Sengat matahari beringsut pergi. Satu-persatu dedaunan berguguran memeluk tanah yang masih sedikit basah. Belum lama gerimis tertumpah dari langit. Barisan nisan mendadak berkilau akibat tetesan gerimis.
Makam ayah lebih terlihat rapi. Bagas sebulan satu kali berziarah kubur. Dia berdoa. Dilanjutkan membersihkan sekeliling makam. Tepat di makam sang ayah berdiri pohon kamboja yang sudah beranjak tinggi. Dahan-dahannya sudah mulai menaungi makam. Meneduhkan sekeliling makam sang ayah.
Cukup lama dia menghabiskan waktu di sana. Menjelang senja. Sesudah tertimpa gerimis tipis-tipis. Tiada lalu lalang peziarah dalam area pemakaman. Sejauh mata memandang hanya nyaris tiada jejak kehidupan. Kesunyian di area makam menjadi hal yang senantiasa dirindukan Bagas.
Rumah Bagas berada dalam gang sempit. Hilir mudik aktivitas manusia. Hiruk-pikuk manusia serta kendaraan menjadi sajian sehari-hari. Kala berziarah makam. Dirinya mendapatkan kedamaian. Kepenatan hidup mendadak sirna.
Dia dapat mencurahkan apa yang dialami di pusara sang ayah. Segala gundah gulana otomatis terlontar lancar sembari dirinya mencabuti semak-semak yang mengotori area sang ayah berbaring. Itu semua makin membuat dirinya nyaman. Betah berlama-lama di sana.
Tak terasa sudah setahun sang ayah terbaring di sini. Â Satu-persatu kenangan muncul kembali. Makam ayah tempat terbaik baginya untuk bernostalgia. Memanggil ragam memori yang pernah terjadi. Dia ingat, bagaimana ayah selalu menggendong kala dia selesai mandi.
Ayah tak pernah ragu mengajaknya bermain bola bersama saat hujan tiba, meskipun mendapat konsekuensi omelan dari ibu. Ayah sosok yang mampu bermain peran. Sebagai orang tua, dia mampu memberi arahan. Sebagai teman dia mau menemani kemana pun Bagas pergi atau ada acara.
Setiap ada lomba band ayah akan rela mengosongkan jadwal untuk mengantar. Adegan terindah terputar kembali. Bagai pita kaset yang diputar ulang. Ketika ayah mengangkatnya berputar-putar setiap kali dia berhasil memenangi lomba.Â
Mereka tertawa bersama, lalu menangis haru, karena kerja keras mengikuti les musik selama ini sudah membuahkan hasil. Ayahlah yang dari awal mendukungnya untuk menekuni dunia musik. Sebaliknya, ibu sangat tak suka dengan pilihan bermusik yang diambil Bagas.
Dia dan ibu terkadang mudah tersulut emosi, ketika menyerempet masalah musik. Ibu suka berteriak saat dia sedang memutar lagu, berlatih not-not lagu, dan meminta uang pembayaran les musik.Â
Sosok ayah sebagai penengah terhadap kekerasan hati ibu dan Bagas. Ayah yang selalu menengahi tanpa emosi. Ibu yang agak sensitif. Ayah yang penuh pengertian ibarat yin dan yang.
Bagas bersyukur terlahir menjadi anak mereka. Walaupun terkadang ada sikap ibu yang membuatnya kesal. Terkadang mereka saling berdebat hebat. Sungguh ayah mampu hadir menjadi sosok penghibur. Dirinya kembali tersenyum. Berdamai kembali dengan ibu. Â Sebagai remaja, Bagas kerap dilanda permasalahan khas remaja. Suka seseorang tetapi bertepuk sebelah tangan.
Dalam kegundahannya sang ayah lihai menempatkan diri sebagai sahabat. Ayah mau menemani tatkala Bagas ditimpa masalah. Bahu ayah yang kekar tempat paling nyaman untuk bersandar. Di sana dia menangis. Ayah tak mengejek, justru berkata, "Biarkan air matamu menetes. Air mata dapat membersihkan rasa gundahmu. Tak usah malu menangis."
Jumat sore sepulang les Bagas agak bergegas pulang. Sesampai di rumah. Bergegas mandi. Sudah bersalin rupa dia ingin menunggu ayah pulang kantor. Kabar kenaikan tingkat di tempat les musiknya ingin segera dikabarkan kepada ayah. Pukul 19.00 biasa ayah tiba di rumah. Sampai pukul 21.00 ayah tak jua datang.
Was-was. Ada apa gerangan? Tak biasanya ayah pulang terlambat tanpa mengabari. Â Sungguh tak biasa ayah pulang seterlambat ini. Kelelahan menunggu. Tertidur Bagas di kursi teras rumah. Pukul 21.30 teman kantor ayah, Om Lexy datang ke rumah. Dia menjemput kami untuk lekas bersama menuju ke rumah sakit. Kedatangan Om Lexy sudah mengagetkan. Ditambah dengan kata rumah sakit yang diucapkannya semakin membuat ibu dan Bagas makin was-was mendengar kata rumah sakit.
Nyaris sepanjang perjalanan menuju rumah sakit mereka semua tak bersuara. Ibu dan Bagas sibuk dengan diri masing-masing. Mereka bertanya-tanya dalam benak, apakah yang terjadi dengan ayah? Om Lexy tak mengajak mereka ke ruang UGD. Mereka semakin ketar-ketir, ketika langkah mereka menuju ruang jenazah.
Pintu terbuka, langkah mereka semakin melambat. Ada sosok yang mereka kenal di deretan nomor empat. Papan nama di ranjang tertera: Bpk. Anggito Murti. Mereka terkejut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H