Mudik adalah kegiatan perantau atau pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran (Wikipedia).
Kata mudik sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Lebaran atau hari Raya Idul Fitri. Karena kata mudik merupakan singkatan "Muleh Dilik" dalam kamus bahasa Jawa Ngoko yang berarti pulang sebentar. Mudik sendiri berarti kegiatan perantau atau pekerja migran kembali ke kampung halaman, namun yang diartikan kembali ke kampung halaman ini dilakukan hanya sebentar saja.
Sekarang mudik diartikan sebagai udik atau kampung. Mudik berarti juga menuju udik, yaitu saat pulang dari kota kembali ke daerah asalnya. Oleh karena itu mudik dikaitkan dengan kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia menjelang lebaran yaitu pulang ke kampung halaman.
Bagi penulis mudik adalah perjalanan pulang. Pulang dari mana? Dari merantau, dari mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan tidak terikat pada momen-momen tertentu. Karena penulis sebagai pekerja pendatang di kota lain biasa mudik dalam rentang waktu tak tentu untuk kembali ke kampung halaman. Menengok dan saling berbagi kabar dengan orang tua dan handai taulan di sana.
Pada momen Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri seperti ini mudik seolah menjadi 'wajib' bagi penulis dan umat muslim pada umumnya untuk pulang ke kampung halaman meskipun tidak ada syariat yang mengajarkannya. Menyambung tali silaturahmi dan menghormati kedua orang tua menjadi dasar dari pelaksanaan tradisi mudik tahunan ini. Karena kedua orang tua adalah pintu sorga bagi anak-anaknya.
Tidak hanya sekedar berbagi kabar tetapi juga sungkem sebagai perwujudan rasa syukur atas semua limpahan berkah dan berharap ridho-Nya. Sehingga Lebaran menjadi sebuah momen penting untuk kembali pulang  melebur segala salah dan dosa selama setahun yang lalu setelah satu bulan berpuasa mengendalikan hawa nafsu dan mengharap ridho serta ampunan Ilahi.
Momen ini juga dimanfaatkan sebagai sarana unjuk keberhasilan para perantau. Dengan membawa kisah sukses dan sejumlah materi bukti kesuksesan mereka ke kampung halamannya. Asal masih dalam batas kewajaran, masyarakat di kampung masih bisa menerima dan menjadi daya tarik baru bagi orang-orang kampung untuk ikut merantau mengadu nasib di kota.
Pada tradisi Jawa, mudik Lebaran bisa saja tidak pulang ke kampung tempat tinggal orang tua, tetapi berkunjung ke tempat sanak saudara yang lebih tua jika kedua orang tua sudah tiada. Karena kakak atau saudara yang lebih tua dianggap sebagai pengganti orang tua yang harus dihormati dan pantas dimintai nasihatnya.
Dan makna dari mudik Lebaran ini bagi penulis adalah berkumpulnya anggota keluarga dalam suasana gembira, suasana saling ridho, dan saling memaafkan. Meskipun saat ini telah ada teknologi video call, tradisi sungkem dan permohonan maaf terasa kurang afdol jika tidak terjadi komunikasi verbal secara langsung dengan bertatap muka, saling berjabat tangan dan berpelukan antara anggota keluarga.
Mudik adalah 'muleh', kembali ke asal, kembali ke 'sangkan paraning dumadi'. Tempat asal kita dilahirkan kepangkuan ibu, lahir suci tanpa dosa yang melekat pada diri kita.
Dan mudik adalah sebuah perjalanan pulang yang sakral. Sebuah tradisi yang tidak akan pernah tergantikan dengan teknologi informasi apa pun dengan segala rasa suka dan duka didalamnya. Merelakan segenap waktu dan tenaga serta sejumlah materi untuk menyambung sebuah tali silaturahmi. Ibu ... aku tetap akan pulang ....
Jogja.05.06.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H