Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Algoritma Hati- 2

17 Maret 2021   10:43 Diperbarui: 27 Oktober 2021   08:39 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hah. Itu nama ayah. Detik itu waktu seolah terhenti. Tiada bergerak. Semua mendadak membeku.

Mereka masih tak percaya. Sosok yang mereka cintai. Meninggalkan mereka begitu cepat. Tanpa pertanda. Tiada pesan. Kini sosok yang dicintai sudah terbujur kaku. Beribu pertanyaan menggantung dalam benak. Airmata tiada lagi mampu terbendung.

Mereka langsung bergerak memeluk jasad ayah. Tanpa aba-aba ibu dan Bagas menangis. Meraung sekencang-kencangnya. Takdir tak dapat mereka tolak. Kebersamaan mereka terenggut teramat cepat. Kepergian ayah meninggalkan masa lalu. Beragam kenangan indah dalam satu ikatan keluarga. Sosok panutan. Tulang punggung keluarga.

Tempat bersandar. Menumpahkan keluh-kesah. Sosoknya kini sudah bersalin rupa. Mengakhiri semua cita-cita dan harapan tanpa kabar pesan. Semua segera terkubur. Kosong yang dialami ibu dan Bagas. Hati mereka bagai tertusuk pedang. Meninggalkan rongga terbuka sangat lebar. Mereka sangat kehilangan dengan kepergian ayah secara tiba-tiba.

Om Lexy menarik Bagas keluar dari ruang jenazah. Dirinya berusaha menenangkan ibu dan Bagas. Perlahan dia menceritakan kronologis kejadian yang menimpa ayah. Tuntas jam makan siang ayah pamit untuk mengambil uang gaji karyawan. Ternyata mobil ayah sudah diincar oleh perampok spesialis bank.

Dalam perjalanan kembali ke kantor. Malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Saat 100 meter mendekati kantor, mobil ayah dipepet oleh dua motor. Rebut-rebutan tas terjadi. Ayah mempertahankan sekuat tenaga tas tersebut. Hal ini yang membuat kalap perampok. Cara cepat mereka tempuh.

Pistol mereka acungkan. Tanpa peringatan. Sebutir peluru melesat. Menuju tepat di bagian dada. Maut tak dapat ditolak. Tembakan yang mematikan. Ayah mengembuskan nafas di tempat kejadian.

Mendengar keributan. Beberapa orang berusaha mendekat. Mereka urung bergerak maju kala melihat pistol teracung angkuh ke udara. Mereka langsung ciut. Sungguh mereka belum ingin mati. Saat mereka sedang berperang dalam batin. Pistol sudah berdesing. Peluru sudah menuju sasaran. Sesosok yang sedari tadi mereka lihat berjibaku. Tumbang seketika. Darah mulai menggenangi sekeliling dirinya.

Situasi yang membuat para perampok bergegas pergi. Mengambil langkah seribu. Bagaimanapun massa dapat mendadak beringas, jika mereka tak segera beranjak. Raungan suara knalpot motor mereka seperti memberi aba-aba. "Jangan kejar kami!"

Lima menit berselang. Orang-orang tadi mendekati sosok yang tergeletak. Seorang di antaranya setengah berteriak, "Woi ini kan Pak Anggito. Kantornya tuh yang di dekat ujung perempatan. Ayo segera ditolong sebelum kehabisan darah!"

Spontanitas mereka dapat segera membawa Pak Anggito menuju rumah sakit. Dalam ruang unit gawat darurat dokter jaga segera memeriksa. Sudah tak ada lagi denyut nadi berdetak. Perwakilan kantor baru mendapat kabar kala Pak Anggito sudah di rumah sakit. Om Lexy salah satu yang mewakili kantor untuk memastikan keadaannya.

Tiada yang menyangka. Nyawanya terhempas di jalanan. Tragis. Masih menahan haru Om Lexy mengatakan, "Ayahmu seorang pemberani. Dia rela mati untuk mempertahankan hak para karyawan. Kamu harus bangga, karena dia mati syahid kala sedang bekerja!"

Dalam hati Bagas memprotes, mengapa ayah diambil sang pencipta begitu tiba-tiba? Tanpa aba-aba. Membuat hampa seketika dalam dirinya. Sisi berbeda. Dirinya mengagumi usai mendengar kisah heroik ayah. Mempertahankan uang yang menjadi hak para karyawan.

Tiba-tiba pundak Bagas ada yang memegang, "Dik, sudah menjelang Maghrib. Tak baik di makam sendirian." Sambil mengucek mata dia berdiri dan bergegas keluar dari areal makam. Baru saja dia tertidur di pusara sang ayah. 

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun