Mohon tunggu...
Maksimus Adil
Maksimus Adil Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta dunia, pendamba perdamaian dan perindu kesejahteraan bagi semua...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan

6 Juni 2011   04:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di ranjang bidadari, Amongraga telan**ng dan duduk bijaksana dalam padma merah isterinya. Demikian mereka diam berpelukan sepanjang malam, waspada dan pasrah, satu dalam lainnya. ................

......
Centhini keluar di pagi buta mengabarkan kepada Ki Panurta dan isterinya bahwa selaput dara tuan putri telah koyak.
---------
Mungkin agak membingungkan. Supaya jelas, saya kisahkan lagi secara ringkas. Setelah menikah, sampai malam ke-40 Amongraga dan Tambangraras tidak melakukan hubungan suami-istri (ratum et consumatum). Malam-malam itu dilalui dengan belajar berbagai macam hal, dan Amongraga adalah gurunya, sementara si Tambangraras menjadi pendengar yang baik. Tembang 90 yang saya kutip utuh di atas merupakan bagian dari pelajaran itu. Mereka bisa menahan diri, meski pada malam-maam itu mereka sudah saling melihat tubuh masing-masing karena memang dibiarkan terbuka dan polos.

Centhini adalah sang abdi yang sungguh mengabdi kepada junjungannya. Satu hal yang lucu dari Centhini, sekaligus menunjukkan pengabdiannya, dia setia menguping tiap malam suara apa yang keluar dari kamar junjungannya si Tambangraras dan Amongraga. Kalau pengantin jaman sekarang, mungkin si Centhini sudah didamparat kali ya....

Oh ya, ini ada sedikit pengetahuan tentang obat. Setelah Tambangraras dan Amongraga melewati malam yang indah itu (berdasarkan kabar Centhini tadi), keluarganya menyiapkan minuman yang terbuat dari bahan-bahan ini: dicacah putik delima putih, kulit pohon kina, majakan, kapulaga, cengkeh, kecubung dan benang lawe. Semuanya digiling di lumpang batu sampai lembut, lalu ditambahi dengan bunga selasih, kapur sirih, kunyit, bedak perut buih cacing, abu daun pisang emas, selongsong ular cabai, pala, kemukus, kulit telor yang baru keluar serta jahe. Semua itu lalu direbus, kemudian godokannya dituangkan ke dalam batok kelapa.

Adakah ramuan ini berkasiat? Mungkin ahli obat tradisioanl bisa memanfatkannya.

Buku ini enak dibaca. Maka bacalah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun