Mohon tunggu...
Bonar Hamari
Bonar Hamari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mendirikan Taman Baca Tak Semudah Menikah Dini

24 April 2018   17:01 Diperbarui: 24 April 2018   17:05 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Desa itu terletak 10 kilometer dari pusat kota Rembang, Jawa Tengah. Tak ada angkutan kota atau desa yang menuju kesana. Sekumpulan pohon jati dan bukit yang berundak menjadi teman mesra bersama motor yang saya tumpangi pagi itu. Meski namanya asing, sejak 2014 lalu mulai akrab disebut netizen dan media. Desa itu Pasucen, satu dari lima desa ring 1 pabrik Semen Indonesia.

Hari itu, Sabtu, 27 Januari 2018, saya berkunjung ke Pasucen. Meredakan kepenatan kota Jakarta demi membasahi tubuh di bawah gravitasi air terjun Curug Pasucen dan keheningan Rimbanya. Hingga kepuasaan terasa sesak untuk dinikmati.

Di pojok desa sana, ada keramaian yang tak biasa. Tawa riang anak-anak yang bukan hal biasa ada di desa. Bertemulah saya dengan Wahyuningsih. Perempuan yang masih berseragam batik PGRI, dihiasi senyuman ramah di pipinya, menyambut saya yang sedang berkunjung ke tempatnya mengajar, di Desa Pasucen, Rembang Jawa Tengah.

Bangunan tempatnya mengajar hanya berukuran tak kurang sembilan meter persegi, tapi mampu menampung hingga dua puluhan anak-anak saat Taman Bacaan itu buka. Anak-anak antusias menggilir halaman demi halaman buku, ada juga 3 unit komputer di meja. Dan mungkin sampai ratusan buku tersusun rapih rak samping jendela. Biasanya Wahyuningsih, selepas mengajar di SD ia menyempatkan waktu membuka Taman Bacaan itu, membuka luas ilmu bagi anak-anak desa agar kelak semakin maju.

Wahyuningsih bukanlah warga asli Desa Pasucen. Kegigihannya mendirikan Taman Bacaan berbuah hasil setelah bertahun-tahun. Menurutnya, Desa Pasucen yang jauh dari keramaian, urusan pendidikan masih jauh, mereka tak pernah memikirkannya. Alasan itulah, Wahyuningsih memutuskan tinggal dan menjadi warga di sana, dan lama mengabdikan dirinya sebagai guru Sekolah Dasar. Juga dengan pendidikanlah, pikirnya, sebagai langkah kemajuan suatu wilayah.

Hingga saat saya berkunjung disana, Wahyuningsih sebut, perjuangannya gak mudah, proses panjang dilaluinya.


"Untuk sampai jadi bangunan ini sebagai taman bacaan aja sulitnya minta ampun, soal uang juga sih masalahnya dan warga sini lebih memilih menikahkan anaknya yang lulus SD daripada meneruskan sekolah," kata Wahyuningsih.

Perempuan itu dan Rembang, mengingatkan saya akan sosok Kartini...

Raut muka Wahyuningsih berubah, kebahagiaan begitu terpancar di wajahnya. Perjuangannya berbuah manis. Ada perubahan pemikiran warga soal pendidikan. Mereka melek sekolah, anak-anak semangat menuntut ilmu. Setidaknya, markanya pernikahan dini yang terjadi di sana perlahan mulai terkikis.

"Hampir semua, renovasi gedung ini, termasuk buku-buku dan raknya, komputer, papan tulis, dan mainan-mainan edukasi, semua bantuan," tutur Wahyuningsih.

Ceritanya, Semen Indonesia yang masuk ke Rembang sejak 2014 lalu ternyata bagi warga sana seperti Wahyuningsih memberi dampak postif. Wahyuningsih, jiwa pejuang pendidikannya tersalurkan, keinginan mulianya pun terjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun