Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pak Tua

1 Juli 2019   18:55 Diperbarui: 1 Juli 2019   19:00 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu begitu cerah. Langit biru dan udara sejuk menemani perjalanan pagiku menuju tempat kerja. Aku menengok jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 05.33 menit. Selama kurang lebih setengah jam perjalananku nantinya. Dan akan selalu kulewati jalan ini di setiap pagi.

Sebentar lagi Aku akan sampai di sebuah rumah tua berpagar tanaman dengan pintu pagar kayu yang sudah mulai melapuk. Di samping pintu pagar terdapat sebuah tempat duduk kayu. Bangunan rumah tua itu relatif kecil tapi terlihat asri dengan sedikit halaman di depannya. Sementara kanan kirinya berupa bangunan permanen ciri khas rumah kota pada umumnya.

Seorang tua dengan kemeja lengan panjang dan bersarung selalu kulihat di sana. Peci hitam yang sudah memudar warnanya menutupi sebagian rambut putihnya. Pak Tua ... begitu Aku menyapanya dalam hati setiap kulihat dan lewat di depan rumahnya.

Pak Tua tidak hanya berdiam diri, ada saja pekerjaan yang dikerjakannya setiap pagi. Dengan langkah pelan Pak Tua menyapu halaman sempit rumahnya. Sesekali dia membungkukkan badan untuk mencabut rumput-rumput yang tumbuh liar atau membuang batu-batu kecil. 

Terkadang juga memotong-motong daun dan dahan tanaman pagarnya. Dipilihnya daun-daun kering dan dia singkirkan. Suatu saat Pak Tua juga membakar sedikit sampah daun-daun kering dan sisa rumah tangganya. Walaupun terbatuk-batuk karena asap sampahnya, tetap saja pekerjaan itu sering dilakukannya juga.

Sesekali Pak Tua menggerak-gerakan tangan dan badannya seperti gerakan senam. Mungkin dia merasa pegal atau capek karena pekerjaannya. Kemudian Pak Tua berdiri meski agak terbungkuk menyongsong sinar mentari pagi untuk menghangatkan tubuhnya. Sinar mentari itu seolah-olah telah memberi semangat baru untuk mengarungi sisa kehidupannya.

Begitulah selintas Pak Tua terlihat di setiap pagi selama perjalanan pagiku. Sibuk dengan aktivitas yang dapat dilakukannya untuk mengisi waktu di hari-hari tuanya. Dengan rutinitas itu Pak Tua seolah-olah tidak mau kalah dengan diriku.

"Sungguh Pak Tua, engkau begitu rajin dan selalu menjaga kebersihan rumahmu. Aku salut walau usiamu sudah terlewat senja."

Suatu hari, saat Aku melewati rumah tuanya, kulihat Pak Tua hanya duduk-duduk di bangku samping pagar tanamannya. Seperti tidak menghiraukan suara bising dan asap-asap kendaraan, Pak Tua menatap jauh ke depan menembus hilir mudiknya kendaraan yang lewat di depan rumah tuanya. 

Sesekali pandangan matanya mengikuti orang-orang yang lalu lalang di depan halaman rumahnya seolah-olah ada sesuatu yang akan disampaikannya.

"Ada apa denganmu, Pak Tua? Capekkah engkau? Tidak seperti biasanya engkau hanya duduk terdiam."

Sorot matanya tajam ketika Aku bertatap mata dengannya. Terlihat jelas garis-garis keriput menghiasi wajahnya. Tetapi raut mukanya berseri-seri, seakan-akan tidak ada beban lagi di sisa hidupnya. Aku tertegun sejenak dan kulihat Pak Tua tersenyum lebar. Seakan-akan berkata dan menasihatiku ....

"Mengapa bersusah payah pergi pagi pulang sore hanya untuk mengejar materi ...?"

"Besok juga akhirnya engkau akan tua seperti aku. Apa yang akan engkau perbuat ...?"

"Masihkah engkau akan mengenal dirimu sendiri? Dan masihkah engkau akan mengenal siapa Tuhanmu ...?"

"Carilah materi, tapi jangan engkau lupakan hak dan kewaijbanmu kepada Tuhan. Jangan engkau lupakan juga hak dan kewajibanmu kepada sesama. Karena semua akan dipertanggungjawabkan nantinya ..."

"Berapa banyak nikmat Tuhanmu yang telah engkau dustakan? Ikhlas dan bersyukurlah atas apa yang telah engkau dapatkan selama ini."

Aku tersadar, bagai disiram air embun hati ini. Luruh semua ego kesombonganku. Aku pun tersenyum membalas tawa lebar Pak Tua. Aku tidak tahu latar belakang kehidupannya, tetapi ada sesuatu yang sangat ingin Aku ketahui. 

Bagaimana caramu bersyukur selama ini ...? Rasa ikhlas yang terpancar dari wajahmu dan cara menikmati hidup di masa tuamu adalah pilihanmu sewaktu masa muda dulu. Apa saja yang telah engkau lakukan Pak Tua?

Dan waktu terus berlalu ....

Usia Pak Tua semakin renta tubuhnya pun mulai merapuh. Beberapa hari ini tidak kulihat lagi Pak Tua duduk-duduk di sana. Aku merasa kehilangan dan hampa saat melewati jalan itu lagi di pagi hari. Bagiku masih banyak yang harus engkau sampaikan padaku tentang kehidupan ini. Tapi sudahlah ... mungkin ini cukup bagiku untuk mengerti rasa ikhlas dan bersyukur.

Pak Tua ... tetap akan kusapa engkau disetiap perjalanan pagiku.

Pak Tua ... semangatmu selalu hadir dalam setiap aktivitas kerjaku.

Pak Tua ... keikhlasanmu akan memberi warna dalam perjalanan hidupku.

Pak Tua ... rasa syukurmu akan mengajari aku untuk mengerti siapa diriku.

Pak Tua, ajari aku ....

Solo.01.07.2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun