Mohon tunggu...
Maksimus Adil
Maksimus Adil Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta dunia, pendamba perdamaian dan perindu kesejahteraan bagi semua...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Absen

25 Mei 2011   00:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika Tuhan tiada. Kata-kata itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku saat melamunkan kehidupan politik di negeri ini. Apalagi obrolan seputar eksistensi Tuhan menjadi demikian hangat akhir-akhir ini semenjak Stephen Hawking menyampaiakan pandangannya bahwa “Tuhan bukan pencipta alam semesta” dan “surga itu hanya pepesan kosong”. Pernyataan Hawking seolah-olah menguatkan orang-orang untuk dapat berbuat sebebas-bebasnya tanpa mempedulikan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Ketika Tuhan tiada manusia bisa sebebasnya. Pernyataan “ketika Tuhan tiada” tidak bermaksud menegasi keberadaan Tuhan. Pernyataan itu dimaksudkan sebagai gambaran atas situasi atau kondisi di mana manusia sama sekali tidak peduli dengan keberadaan Tuhan, situasi di mana manusia tampak berbuat sebebas-bebasnya tanpa memperdulikan sesama dan Tuhannya. Keadaan di mana Tuhan sama sekali tidak dilibatkan atau diandaikan ada dalam tindakan manusia. Hal itu tergambar dalam sikap yang seolah-olah tidak bersalah, menampilkan diri sebagai yang tidak bersalah atau suci melalui penyangkalan-penyangkalan yang dibuat di depan umum baik langsung maupun melalui media-media seperti TV (media elektronik) maupun media cetak.

Tuhan memang cenderung dilupakan keberadaan-Nya oleh manusia. Tentu berdasarkan banyak pertimbangan atau barangkali juga tanpa pertimbangan apa pun, pokoknya dilupakan saja, karena sangat mengganggu… Sikap dan tindakan manusia yang seolah-olah tidak ada Tuhan dapat saja didasarkan pada sukarnya manusia untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Keberadaan Tuhan memang tidak bisa dibuktikan secara empiris. Paling tidak, manusia tidak bisa menunjukkan Tuhan itu seperti apa sebagaimana kita bisa menjelaskan air atau batu itu seperti apa wujudnya. Wujud Tuhan dikenal dalam agama-agama secara berbeda. Dan cara untuk mengidentifikasi wujud Tuhan itu menggunakan pola atau cara yang berbeda dari bagaimana manusia mengidetifikasi objek-objek material yang ada di sekitarnya.

Oleh karena cara untuk mengidentifikasi keberadaan Tuhan tidak sama dengan cara untuk mengidentifikasi objek-objek material maka, kebenaran tentang keberadaan Tuhan juga menggunakan kategori atau pengukuran yang berbeda.

Dalam ilmu pengetahuan, untuk menguji benar atau tidaknya suatu hal kita menggunakan beberapa teori, yakni teori koherensi (suatu pernyataan dikatakan benar bila pernyataan itu koheren dengan pernyataan-pernyataan lain dalam suaatu sistem pengetahuan yang hingga kini kebenarannya diandaikan), teori korespondensi (kebenaran didasarkan pada adanya kesesuaian – korespondensi – antara apa yang dinyatakan dalam ungkapan lisan atau tertulis dengan kenyataan sesungguhnya objek yang dirujuk pernyataan itu), teori kebenaran pragmatic (mendasarkan diri pada apakah pernyataan itu terbukti demikian apabila diuji dalam praktek atau apabila dioperasionalisasikan di dalam suatu tindakan), teori kebenaran performatif (missalnya pernyataan seorang Mendagri: dengan ini, saya melantik saudara sebagai gubernur propinsi selatan, dan setelah pernyataan itu diucapkan maka yang bersangkutan menjalankan tugas sebagai gubernur), dan teori kebenaran konsensus - kebenaran berdasarkan kesepakatan para ahli pada bidang-bidang tertentu (Lih. Sudarminta, 2002, hlm. 1290-130).

Sementara itu, kebenaran tentang adanya Tuhan atau kebenaran iman tidak bisa sepenuhnya menggunakan tolak-ukur ilmiah seperti tersebut di atas. Menurut Michael Woolman (2006: 197), ada beberapa justifikasi iman seperti: justifikasi historis; justifikasi melalui kodrat dari iman itu sendiri yakni melalui meditasi, wahyu dan Kitab Suci; justifikasi intelektual; dan justifikasi oleh sukacita (justification by joy).

Meski pun dasar untuk menguji benar tidaknya sesuatu yang berkaitan dengan iman tidak bisa sepenuhnya menggunakan kategori ilmiah, tidak berarti bahwa kebenaran iman, kebenaran tentang adanya Tuhan bisa dianggap remeh atau sepeleh. Karena itu sejatinya tidak boleh diabaikan oleh siapa saja terutama oleh mereka yang mengaku beriman.

Sebagai orang beriman, saya tentu ingin agar apa yang saya imani saya jalankan dalam hidup saya, meski kadang-kadang gagal juga. Dan saya kira, semua orang beriman di luar sana menginginkan hal yang sama. Semua orang yang bermain sandiwara politik baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif tentu semuanya orang beriman. Paling tidak mereka mengaku menganut agama tertentu yang diakui negara di Indonesia ini. Hal itu terbukti oleh fakta bahwa ketika mereka semua dilantik untuk menduduki posisi tertentu baik di legislative, eksekutif maupun yudikatif, mereka semua bersumpah sesuai agamanya masing-masing.

Tetapi anehnya, mengapa semua yang bersumpah menurut agama masing-masing sebelum menduduki jabatan tertentu itu dengan meletakkan satu tangannya di atas Kitab Suci agamanya bertindak atau berlaku seperti orang tidak beriman, seperti seolah-olah tidak ada Tuhan? Sebab Tuhan seringkali ditiadakan dari kehidupan manusia Indonesia dalam berpolitik dan berekonomi, termasuk kadang-kadang dalam kehidupan beragama.

Ketika Tuhan tiada, semua sandiwara seolah-olah benar dan menjadi kebenaran yang sesungguhnya. Yah, begitulah….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun