Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen Gangsingan] Pengendalian Diri

8 Mei 2019   10:45 Diperbarui: 8 Mei 2019   15:28 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Cerita sebelumnya)

Kabut tipis terhampar menyelimuti perkampungan di pinggiran Kota Jogja bagian utara. Dingin ... membuat semua orang memeluk erat selimutnya dan enggan bangun dari tempat tidurnya.

Kumandang adzan Subuh pun terlewatkan oleh Sono. Dia masih terbuai mimpi-mimpi indahnya tentang Putri dan gangsingannya.

Krriinnggg ... kriinnggg ....

Bunyi alarm pukul 05.00 mengagetkan dan membangunkan Sono. Bergegas dia melaksanakan kewajibannya. 

"Kek, aku sudah paham tentang gangsingan," kata Sono ketika pulang dari mushola di depan rumahnya dan mendapati sang kakek sedang duduk di pendopo. 

Sono mendekat dan memperhatikan posisi duduk kakeknya. Kakek duduk dengan posisi kedua tangan terbuka di atas lutut. Mata terpejam dan nafas halus teratur. Pelan-pelan Kakek membuka matanya dan menatap tajam pada Sono.

"Hmm ... kalau begitu kau lakukan olah nafas ini. Lakukan rutin kapan saja dalam keadaan tenang terutama setelah melakukan latihan fisik. Tetapi jangan sampai mengganggu aktivitas belajarmu. Ini untuk membantu mengatur emosimu."

"Baiklah, Kek. Nanti sore akan aku coba berlatih nafas itu bersama Tono," kata Sono.

Sono kemudian bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Tak lama kemudian keluar dari kamarnya sudah terlihat rapi dengan baju seragam putih birunya. Dia menuju meja makan dan mengambil singkong rebus untuk sarapan paginya.

"Kamu tidak sarapan nasi, Nak?" tanya ibunya.

"Ini sudah cukup, Bu," jawab Sono yang telah menghabiskan tiga potong singkong rebus ukuran besar.

"Ya sudah. Berangkat sana," kata Ibu sambil tersenyum.

Diperhatikan anak semata wayangnya yang tengah beranjak remaja. Usai rawan bagi seorang anak untuk perkembangan psikologisnya. Akan sangat beresiko jika tidak ada pendampingan secara bijaksana dari orangtuanya. Apalagi Sono dibesarkan di lingkungan yang keras, disebuah padepokan pencak silat yang diasuh oleh kakek Sono. 

Sono mengambil dasi dan topi dari dalam tasnya. Kemudian Ibu membantu memakaikannya.

"Ibu, Sono berangkat dulu," kata Sono berpamitan sambil mencium tangan ibunya.

Sono menyambar tasnya lalu bergegas menuju garasi mengambil sepedanya. Sebentar kemudian dia sudah menyusuri jalan kampung menuju rumah Tono.

"Ton, ayo berangkat!" teriak Sono di depan pagar rumah Tono. Tono bergegas keluar menuju sepedanya yang telah dia persiapkan di depan rumahnya.

"Hahh ... kamu, Son. Hampir saja aku berangkat sendiri. Sudah lewat lima belas menit, nih, nunggunya," kata Tono

"He he ... maaf, Ton. Aku agak kesiangan tadi bangunnya."

"Makanya jangan kemalaman tidurnya. Pasti ngelamunin Putri terus kamu, Son."

"Aku belajar sampai malam, Ton. Tapi keterusan ngelamunin Putri," kata Sono tidak menepis tuduhan Tono. Memang begitulah cinta akan menemukan dirinya. Meskipun Sono hingga kini belum mengetahui keberadaan Putri.

"Sudah selesai Son, pekerjaan rumahmu?"

Sono menjawab dengan mengacungkan tangannya membentuk lingkaran dengan jari telunjuk bertemu dengan ibu jarinya.

"Ayo berangkat! Keburu upacara dimulai kita nggak bisa masuk parkiran sepeda," kata Tono.

Sesaat kemudian terlihat sepasang remaja berseragam putih biru itu memacu sepedanya. Mereka berdua menyusuri jalan tanah berdebu di kampung menuju ke sekolahnya yang kurang lebih hanya berjarak dua kilometer. Mereka agak terburu mengayuh sepedanya hingga beberapa kali akan bersinggungan dengan pengendara sepeda lainnya maupun orang-orang yang sedang beraktivitas di jalan.

"Ton, nanti sore sehabis Ashar ke rumahku. Tadi kakek mengajarku teknik pernafasan baru. Kita berlatih bersama," kata Sono disela-sela memacu sepedanya. 

"Oke, Son ...."

