Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Bola

Carloz Tevez dan Jorge Sampaoli: Akhir Bahagia Sang Nomad

8 Juli 2015   12:08 Diperbarui: 8 Juli 2015   12:08 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal paling menyakitkan dalam hidup manusia adalah mengakhiri sesuatu yang dicintai. Ragam kisah tersaji tentang hal tersebut. Kecintaan Frank Lampard pada Chelsea dan kecintaan Steven Gerrard pada Liverpool sudah teruji, namun kecintaan mereka terhadap klubnya tak serta merta menyelamatkan karirnya. Kecintaan mereka terhadap klubnya berakhir tak manis. Mereka sempat bimbang atas status kontrak yang tak kunjung diperbaharui. Kepergian Lampard dari Chelsea ke New York City FC, Gerrard berlabuh ke LA Galaxy, kembalinya Carlos Tevez ke Boca Juniors, dan kepergian Andrea Pirlo dari AC Milan ke Juventus mengungkapkan fakta bahwa klub terdahulu mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari karir sepakbola dan kisah kehidupannya.

Ketidakjelasan pembaharuan kontrak membuat Gerrard, Lampard, dan Pirlo menerima pinangan klub yang “masih” menghargai kiprah mereka dan bersedia menggunakan jasa mereka demi kemajuan klub. Publik belum mengetahui akan seperti apa kisah Gerrard dan Lampard di klub barunya, namun publik sudah merekam kiprah “anak buangan” Pirlo yang makin menunjukkan kelas tertinggi dalam permainan, meskipun Milan terkesan membuangnya. Empat tahun berada di Turin ia membawa Juventus meraih tujuh gelar, termasuk empat scudetto serie A, Coppa Italia, dan mencapai babak final UCL 2015. Gerrard, Lampard, dan Pirlo akan berlaga di MLS musim kompetisi 2015/ 2016, Amerika Serikat. Lampard dan Pirlo membela New York City FC dan Gerrard memperkuat LA Galaxy.

 

1. Tevez dan Cinta Pertamanya
Sisi berbeda, Tevez di usia yang sudah menginjak 31 tahun lebih memilih rendah hati. Kiprah suksesnya dengan Juventus dan kontraknya yang masih berjalan di klub tersebut justru tak sepenuhnya membuatnya nyaman. Ia mengambil keputusan untuk kembali ke kampung halaman dan kembali memperkuat klub pertamanya, Boca Juniors. Tevez mengambil langkah berani. Ia menarik diri dari klub besar saat karirnya masih dalam kondisi puncak.

Tevez adalah pemilik hidup dan jiwanya. Kemerdekaan dalam menentukan yang terbaik dalam karirnya dihormati oleh Juventus. Kesuksesannya yang sekarang dibentuk oleh Boca Juniors, klub dan cinta pertama Tevez dalam karir profesional sepakbola. Kembalinya Tevez ke Boca bukan di sisa masa jaya karir sepakbolanya merupakan hal yang tak lazim. Kebanyakan pemain sepakbola kembali ke klub di negaranya adalah saat karir mereka sudah habis. Hanya sisa kemampuan yang mereka bawa kembali ke negaranya.

Kiprahnya saat berseragam Juventus menorehkan kisah sukses. Hampir saja Tevez membawa Juve meraih treble winner, namun keperkasaan Barcelona memupusnya. Andil Tevez di Juve amat vital. Berkat gol-golnya ia membawa Juve meraih trofi Serie A dan Coppa Italia, serta menggapai partai puncak UCL musim kompetisi 2014/ 2015. Sosok Tevez dikenal sebagai sosok yang tak terlalu kental loyalitasnya. Tevez nomaden dari klub (cinta) pertama klub profesionalnya Boca Juniors (2001-2004), Corinthians (2005-2006), West Ham (2006-2007), Manchester United (2007-2009), Manchester City (2009-2013), Juventus (2013-2015), dan berlabuh kembali ke cinta pertamanya, Boca Juniors (2015-…). Meskipun ia tak loyal pada satu klub, namun Tevez tak melupakan cinta pertamanya pada klub Boca Juniors.

 

A. Ketekunan Berbuah Sukses

Kesuksesan bersama Juve akhirnya membuat Tata Martino, pelatih Argentina memanggil Tevez kembali memperkuat timnas. Sayang ia tak mendapat banyak kesempatan di Copa America 2015, namun saat diberikan kesempatan bermain Tevez menunjukkan kemampuan terbaiknya. Lolosnya Argentina menuju semifinal Copa America 2015 adalah berkat gol eksekusi penalti terakhir dari Tevez yang penuh percaya diri ke gawang Kolombia.

Andai di laga final Copa America 2015 yang baru usai beberapa hari lalu, Tevez bermain dan dipilih menjadi eksekutor adu penalti kemungkinan akhir kisah dari Argentina akan sedikit berbeda. Masalah mental yang memegang kendali saat pemain mengeksekusi penalti. Dua eksekutor penalti Argentina dalam laga final Copa America 2015, Gonzalo Higuian dan Ever Banega terlihat menanggung beban mental. Mereka tak berani menatap kiper Chili, Claudia Bravo saat mengambil ancang-ancang menendang penalti.

Sebelum mereka menendang pun, publik sudah mengetahui akhir kisah tendangan penalti mereka. Sejarah pun mencatat, tendangan penalti Higuian melambung jauh dari mistar dan tendangan Banega mudah ditebak arahnya. Hanya Messi yang berhasil menceploskan penaltinya. Argentina kembali tertunduk lesu secara berurutan: kegagalan Piala Dunia 2014 dan Copa America 2015. Andai Tevez bermain dalam laga final Copa America 2015, kekuatan mentalnya dapat mendukung rekan-rekan satu tim dalam adu penalti. Sayang seribu sayang hanya Messi seorang diri tak mampu mengangkat mental rekan-rekan eksekutor penalti dari Argentina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun