Mohon tunggu...
Bonavantura Sampurna
Bonavantura Sampurna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis sastra dan karya ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kopi

10 Mei 2023   21:57 Diperbarui: 10 Mei 2023   22:26 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskusi ringan tetapi menawan akan nampak lebih bersahabat ketika secangkir kopi diseduhkan untuk dinikmati. Serumpun pengalaman akan coba saya ceritakan tentang KOPI. Kopi sudah sangat terkenal dan menjadi semacam teman hidup yang tidak dapat dilepaspisahkan dari seluruh realitas peradaban manusia. 

Selama ada manusia, kopi akan terus disingkapkan. Ia hadir dan mengungkapkan dirinya dalam rasa yang sekian akrab bagi mereka yang sudah terlanjur jatuh cinta padanya. Identitas kopi tidak perlu dirahasiakan.

Selama saya mengenal kopi dan rasa yang ia tawarkan, sebetulnya ada begitu banyak rajutan kisah yang terjadi. KOPI memantik daya imajinasi untuk bercerita dengan ide-ide puitis dan imajinatif. 

KOPI menggulung kantuk saat tubuh masih ingin terus berkarya. KOPI menemani kesendirian yang sunyi. KOPI membantu melukis romantika dialog dua insani yang jatuh cinta ketika mereka menemani senja yang hampir tenggelam kepada malam. KOPI menemani cerita kita yang kaku yang hampir tenggelam di tengah kebersamaan yang asing.

Di balik semua cerita cinta tentang KOPI, tidak sedikit orang mencibirkan bibirnya mencemoohkan KOPI. "KOPI, kau membunuh malamku dengan rasamu dan sekarang aku kesulitan membenamkan diri pada manisnya mimpi. Kau menggores dinding lambungku dan kini aku kesakitan. Kau menumpahkan ampasmu dan mengotori rumahku. Kau menggulung kertas berhargaku dan sekarang saya kekurangan dana", demikianlah sederetan cemoohan mereka. 

Mereka lupa bahwa KOPI selalu ingin menepi seorang diri dan duduk manis sambil menunggu embun pagi yang menyejukkan dahaganya. Dia sudah terlalu banyak menderita: dipisahkan dari inangnya, ditumbuk dengan alu, digiling dalam mesin, dibakar dalam nampan yang panas, digiling lagi menjadi debu, diayak sekian kali, dimandikan air panas, sampai kemudian ia dihempaskan terbuang dalam jamban yang tidak bermartabat. Lalu siapa yang memulai semua ini? Mengapa KOPI yang harus disalahkan?

Aku memahami KOPI dengan baik. Bentuk ketersingkapan KOPI sangat variatif. Ia tersenyum dan menggenggam setiap penolakan dan cemoohan ketika ia menawarkan pahitnya rasa. Ia tersenyum puas ketika kehadirannya mengakrabkan suasana kekeluargaan. "Cintailah aku ketika rasa yang kutawarkan melegakan hidupmu. Hempaskan aku bagai ampas yang tersisa jika aku meleburkan manisnya rasa yang kaurindukan untuk dimadu", kata KOPI dalam sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun