Mohon tunggu...
Maksimus Adil
Maksimus Adil Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta dunia, pendamba perdamaian dan perindu kesejahteraan bagi semua...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berbagi Itu Bersyukur

20 April 2011   02:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Gereja KAJ (Keuskupan Agung Jakarta) mengajak seluruh umatnya selama masa prapaska tahun ini untuk berbagi. Dengan mengusung tema “Mari Berbagi”, retreat agung menyongsong paskah 2011 hendak menanamkan suatu kesadaran kepada para peziarah akan arti penting berbagi. Berbagi berarti memberikan sebagiandari yang kita miliki (entah barang maupun bukan barang, seperti bakat atau keahlian maupun waktu) kepada orang lain, siapa pun itu, yang membutuhkan. Dengan demikian setiap orang mempunyai kapasitas dan kesempatan untuk berbagi kepada sesamanya.

Kenyataannya, berbagi kepada sesama bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ada banyak alasan yang menghambat seseorang untuk berbagi. Hambatan yang utama biasanya datang dari dalam diri orang itu sendiri, yakni adanya perasaan bahwa dirinya tidak mempunyai apa-apa yang dapat dibagikan kepada orang lain; dirinya belum cukup kaya untuk berbagi atau adanya keyakinan bahwa orang yang dapat berbagi adalah orang yang berkelimpahan. Sikap yang terakhir ini biasanya didasarkan pada pandangan yang sama seperti yang disinggung di muka, bahwa berbagi berarti memberikan sesuatu yang kita punya kepada sesama yang membutuhkan. Hanya bedanya, kelompok ini melihat berbagi hanya dalam konteks berbagi harta. Padahal kita dapat berbagi apa saja kepada siapa saja.

Selama masa retret agung tahun ini, umat Katholik KAJ diarahkan untuk merenungkan empat sub-tema yakni aku diberi, maka aku memberi (Ul 26:1-15); berbagi dalam kekuarangan (1Raj 17:7-16); ekaristi sumber berbagi (1Kor 11:17-34); dan komunitas kristiani komunitas yang berbagi (Luk 18:18-27). Masing-masing sub tema yang ditawarkan berusaha untuk menghantar umat Katholik KAJ untuk setahap demi setahap memahami semangat yang mendasari undangan untuk berbagi yang disuarakan Gereja pada praspakah kali ini.

Sub tema pertama “aku diberi, maka aku memberi” (Ul 26:1-15) sepintas tampak dangkal dan kurang genuine. Sebab seolah-olah dorongan untuk berbagi itu didasarkan oleh pamrih yakni bahwa saya berbagi karena saya telah diberi, bila tidak diberi (tidak punya) maka saya tidak perlu atau tidak akan berbagi. Namun bila kita mencoba masuk lebih jauh ke dalam teks yang ditawarkan (Ul 26:1-15) dan sang peziarah mau menempatkan pergulatan dan pengalamannya dalam konteks pengalaman umat Israel, maka kesan itu akan segera hilang. Malahan akan segera kelihatan bahwa dibalik tema itu umat dituntun untuk memahami bahwa berbagi kepada sesama merupakan suatu bentuk ungkapan atau ucapan syukur kepada Tuhan yang paling tepat di tengah ketimpangan sosial yang parah dewasa ini. Jadi di sini, berbagi kepada sesama merupakan bentuk ungkapan syukur atau tanggapan atas kebaikan Tuhan dalam hidup kita. Jadi berbagi itu bersyukur.

Tema kedua “berbagi dalam kekurangan” (1Raj 17:7-16) tampak lebih tidak sesuai dengan common sense masyarakat umum. Pertanyaan mendasar yang akan segera mengemuka adalah, ‘bila orang berkekurangan, maka apa yang dapat dibagikan?’ Janda miskin di Sarfat pun mempunyai kesadaran yang sama. Itu sebabnya ketika Elia minta sepotong roti padanya, dia menjawab dengan jujur katanya, “Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati” (17:12). Atas kejujuran janda itu, Elia memberi jaminan bahwa tepung itu tidak akan habis sampai musim hujan tiba. Dan janda itupun melakukan seperti yang diminta Elia.

