Korupsi memang menjadi ancaman terbesar dalam negeri ini. Tak dapat dipungkiri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah menjadi bekerja secara maraton 24 jam demi memberantas korupsi. Karena maraknya, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).Â
Ingin memberikan efek jera baik bagi pelaku maupun peringatan bagi para pejabat eksekutif maupun legislatif, apapun dilakukan termasuk dengan membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan kembali menjadi anggota legislatif.
Namun, baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap uji materi PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan Kota/ Kabupaten.Â
Tidak diduga-duga MA membatalkan Pasal 4 ayat (3) PKPU. Pasal tersebut menyatakan bahwa dalam hal pencalonan anggota legislatif, dilarang mencalonkan mantan narapidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Tentu dengan dibatalkannya pasal tersebut, kesempatan untuk mencalonkan mantan narapidana khususnya korupsi menjadi lebih besar.Â
Kekecewaan atas putusan tersebut muncul dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat, LSM, KPK, serta KPU sendiri. Alih-alih ingin memberikan efek jera dan menekan angka korupsi di Indonesia, justru MA meloloskan eks koruptor melenggang dengan mencalonkan diri.
Masyarakat menjadi bertanya-tanya, mengapa MA seolah "mendukung" koruptor untuk kembali mencalonkan sebagai anggota legislatif? Padahal korupsi semakin marak di negara ini dan bukankah dugaan kembali melakukan praktik korupsi lebih besar? Mengapa MA tidak mempertimbangkan dalam aspek moral?
Salah satu fungsi MA menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyatakan fungsi peradilan salah satunya ialah hak uji materiil.Â
Hak uji materiil yaitu wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-Undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat lebih tinggi.Â
Kewenangan inilah yang dipakai untuk memutuskan uji materi PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang diajukan oleh beberapa kalangan.
Apabila dilihat, PKPU adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Artinya PKPU berada dibawah Undang-Undang Pemilu, sehingga apapun yang diatur dalam PKPU harus sesuai dengan Undang-Undang Pemilu serta undang-undang terkait lainnya.Â
Dalam Undang-Undang Pemilu tidak ada larangan mengenai mantan narapidana koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Hanya saja disebutkan pada Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Pemilu bahwa syarat bakal calon legislatif ialah tidak pernah melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.
Artinya, mantan narapidana korupsi bisa mencalonkan dirinya asalkan secara terbuka mengemukakan pada publik bahwa ia pernah menjadi narapidana korupsi.Â
Jelas pasal tersebut tidak melarang eks koruptor mencalonkan kembali sebagai anggota legislatif. Sedangkan Pasal 4 ayat (3) PKPU secara jelas menyatakan melarang eks koruptor mencalonkan sebagai calon legislatif. Â
Diajukan uji materi, MA sebenarnya seolah diuji dengan keadaan. Masyarakat sudah tidak lagi mentolerir eks koruptor kembali melenggang di lembaga legislatif karena maraknya praktik korupsi yang merongrong bangsa ini.Â
Ketakutan untuk kembali melakukan praktik korupsi itulah yang membuat masyarakat dan sejumlah kalangan menolak eks koruptor mencalonkan diri.
Namun, MA dengan segala resikonya harus memutuskan berdasarkan kewenangan dan fungsinya. Maka dengan berdasar hak uji materi, MA menguji isi atau materi PKPU apakah bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya yaitu Undang-Undang Pemilu.Â
Pada akhirnya MA memutuskan membatalkan isi dari Pasal 4 ayat (3) PKPU dengan dasar bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu yang ada.
Diyakini MA sebenarnya tidak mendukung korupsi merajalela di negeri ini. Sebab, sebagian kasus korupsi juga bermuara ke tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali dimana MA yang akan memutus perkara ditingkat itu. Terbukti sebagian besar hukuman terhadap koruptor juga diperberat. Maka, dikatakan oleh MA (melalui juru bicaranya) bahwa perlu terlebih dahulu mengkritisi sumber PKPU yaitu Undang-Undang Pemilu supaya tidak bertentangan.
Apapun putusannya, masyarakat harus menghormati dan menerima. Begitu pula dengan berbagai LSM, KPK, maupun KPU sendiri juga harus menerima putusan tersebut yang kemudian dijalankan. Alternatifnya, KPU dapat menghimbau partai politik untuk melakukan kaderisasi yang baik dan mengurungkan niat mencalonkan eks koruptor sebagai bakal calon anggota legislatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H