Begini liriknya: "Privatisasi/Jual aset, celah utk Politisasi, dengan bagi2 kursi, maka kinerja buruk. Termasuk rugi naik, laba turun"
Yaa.. Meski isu kinerja BUMN ini merupakan lagu lama, tp tetap saja akan ramai di bicarakan saat dekat-dekat Pilpres.
Mengingat penting dan strategisnya peran perusahaan BUMN dalam roda perekonomian nasional dan keuangan negara. Karena berdasarkan UU, selain harus meningkatkan profit, perusahaan yg seluruh/sebagian besar sahamnya dimiliki negara harus juga kuat mengukuhkan dirinya hadir di tengah-tengah masyarakat.
Terlepas dari baik/buruk dampak yang dihasilkan, isu yang paling kental dimainkan soal pengelolaan BUMN yakni mengenai "privatisasi" atau dulu dikenal dengan "swastanisasi". Berawal dari Pasal 3 UU 6/1968 yang menyebutkan:
Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional.
Pada prakteknya, swasta (termasuk) asing dibolehkan memiliki perusahaan strategis negara, yg mengurusi hajat orang banyak. Privatisasi pertama dilakukan tahun 1991, yang juga terjadi di era presiden Megawati, sampai  era presiden SBY.
Khusus era sekarang mungkin kita akan jarang mendengar kata privatisasi. Ya... Mengingat era presiden Jokowi belum pernah melakukan privatisasi BUMN.
Meski bagaimanapun, kembali pada "lagu lama" yang harus dimainkan, skema kerjasama korporasi non privatisasi di transformasikan oleh pihak kontra kubu presiden Jokowi pun sebagai "jual aset". Dimana jika kita bahas satu per satu dari seluruh skema kerja sama korporasi yg dilakukan BUMN (sekuritasi aset, perticipant interest, share-down, dsbnya), privatisasi lah yang paling cocok dikatakan sebagai "jual aset".
Kenapa yang dimainkan soal privatisasi atau jual aset?
Idealnya privatisasi BUMN agar pengelolaannya lebih profesional ditangan swasta, mengurangi subsidi dari pemerintah, mengurangi beban pemerintah.
Namun fakta yang terjadi selama privatisasi dilakukan justru menunjukkan betapa BUMN lebih banyak dijadikan sebagai sapi perahan buat para pejabat negara yang sedang berkuasa. Dengan penggunaan teori principal-agent maka nuansa politis sangat kental dalam BUMN, dikarenakan manajemen perusahaan tidak harus tunduk dan loyal kepada pemilik saham. Berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh politisi (Moeljono, 2004)