Ada teladan besar yang dapat kita ikuti dari janda di Sarfat ini, yakni keterbukaan dan kesediaannya untuk mendengarkan firman. Melihat kondisi ekonomi yang sangat rapuh, barangkali jauh di bawah garis kemiskinan kalau dibandingkan dengan standar kehidupan modern saat ini, sikap keterbukaan dan kesediaan mendengarkan firman Tuhan membuat janda ini selamat dari bahaya besar yang melanda seluruh negeri, yakni kelaparan.

Sikap janda ini, dan kesediaannya untuk berbagi dari kekurangan merupakan kritik yang sangat tajam untuk masyarakat modern yang terlalu mendewakan harta dan terikat sedemikian rupa padanya. Korupsi, kolusi, kepalsuan hidup, ketidak-jujuran dan berbagai sikap negatif lainnya, semua berakar pada keterikatan yang berlebihan dan mendewakan harta benda. Keterikatan yang berlebihan itulah yang membuat orang tidak lagi memperdulikan norma kepatutan dan kejujuran dalam berkarya, mengabaikan harkat dan martabat manusia, dan terutama merendahkan harkat dan martabat mereka sendiri menjadi tidak lebih dari sekedar apa yang mereka pakai, apa yang mereka kendarai, serta apa dan di mana mereka makan dan menghabiskan waktu. Sikap hidup seperti ini menghambat orang untuk menjadi manusia yang seutuhnya, menghambat mereka untuk berbagi dan berbela rasa. Dan bagi mereka ini, berbagi dari kekurangan menjadi sesuatu yang jauh dari common sense.

Sub tema keempat “komunitas kristiani, komunitas yang berbagi” (Luk 18:18-27) merupakan penegasan atas kebobroakan sikap hidup yang terlalu melekat pada harta benda. Orang kaya yang mencari kepastian jalan menuju kehidupan kekal akhirnya harus kecewa karena hatinya dan seluruh dirinya terlalu terikat pada hartanya. Sikap orang kaya dalam cerita Lukas ini menunjukan bahwa harta telah menjadi yang paling utama dalam hidupnya, dan bukan Tuhan. Maka ketika Yesus menyuruh dia untuk menjual semua hartanya, dia menjadi sangat sedih. Di sana terjadi penolakan untuk mengikuti Tuhan demi harta.

Para koruptor di negeri ini, para pencuri yang memanfaatkan posisi mereka baik di pemerintahan dan perkantoran swasta semacam bank dan lain-lain untuk memperkaya diri sendiri secara tidak halal, entah secara sadar maupun tidak, telah menggadaikan Tuhan dan mengabaikannya demi harta benda yang mereka kejar. Gereja mengajak umatnya untuk tidak seperti itu. Malahan sebaliknya, Gereja mengajak setiap umat untuk memperhatikan orang di sekitarnya dan peduli pada mereka, berbagi dengan mereka. Yang dapat kita bagikan bukan hanya harta benda, melainkan juga bakat dan kemampuan demi kebaikan sesama dan kemuliaan Tuhan. Toh, bakat kita, kemampuan kita juga kesempatan atau waktu yang kita miliki, juga telah kita terima dari Tuhan. Karena itu kita perlu membaginya kepada sesama untuk kebaikan semua demi kemuliaan Tuhan sebagai tanda syukur kita. Yang menjadi panutan kita untuk itu adalah Yesus sendiri yang telah memberikan diri-Nya sehabis-habisnya untuk kita. Sub tema ketiga “ekaristi sumber berbagi” (1Kor 11:17-34) hendaknya selalu menjadi tuntunan bagi kita semua dalam melayani sesama, dan terutama dalam melaksanakan seruan Gereja untuk senantiasa berbagi dengan sesama.

Akhirnya, selamat merayakan paskah bagi yang merayakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun