Perempuan dan laki-laki diciptakan saling berpasang-pasangan. Pengesahan dari hubungan mereka adalah melalui pernikahan. Di Indonesia ada yang memilih menikah secara agama (hanya di depan pemuka agama), tapi tidak mendaftarkan pernikahan tersebut di kantor catatan sipil. Selain itu, ada pula pihak-pihak yang menikah secara agama dan menikah secara negara (tercatat di kantor catatan sipil).
Pernikahan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil kadang terjadi pada pasangan yang masih di bawah umur. Â Pernikahan di bawah umur masih berlangsung akibat relasi kuasa antara orangtua dan anak, suami dan isteri, keluarga dan masyarakat, agama dan negara, maupun negara dengan rakyat (Kustini, 2013, hlm.435).
Pernikahan Non Ideal
Membina rumah tangga diperlukan kesiapan pihak perempuan dan laki-laki. Kesiapan tersebut tidak cukup fisik semata (akil baligh), melainkan juga kesiapan mental psikologis. Sebagian pernikahan non ideal terjadi di bawah umur. Dampak pernikahan di bawah umur lebih dirasakan akibatnya pada kaum perempuan (Kustini,2013,hlm.429-430):
- Mengalami kehamilan di usia anak-anak.
- Mengalami putus sekolah, karena setelah menikah perempuan langsung masuk reproduksi yang panjang.
- Sulit beradaptasi peran sebagai suami – istri
- Tidak menyadari haknya dengan baik.
- Mengalami hubungan seksual di usia anak-anak, bahkan sebelum menstruasi yang pertama.
- Rentan terhadap pembebanan sepihak terutama pasca perceraian.
- Mudah terjebak sebagai korban perdagangan manusia
Masih membudayanya pernikahan di bawah umur ditenggarai akibat aspek hukum yang masih belum menerapkan sanksi definitif dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pelaku pernikahan di bawah umur, tidak tercatatnya pernikahan di bawah umur di kantor catatan sipil, dan pihak kepolisian hanya memroses pernikahan di bawah umur yang dilaporkan (delik aduan).
Faktor pemahaman agama berikut ini juga berpengaruh pada perkawinan di bawah umur (Kustini, 2013, hlm.426-427):
- Kuatir anak berbuat zina, maka orangtua memilih segera menikahkan anaknya, meskipun masih di bawah umur.
- Perempuan dan laki-laki dipandang sudah boleh menikah asalkan sudah akil baligh.
- Keharusan menaati orangtua, termasuk ketika orangtua menikahkannya.
- Keyakinan bahwa ajaran agama lebih diutamakan, jika bertentangan dengan aturan negara.
Pernikahan Usia Ideal
Pernikahan tidak meniadakan karakter sejati perempuan dan laki-laki. Menyatunya perempuan dan laki-laki dalam mahligai pernikahan sebaiknya memakai rumus: perempuan (0.5) + laki-laki (0,5) = 1. Jadi, mereka tak lagi dua, melainkan satu. Selain itu, diperlukan pelurusan paradigma terhadap pernikahan, yakni: bukan menikah cepat, melainkan menikah di waktu yang tepat dan dengan pasangan yang tepat.
Pernikahan ideal menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty: usia ideal menikah yang mengacu kepada kampanye program Generasi Berencana BKKBN adalah di atas 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Â Usia di atas 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki dari sisi medis, sudah matang secara fisik dan psikis. Selain itu, perempuan yang menikah di atas 21 tahun lebih aman saat persalinan, karena secara fisik anatomi sudah kuat.
Perempuan yang menikah di atas usia 21 tahun dapat menghindari risiko mengalami masalah kesehatan reproduksi (kanker leher rahim, trauma fisik pada organ intim, dan kehamilan berisiko tinggi) dan dapat mengurangi AKI (angka kematian ibu) serta kelahiran bayi prematur. Pernikahan yang dilaksanakan oleh perempuan di atas usia 21 tahun dan laki-laki usia 25 tahun akan menghindarkan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), karena usia pasangan yang sudah stabil secara emosi, karakter, dan pola pikir.
Untuk menyukseskan program pernikahan usia ideal dari BKKBN diperlukan sinergi dari berbagai pihak. Pertama, BKKBN bisa menjalin kerjasama dengan Kementerian Agama RI untuk meyosialisasikan pernikahan usia ideal dalam buku-buku pelajaran agama, mengeluarkan peraturan pemerintah untuk memperketat persyaratan pernikahan untuk mencegah pernikahan di bawah umur. Kedua, BKKBN bisa menggandeng pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang melarang pernikahan di bawah umur. Terakhir, BKKBN melibatkan para pemuka agama dalam meyosialisasikan pernikahan usia ideal dalam mimbar-mimbar keagamaan di rumah ibadah.
Melalui sinergi berbagai pihak yang telah disebutkan di atas, semoga program untuk melangsungkan pernikahan usia ideal dari BKKBN dapat mudah tercapai, karena  bahtera rumah tangga memerlukan dua insan (perempuan dan laki-laki) yang matang (fisik, psikis, sosial, dan ekonomi) agar masa depan cemerlang dapat terengkuh di genggaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H