Sorot matanya tajam ketika Aku bertatap mata dengannya. Terlihat jelas garis-garis keriput menghiasi wajahnya. Tetapi raut mukanya berseri-seri, seakan-akan tidak ada beban lagi di sisa hidupnya. Aku tertegun sejenak dan kulihat Pak Tua tersenyum lebar. Seakan-akan berkata dan menasihatiku ....
"Mengapa bersusah payah pergi pagi pulang sore hanya untuk mengejar materi ...?"
"Besok juga akhirnya engkau akan tua seperti aku. Apa yang akan engkau perbuat ...?"
"Masihkah engkau akan mengenal dirimu sendiri? Dan masihkah engkau akan mengenal siapa Tuhanmu ...?"
"Carilah materi, tapi jangan engkau lupakan hak dan kewaijbanmu kepada Tuhan. Jangan engkau lupakan juga hak dan kewajibanmu kepada sesama. Karena semua akan dipertanggungjawabkan nantinya ..."
"Berapa banyak nikmat Tuhanmu yang telah engkau dustakan? Ikhlas dan bersyukurlah atas apa yang telah engkau dapatkan selama ini."
Aku tersadar, bagai disiram air embun hati ini. Luruh semua ego kesombonganku. Aku pun tersenyum membalas tawa lebar Pak Tua. Aku tidak tahu latar belakang kehidupannya, tetapi ada sesuatu yang sangat ingin Aku ketahui.Â
Bagaimana caramu bersyukur selama ini ...? Rasa ikhlas yang terpancar dari wajahmu dan cara menikmati hidup di masa tuamu adalah pilihanmu sewaktu masa muda dulu. Apa saja yang telah engkau lakukan Pak Tua?
Dan waktu terus berlalu ....
Usia Pak Tua semakin renta tubuhnya pun mulai merapuh. Beberapa hari ini tidak kulihat lagi Pak Tua duduk-duduk di sana. Aku merasa kehilangan dan hampa saat melewati jalan itu lagi di pagi hari. Bagiku masih banyak yang harus engkau sampaikan padaku tentang kehidupan ini. Tapi sudahlah ... mungkin ini cukup bagiku untuk mengerti rasa ikhlas dan bersyukur.
Pak Tua ... tetap akan kusapa engkau disetiap perjalanan pagiku.