Mohon tunggu...
Bonavantura Sampurna
Bonavantura Sampurna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis sastra dan karya ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Konsep Ketuhanan dalam Konteks Masyarakat Manggarai

4 April 2023   12:04 Diperbarui: 4 April 2023   12:08 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Konsep Ketuhanan dalam Konteks Masyarakat Manggarai

 

Prolog 

Konsep Ketuhanan dalam hidup berbudaya selalu melekat dalam seluruh praksis hidup sosio-kultural suatu masyarakat. Agama/ kepercayaan menghidupi seluruh praksis hidup berbudaya suatu masyarakat kultural. Relasi agama/ kepercayaan dan budaya merujuk kepada aktus pemberian diri dan keyakinan dengan saling memberi peran yang simbiosis. Agama/ kepercayaan mengekspresikan dirinya di tengah masyarakat berbudaya dan budaya menjadikan kehadiran agama sebagai instrumen nilai untuk dapat melestarikan dirinya dalam aktus mengada manusia.    

 Nilai-nilai religius yang ditawarkan oleh budaya secara eksplisit membawa kita kepada satu kesadaran akan konsep Yang Mahatinggi/ Yang Agung. Sidik jari Allah dalam budaya selalu dimunculkan keluar dalam berbagai bentuktanda dan simbol yang diberi pemaknaan tertentu yang mendalam. Kekayaan nilai-nilai budaya pada dasarnya lebih banyak membangun relevansi etis religius dengan setiap bentuk pengungkapan jati diri agama teruatam agama-agama besar yang muncul kemudian (Norbertus Jegalus, 2005: v-vi)..[2]  

 

Konsep Ketuhanan Masyarakat Manggarai

 Dalam Kamus besar bahasa Indonesia-Manggarai yang disusun oleh tim khusus STKIP St. paulus Ruteng (sekarang UNIKA), konsep ketuhanan diterjemahkan dengan "MORI". Konsep Mori merupakan predikat umum yang dikenakan untuk menjelaskan nama Tuhan. 

Selain itu, ada beberapa nama lain yang diterjemahkan sebagai suatu penjelasan lebih terperinci atas sifat-sifat ke-Allah-an dari Mori. Nama nama itu disematkan secara melekat untuk menggambarkan keagungan Yang Mahatinggi dalam seluruh realitas pengalaman hidup masyarakat manggarai. Mori agu Ngaran, Mori Keraeng, Dewa, Sengaji, Wulang agu Leso, Jari agu Dedek, Sombang, Toa Alang, Jari agu Wowo adalah deretan gelar yang diberikan masyarakat Manggarai untuk menggambarkan pribadi Allah (STKIP St. Paulus Ruteng, 2020: 427).

 

  • Mori, Mori Kraeng

 

Penyebutan Mori atau Mori Kraeng sebagai nama yang disematkan untuk Tuhan merupakan nama umum yang lazim dan sering digunakan. Dalam praksis hidup sehari-hari, term Mori dapat dengan mudah kita dengar baik dalam percakapan sederhana maupun dalam situasi-situsi tertentu ketika seseorang mengalami suatu peristiwa keterkejutan. Sebutan Mori Kraeng merujuk kepada predikat Allah sebagai Yang Mahatinggi, Mahakuasa, Mahaagung.

 Dalam konteks sosio-kultural masyarakat Manggarai, Mori Kraeng memiliki perpaduan makna dengan penggunaan kata kraeng yang disematkan untuk gelar bangsawan tinggi. Masyarakat Manggarai terbagi ke dalam lapisan sosial dengan strata tertinggi atau gelar bangsawan Kraeng.

Kraeng menduduki tempat yang istimewa dalam suku sebagai pribadi yang harus dihormati. Kraeng dalam posisinya sebagai kaum bangsawan, juga mengemban tugas sebagai pemimpin suku. Penyematan "Kraeng" di belakang nama Tuhan/ Mori memberikan penegasan akan pribadi Transenden yang lebih besar dan lebih berkuasa dari posisi Kraeng yang adalah bangsawan atau pemimpin suku. Mori Kraeng diposisikan sedemikian rupa mengatasi segala posisi tertinggi dalam starta sosial masyarakat Manggarai (Irenk Kharo, 2019: 4).

 

  • Mori agu Ngaran, Par awo Kolep sale, Ame rinding Mane-Ine rinding wie (Sefrianus Juhani, Benediktus Denar dan FX. E. Armada Riyanto, 2020: 363).

 

Secara gramatikal, term Mori agu ngaran, par awo kolep sale, Ame rinding mane-Ine rinding wie dapat dipahami dengan melihat kembali seluruh pengalaman kulturan dan religius masyarakat Manggarai. "Tuhan adalah pemilik, Sang Surya yang mencahayai, Ayah-Ibu yang menghembuskan daya semangat", menggambarkan sifat Allah disadari kehadiran-Nya dalam seluruh praksis hidup masyarakat Manggarai. Mori diyakini orang Manggarai sebagai pemilik atas seluruh ciptaan termasuk manusia yang dianugerahi akal budi untuk berpikir.

Ia juga digambarkan sebagai "matahari" yang memberikan cahayanya bagi seluruh penghuni bumi terutama bagi masyarakat Manggarai dengan cahaya-Nya, masyarakat Manggarai dapat memungkinkan dirinya untuk boleh beraktifitas. 

Selain itu, Mori bagi orang Manggarai dilihat sebagai Bapak dan Ibu yang mengasihi anak-anaknya dan menghembuskan spirit, daya kekuatan bagi anak-anak (Orang Manggarai) untuk selalu mengekspresikan dirinya dalam kebebasan penuh kesadaran. Secara kultural, sifat Allah sebagaimana disebutkan di atas biasanya diungkapkan dalam situasi yang kompleks misalnya saat upacara pembukaan lahan baru (Lea Sose).[6] Nama yang berikan sebagai sifat Allah/ Mori disebutkan dalam konsep masyarakat Manggarai sebagai empunya kehidupan dan yang menyinari mereka dengan cahaya matahari yang menghidupkan. 

 Mori agu Ngaran dalam pemahaman masyarakat Manggarai dapat dilihat dari sudut pandang yang kompleks sesuai dengan pengalaman religius mereka akan sang Mori. Pertama, Mori agu Ngaran diyakini sebagai Omnipresentia yakni Roh Supranatural yang dapat dijumpai di mana pun dan menjiwai seluruh alam ciptaan. Ia hadir dalam seluruh praksis hidup mengada masyarakat Manggarai dan dalam setiap peritiwa kehiduoan mereka. 

Kedua, Mori agu Ngaran dilihat sebagai pribadi yang Menakjubkan dan sekaligus menkutkan. Pengalaman hidup masyarakat Manggarai yang dilihat sebagai berkat yang dilimpahkan oleh Sang Mori adalah pesona terindah yang perlu disyukuri. Allah yang menakjubkan itu menciptakan alam semesta dan segala isinya, teristimewa menganugerahi kesuburan tanah yang dapat digunakan untuk dijadikan ladang bertanam segala macam kebutuhan pangan. 

Di sisi lain, Mori agu ngaran itu terlihat menaukatkan karena menghadirkan malapetaka bagi masyarakat Manggarai. Ketiga, Mori agu ngaran adalah pribadi yang selalu menjadi misteri karena ia tidak pernah menampilkan wujud konkrit di hadapan masyarakat Manggarai. Pribadi yang supranatural itu diyakini memiliki kekuatan besar karena dapat melihat dan mendengar setiap bentuk tingkah laku dan perkataan masyarakat Manggarai.[7]

 

Epilog 

 

Konsep ketuhanan dalam konteks masyarakat Manggarai lahir dari pengalaman konkrit yang terjadi dalam setiap peristiwa kehidupan. Kesadaran akan adanya pribadi supranatural diyakini memberi pengaruh besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat Manggarai. Pada dasarnya, masih banyak ungkapan lain untuk menggambarkan eksistensi Tuhan/ Mori dalam seluruh aktus mengada orang Manggarai tetapi konsep yang ambil adalah pemahaman yang umum tentang Tuhan dan implikasi praktis atas pemahaman itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun