wakil rakyat dengan harapan dapat menyejahterakan dan mendengarkan aspirasi masyarakat Indonesia dan bukan hanya pihak tertentu yang diuntungkan oleh hukum itu melainkan seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat dari hukum itu. Indonesia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dengan semangat dari, oleh, dan untuk rakyat [1] mesti terus dijaga dan diupayakan oleh para pejabat pemerintah sehingga rakyat pun sungguh dilibatkan dalam pemerintahan itu sendiri. 

Hukum yang sudah resmi berlaku di Indonesia itu secara umum terangkum dalam UUD 1945. Tentunya, seluruh isi hukum di Indonesia terangkum dalam UUD 1945 sebagai dasar dan patokan bagi hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun, pembahasan kali ini akan lebih spesifik berkenaan dengan UUD 1945 pasal 28D ayat 1 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Hal ini dikarenakan ada sesuatu hal yang hendak dicapai dari pembuatan hukum itu yang harus sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia. Adapun, penegakan hukum di Indonesia ini dilakukan oleh kejaksaan, kepolisian, dan Lembaga Yudikatif (MA, MK, dan KY). Beberapa Lembaga pemerintah inilah yang mengatur atau menganimasi terlaksananya hukum itu dalam negara Indonesia ini.

Namun, kenyataannya ada pihak penegak hukum yang objektif dan subjektif dalam mengambil keputusan terhadap pelanggaran hukum itu sendiri. Keputusan objektif berarti berdasarkan hukum yang berlaku dengan melihat perkara secara keseluruhan. Sedangkan, keputusan subjektif berdasarkan pihak mana yang dominan dan lebih menguntungkan dari perkara tersebut. Kedua putusan ini sudah lazim di Indonesia dengan aneka kasus hukum di dalamnya. Hal ini yang membuat keputusan dalam hukum itu sungguh dipengaruhi oleh penegak hukum itu sendiri sebab merekalah ujung tombak penegakan hukum di Indonesia dengan landasan pada hukum yang berlaku di Indonesia. Tentunya, keputusan yang mereka ambil sah walaupun ada dalil atau kejanggalan dalam putusan tersebut. Walaupun demikian, tidak jarang keputusan dari penegak hukum itu sungguh bijak dan objektif tanpa ada keberpihakan di dalamnya sehingga tujuan dari hukum itu sendiri dapat tercapai di dalamnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pembentukan hukum itu sendiri untuk mengayomi, melindungi, dan menertibkan seluruh kehidupan masyarakat bukannya malah ajang untuk bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang miskin dan lemah sehingga menciderai keadilan masyarakat dan hilangnya keadilan substansial dari hukum itu sendiri (Setyanegara, 2013). Untuk itu, penulis melalui artikel ini akan membahas tentang pelaksanaan hukum di Indonesia yang terkadang dikenal dengan istilah "tumpul ke atas dan tajam ke bawah".

Pembahasan 

Definisi dari Hukum

 Hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasan atau pemerintah. Selain itu, ada banyak definisi hukum dari para ahli dan keilmuan lain. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat (Soerojo Wignjodipoero, 1974:13). Dari definisi ini nampak sekali bahwa hukum adalah aneka peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Selain itu, hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yakni dengan hukuman yang tertentu (Simorangkir, 1962:6).[2] Artinya, pelanggar hukum itu akan dikenai hukuman atau sanksi yang sudah disepakati atau tercantum dalam hukum yang berlaku. 

 Setiap sanksi atau hukuman yang diberikan bagi pelanggar hukum itu diputuskan oleh pihak pengadilan sebagai penegak hukum yang resmi dengan menjunjung nilai keadilan di dalamnya sehingga apa yang telah diputuskan itu sebanding dengan apa yang dilanggar. Bukannya malah, berbanding terbalik antara apa yang diputuskan dengan yang dilanggar. Hal ini dapat terjadi apabila adanya pengaruh pihak yang kuat menguasai pihak yang lemah sehingga keputusan itu akan lebih berpihak pada pihak yang kuat dan mengesampingkan pihak yang lemah. Keputusan seperti inilah yang disebut sebagai keputusan yang dapat menciderai keadilan masyarakat dan hilangnya keadilan substansial dari hukum itu sendiri. Padahal, keadilan itu mesti diwujudkan dalam lingkungan negara oleh negara terhadap warga negara, warga negara terhadap negara, dan antar sesama warga negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang dalam arti spiritual ialah kebahagiaan hidup. [3]

 Keadilan Substansial dan Keadilan Prosedural    

 Keadilan substansial itu sendiri berarti keadilan terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim). Sedangkan, keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak penggugat/tergugat/pihak yang berkepentingan dalam setiap tahapan proses acara di pengadilan (Syamsudin, 2014). [4] Adapun, pelaksanaan hukum yang semena-mena dapat menjadikan hukum itu bertindak tanpa nurani yang diibaratkan pisau yang hanya tajam ke bawah dan sangat tumpul ke atas. [5]

Kebanyakan dari keputusan hakim mengedepankan keadilan prosedural daripada keadilan substansial yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: adanya perilaku korupsi dan kolusi yang nampak dari adanya transaksi uang, kekuasaan, dan lain sebagainya di dalam putusan itu, kecenderungan bukan mencari keadilan melainkan kemenangan sehingga segala upaya dilakukan, advokat yang licik atau cerdas, penegakan hukum menjadi komoditas politik, dan hakim menempatkan diri sebagai corong undang-undang (Anwar, 2010). [6] Hal ini yang membuat keputusan itu diambil bukan secara objektif melainkan subjektif tergantung pada pihak mana yang dominan dan memiliki kuasa. Ketergantungan inilah yang membuat pihak yang miskin atau minoritas akan dengan sendirinya tersingkir walaupun sejatinya merekalah yang memiliki kebenaran serta memiliki aneka bukti yang lengkap yang mampu mengafirmasi kebenaran yang dimiliki. Dengan gambaran seperti ini, penulis melihat bahwa hukum itu memang bersifat memaksa dan mengikat, namun nyatanya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia bisa saja dipermainkan dan dipaksa supaya memihak pada salah satu pihak saja.

 Kasus Ketidakadilan Hukum 

 Ketidakadilan itu nampak dari beberapa kasus yang terjadi di Indonesia yang sungguh merugikan rakyat miskin dalam keputusan yang diambil oleh penegak hukum itu. Kasus itu, seperti: 2 orang pria yang mencuri sebuah semangka dengan tuntutan 2 bulan 10 hari di Kediri, Jawa Timur pada tahun 2009 yang dirasa keputusan ini tidak adil dan menuai protes dari perwakilan mahasiswa kepada Pengadilan Negeri Kediri sehingga putusan diubah dengan hukuman penjara 15 hari. Dari kasus ini nampak bahwa memang 2 pria ini sudah dinyatakan bersalah dan memang tindakannya merupakan sebuah kesalahan, namun dalam pemberian sanksi terhadap tindakannya itu penegak hukum hanya melihat dari apa yang tertera dalam undang-undang, dan bukannnya melihat secara keseluruhan kasus itu sehingga terkesan masalah yang kecil atau sepele mendapat hukuman yang tidak sebanding atau adil.

 Kedua, mencuri 3 buah kakao dengan tuntutan 1 bulan penjara. Kasus ini terjadi pada seorang nenek bernama Minah yang mencuri 3 buah kakao milik PT. Rumpun Sari Antan yang berada di Banyumas, Jawa Tengah. Walaupun, nenek Minah sudah mengembalikan buah kakao ini setelah kedapatan mencuri, pihak manajemen perusahaan justru tetap memperkarakan kasus ini dengan alasan untuk memberi efek jera bagi pelaku sehingga nenek Minah mendapat hukuman 1 bulan penjara dan pihak perusahaan sendiri merasa puas dengan keputusan itu. [7] Perasaan puas ini menunjukkan ketidakadilan bahwa perasaan ini hanya dialami dan dicapai oleh pihak perusahaan yang berarti perasaan ini dialami sepihak dan bersifat memaksa karena perusahaan menjadi pihak yang kuat dalam kasus ini. Dan keputusannya nampak sekali tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan melihat secara keseluruhan kasus tersebut. 

 Ketiga, kasus korupsi e-ktp yang menjerat beberapa oknum pejabat negara (Sugiharto, Irman, Andi Naragong, Markus Nari, Anang, dan Setya Novanto) selama periode 2012-2017 dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp. 2.314 triliun. [8]Kasus ini sungguh heboh saat itu dengan titik sentral pada Setya Novanto yang saat itu masih menjabat sebagai ketua DPR RI. Dimana kasus ini sungguh tindakan tidak bermoral dari seorang wakil rakyat yang menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau korporasi yang merugikan negara hingga Rp. 2.3 triliun. Dengan tindakannya ini Setya Novanto melanggar pasal 3 dan 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda 500 juta, serta mencabut hak politik beliau selama 5 tahun dan uang pengganti sebesar US$ 7,3 juta. Kalau, kita perhatikan putusan ini tentunya tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukannya, bahkan putusan ini pun lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK berdasarkan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pindana korupsi, yakni penjara selama 20 tahun. Hal ini yang membuat sungguh putusan ini bukanlah putusan yang maksimal bila dilihat dari ketentutan pasal yang dilanggarnya. Maka, hukum tumpul ke atas sungguh nampak di sini, apalagi aneka fasilitas mewah dan akses yang masih terbuka bagi Setya Novanto sungguh menunjukkan ketidakadilan bagi para pelanggar yang lain. 

 Kualitas Penegak Hukum

Keputusan yang tidak adil dan semena-mena menunjukkan bahwa kualitas beberapa penegak hukum di Indonesia masih buruk dan tidak selaras dengan kode etik profesi hukum itu sendiri. [9] Tentunya, kualitas yang buruk ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh desakan-desakan dari pihak penguasa yang hanya menginginkan kemenangan bukannya keadilan dalam keputusan tersebut, adanya kedekatan atau kerekatan dalam ikatan keluarga atau rekan pejabat sehingga mau untuk melindungi kawannya, tidak adanya independensi dalam keputusannya sehingga penegak hukum hanya mendengarkan penguasa dan yang memiliki uang, sedangkan rakyat miskin diabaikan hanya demi popularitas dan kepentingan pribadi, dan realisasi hukum yang kurang tepat dalam persidangan sehingga hukum memang ada namun pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan hukum tersebut. [10] Hal ini yang membuat penegak hukum di Indonesia mesti diseleksi secara ketat sehingga kualitas dan mutu penegak hukum Indonesia itu memenuhi kriteria tertentu, memiliki kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan bukannya malah mudah tergoyahkan dengan tawaran-tawaran menarik dari pihak penguasa sehingga berimbas pada kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegak hukum itu sendiri. Maka, penegak hukum itu mesti memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat terhadap mereka berlangsung baik dan terjalin kerja sama dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. 

 Kesimpulan

Pelaksanaan hukum di Indonesia sungguh ditentukan dari mutu dan kualitas penegak hukum itu sendiri yang meliputi: kepolisian, advokat, kejaksaan, dan lembaga yudikatif (MA, MK, dan KY). Mutu dan kualitas ini tentunya bukan hanya soal institusi tetapi masing-masing pribadi penegak hukum itu mesti memiliki keutamaan-keutamaan yang baik dalam menunjang tugas mereka, seperti: keadilan, kejujuran, independensi, dan tekad yang teguh sehingga setiap keputusan yang mereka ambil itu sungguh bijaksana dan netral tanpa ada kecenderungan untuk melakukan keberpihakan. Hal ini penting, dikarenakan hukum yang didalamnya sudah ada campur tangan permainan atau manipulasi, pasti tidak akan berjalan mulus dan akan berlangsung terus menerus hingga penegak hukum itu sendiri sadar akan pentingnya untuk senantiasa memperjuangkan keadilan dan sikap netral dalam menjalankan hukum. Apalagi, pelaksanaan hukum ini ditujukan bagi seluruh warga negara tanpa memandang ras, suku, latar belakang, budaya, dan sebagainya. Sehingga, hukum mampu berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pendukung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum di Indonesia yang masih kurang baik menjadikan istilah hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas itu masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat sebagai bentuk kekecewaan dan tanggapan masyarakat terhadap keputusan hukum yang diambil oleh para penegak hukum di Indonesia. Pernyataan ini akan tetap eksis apabila tidak adanya pembenahan terhadap mutu dan kualitas penegak hukum. Pembenahan ini dapat dilakukan dengan reformasi substansial, reformasi struktural, dan reformasi kultural bagi para penegak hukum sehingga kebiasaan yang buruk dengan aneka manipulasi, permainan, dan kejahatan berupa praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) itu dapat terminimalisir dengan sendirinya sehingga penegak hukum dipenuhi dengan kejujuran, keadilan, netral, bijaksana, dan berintegritas. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum itu lambat laun semakin pulih dan harapannya terjalin kerja sama dan relasi yang baik antara penegak hukum dan masyarakat dalam memperjuangkan penegakan hukum di Indonesia dengan ungkapan hukum mengayomi semua dapat terlaksana dengan baik.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun