Persepsi masyarakat yang disuarakan oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik menghasilkan sebuah stigma adanya pertentangan antara profesional dan politisi. Suasana negatif yang mempengaruhi masyarakat akibat dari riuhnya pemberitaan yang mengangkat kasus korupsi para politisi membangun sikap antipati di masyarakat terhadap politisi itu sendiri.
Situasi politik hangat akibat tidak terselesaikannya pertentangan dua kubu yang bersaing merebut tampuk pimpinan di negara ini. Satu kubu yang menamakan dirinya sebagai kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan koalisi pendukung Prabowo dan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden 2014. Kedua kubu mampu mendapatkan dukungan yang cukup banyak di negeri yang tengah belajar berdemokrasi ini.
Dalam kelanjutannya disebutkan oleh berbagai media bahwa KMP yang secara defakto telah kalah dalam pemilihan presiden tersebut mampu mengambil posisi di legislator secara sempurna dimana ketua dan wakil yang ada di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan bagian dari kubu tersebut. Sementara KIH yang berhasil memenangkan pemilihan presiden harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini menjadi minoritas dalam lembaga legislatif tersebut.
Implikasi dari minoritas ini memaksa kubu KIH harus menyiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang mampu berkomunikasi dengan baik ketika berhadapan dengan lembaga legislatif tersebut. SDM yang dimaksud tentu adalah orang-orang yang mempunyai kapabilitas serta kompetensi dibidang yang akan dipegangnya. Bukan sekedar hanya seseorang dengan kapasitas ilmu dalam konteks akademisi atau profesional perusahaan, tetapi lebih kepada kemampuan komunikasi politik yang bisa mengajak kepada semua pihak agar fokus pada kesejahteraan rakyat.
Komunikasi politik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan membangun persepsi yang sama untuk tujuan yang positif khususnya untuk kepentingan rakyat banyak. Salah satu variable yang paling penting adalah pengalaman dalam bidang organisasi khususnya organisasi politik. Organisasi seperti partai politik merupakan salah satu organisasi yang mempunyai tingkat kesulitan tertinggi dalam pengelolaannya. Hal ini disebabkan partai politik memiliki berbagai macam sumberdaya manusia didalamnya. Mulai dari yang jenjang pendidikan formal tertinggi hingga yang terendah, baik yang kaya maupun yang miskin bahkan dari yang loyal hingga punya banyak kepentingan.
Keberagaman sumberdaya manusia yang ada didalam partai politik merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi setiap anggota yang ada didalamnya. Kemampuan seseorang diuji dalam mengorganisasi personal atau sumberdaya manusia yang ada didalamnya. Keberhasilan seseorang dalam membentuk sebuah persepsi yang pada akhirnya disetujui bersama menjadikan seseorang tersebut teruji sebagai seorang politikus. Seorang politikus yang telah teruji dengan baik dan mampu memimpin sebagian maupun seluruh komponen didalam sebuah partai politik maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut mempunyai kompetensi yang cukup mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin. Kompetensi ini yang dibutuhkan untuk saat ia berada dalam sebuah pemerintahan.
Berbeda halnya dengan organisasi seperti perusahaan yang menempatkan tujuan utama dari organisasi tersebut adalah keuntungan yang bersifat pribadi atau organisasi tersebut dalam konteks transaksional. Sementara partai politik bertujuan untuk memperjuangan aspirasi yang ada dimasyarakat secara umum dengan merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan tersebut.
Kembali kepada permasalahan utama saat ini, dimana kubu KIH sebagai kubu yang mendapatkan suara terbanyak saat pemilihan umum beberapa waktu lalu tersandera terhadap pernyataan-pernyataan yang menyesatkan. Pernyataan seperti dikotomi profesional dan politisi yang disebut diberbagai media ternyata menyesatkan masyarakat. Jabatan eksekutif seperti Menteri adalah jabatan politis yang justru membutuhkan keahlian, pengalaman dan kompetensi tersendiri dalam bidang politik.
Seorang menteri yang bersifat membantu seorang presiden akan berhadapan langsung dengan 560 legislator terpilih dalam proses politik anggaran. Jika seorang menteri tersebut tidak mempunyai pengalaman dalam bidang politik maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi “deadlock” saat pengambilan keputusan yang berujung pada “stagnansi” pada program yang akan dijalankan nantinya. Hal ini tentu pada akhirnya akan merugikan rakyat itu sendiri.
Oleh karena itu sebagai saran kepada kubu KIH, penulis berharap kepada pihak yang berkepentingan dalam memilih SDM yang akan menduduki jabatan-jabatan politis maka kompetensi dibidang politik harus menjadi syarat mutlak dengan tidak mengesampingkan integritas serta profesionalisme dibidang yang akan dipimpinnya. Semoga.