Tak lama kemudian mereka tiba di parkiran sekolah. Mereka melewati halaman utama dan sudah terlihat mimbar untuk pembina upacara di sana. Terlihat seorang guru dibantu penjaga sekolah mempersiapkan sound sistem. Sono dan Tono memarkir sepedanya dan bergegas masuk ke kelasnya. Sono menuju bangkunya di pojok kiri kelasnya nomor dua dari belakang. Sedangkan Tono menempati bangku di depan meja guru. Seminggu sekali mereka melakukan tukar tempat duduk bergeser ke kiri dari arah meja guru. Dimulai dari bangku depan sebelah kanan yang sekarang ditempati oleh Tono.

"Tumben pendekar kita kesiangan. Sudah di tunggu tuh ... sama sekretaris kelas kita yang cantik," kata seorang teman. 

"Memangnya ada apa?"

"Tanya sendiri ..." jawab temannya itu sambil berlalu menuju pintu kelas.

Sementara Tono langsung dikerubuti beberapa siswa untuk menanyakan pekerjaan rumahnya. Mereka berdua termasuk anak yang pandai di kelasnya meskipun bertolak belakang sifatnya. Tono siswa pendiam dan terkenal paling sabar. Sedangkan Sono merupakan salah satu siswa paling rame di kelas mereka.

Sono bergegas menghampiri seorang siswa cewek yang duduk di bangku nomer tiga dari depan deret ke dua dari meja guru. Dia sedang mengobrol dengan beberapa teman yang lain. 

"Halo Ratna yang cantik! Ada apa mencariku?" tanya Sono sambil duduk di sampingnya dan tersenyum genit menggoda.

Seketika Ratna dan teman-temannya menghentikan obrolannya dan menatap Sono dengan keheranan. Merasa menjadi perhatian cewek-cewek temannya Sono menjadi besar kepala.

"Ya ... ada apa mencariku, Rat?" Sono mengulangi pertanyaannya.

"Siapa mencarimu ...?" Ratna balik bertanya dengan pandangan menyelidik, "pe de sekali kamu, Son."

"Tadi itu kata si ..." jawab Sono sambil tengak-tengok mencari temannya, "Basuki ... Mana dia tadi ...?"

Sono melihat Basuki di balik pintu sedang memperhatikan dirinya. Seketika itu dia meninggalkan Ratna dan berlari keluar mengejar Basuki. Meledaklah tawa Ratna diiringi teman-temannya.

"Awas ... kamu, Basuki!" seru Sono.

Begitulah sedikit keramaian kelas Sono yang tiga bulan lagi akan mereka tinggalkan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Tak berapa lama terdengar bunyi bel masuk. Semua siswa keluar menuju halaman utama untuk mengikuti upacara bendera. Tak terkecuali Sono dan Basuki yang masih kejar-kejaran harus kembali ke kelas untuk mengambil topi dan dasi mereka. Dan dengan terengah-engah mereka ikut berbaris mengikuti upacara bendera di Hari Senin.

Sang waktu pun terus merayap meniti tangga jarum jam menuju tengah hari menemani para siswa belajar di kelasnya masing-masing. Dan siang itu angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan debu-debu dan dedaunan di pelataran sekolah ....

***

Sehabis Ashar Tono bersepeda menyusuri jalan tanah berbatu dan berdebu di kampungnya. Tak berapa lama dia sampai rumah Sono. Begitu teduh suasana rumah itu. Terlihat sebuah pohon sawo kecik yang rindang di halamannya. Rupanya dia telah ditunggu sahabatnya di pendopo depan rumahnya.

Sore itu ada jadwal latihan bagi mereka berdua. Tapi keduanya hanya terlihat duduk di dalam pendopo tanpa ada percakapan sedikitpun dan tidak ada peragaan jurus-jurus silat di sana. Benar-benar hening suasananya. Hanya terdengar desiran angin dan gesekan dedaunan.

Rupanya kedua sahabat ini sedang berlatih olah nafas seperti yang telah diajarkan oleh Kakek. Mereka duduk bersila kedua tangan di atas lutut dengan posisi terbuka. Napas mereka teratur dengan hitungan yang sama. Tetapi Sono kelihatan gelisah.

"Hhhh ... susah sekali konsentrasinya. Sudah berkali-kali gagal fokus terus," terdengar suara Sono memecahkan keheningan, "kesemutan lagi kakiku ...."

"Iya ... napas sudah bisa teratur tapi pikiran ini belum bisa fokus," kata Tono menimpali.

Tono sedikit membuka sebelah matanya dan melirik ke arah Sono. Dilihatnya Sono berkali-kali membetulkan letak duduknya dan menarik nafas panjang. Tono hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.

"Sabar, Son. Perlu latihan rutin," kata Tono sambil membuka kedua matanya dan menghentikan latihannya.

"Kamu, Ton, orangnya sabaran, pasti tidak akan kesulitan untuk fokus konsentrasi."

"Yahh ... itu kembali pada niat dan usaha kita. Apa yang kau rasakan, Son, hingga masih sulit untuk fokus konsentrasi?"

"Aku masih memikirkan tentang banyak hal. Ku coba untuk menghentikannya tapi akan muncul masalah lainnya dalam pikiranku. Silih berganti memenuhi rongga kepalaku."

"Pasti Putri juga muncul dalam pikiranmu, Son. Itu yang menyebabkanmu jadi gagal fokus ...!"

"Iya mungkin, Ton." Keduanya pun tertawa.

"Kamu itu ... kenapa tidak tanya alamat rumah atau sekolahnya, Son?"

"Iya, Ton. Waktu itu aku benar-benar malu ... grogi ...  tidak bisa kugambarkan rasanya hatiku waktu itu." Sono tersenyum sendiri teringat kejadian itu.

"He he he, kalau cewek itu sepertinya grapyak, Son ... cerewet. Cocok sama dirimu. Bisa saling melengkapi."

"Ah, kamu itu ... malu aku. Ayo latihan lagi!"

Mereka kembali duduk bersila dengan posisi seperti semula dan mengatur irama napasnya. Hingga saat menjelang Maghrib ketika Kakek menghampiri mereka berdua ....

"Bagaimana latihannya? Sudah merasa bisa?" tanya Kakek menguji mereka.

"Belum, Kek. Masih belum bisa merasakan apa-apa," jawab Tono.

"Iya, Kek. Aku masih sering gagal fokus," kata Sono.

"Latihan olah napas ini sebenarnya tidak untuk merasakan apa-apa dan ora iso sakdeg sak nyet hasile. Tidak instan hasilnya. Fokus latihan ini untuk pengendalian emosi dan ketenangan jiwa. Ibarat gangsingan, walau berputar atau bergerak sangat cepat tapi terlihat diam, berdiri dengan tenang dan kokoh," kata Kakek sambil menyeruput teh panas di tangan kanannya.

"Dengan pengendalian emosi dan ketenangan jiwa ... kalian nantinya akan dapat merasakan getaran-getaran halus yang ada di sekitar kalian. Kalian akan lebih peka dalam menyelaraskan diri dengan alam," lanjut Kakek.

"Untuk selanjutnya lakukan latihan olah napas ini setelah kalian berlatih olah fisik. Latihan ini untuk melengkapi jurus-jurus pernapasan yang telah aku ajarkan sebelumnya. Supaya kalian bisa mengendalikan emosi dan mencapai keseimbangan. Ingat gangsingan mempunyai lubang di sisinya yang akan mengeluarkan frekuensi bunyi saat berputar dengan cepat. Seperti itulah energi ini nantinya," kata Kakek meletakkan teh panasnya dan ikut duduk bersama Sono dan Tono.

"Seseorang yang mempunyai mata batin, ibarat sebuah gangsingan, dia mempunyai potensi energi yang besar, yang dapat digunakan untuk kesempurnaan hidupnya dan menolong sesama untuk tujuan kemanusiaan ...." kata Kakek menutup pembicaraan.

Malam itu Kakek melatih kedua sahabat dengan olah napas sekaligus memberikan wejangan-wejangan untuk kematangan jiwa mereka. Selanjutnya mereka akan terus berlatih secara kontinyu dibimbing oleh kakek. Gerakan fisik, jurus silat dan jurus pernapasan silih berganti mereka peragakan dengan tetap menjalankan falsafah gangsingan seperti yang diajarkan oleh Sang Kakek.

Malam pun menjelang. Langit merah di ufuk barat perlahan-lahan beranjak pergi mengikuti sang mentari dalam tidur panjangnya. Udara terasa semakin dingin dan suara binatang malam mulai terdengar bagai simponi malam menuntun sang waktu yang menari-nari di bawah cahaya rembulan.

"Aku pulang dulu, Son. Sudah malam. Aku ada ulangan besok."

"Oke, Ton. Aku juga sudah capek."

Tono segera memacu sepedanya keluar dari halaman rumah Sono.

Klekk ....

Sono membuka pintu kamarnya. Terlihat pertama kali adalah gangsingan yang dia simpan di dalam almari kaca di sudut kamarnya.

"Gangsingan ... satu misteri sudah terpecahkan. Masih ada satu lagi. Putri, kau misteri terbesar dalam hudupku."

Hadew ... begini kalau seseorang sedang jatuh cinta ....

Malam semakin larut. Sono harus belajar giat dan sejenak melupakan misteri hidupnya. Tetapi rasa kantuk itu semakin terasa berat di matanya. Bunyi detak jarum jam dinding di kamarnya seolah-olah menghipnotis Sono larut dalam kantuknya yang semakin dalam. Dan Sono pun tertidur bersama misteri hidupnya.

***

Hari berganti hari. Minggu berganti bulan. Mentari tanpa lelah tetap menyapa lembut dan menghamparkan hangat sinarnya. Burung-burung pipit beterbangan dan menetaskan anaknya diantara dahan-dahan pepohonan. Pohon sawo kecik di halaman rumah Sono pun silih berganti berbuah lebat dan sedikit menggugurkan daun-daunnya. Dan sang waktu tanpa permisi menuntun dan mengasuh dua sahabat Sono dan Tono, sepasang remaja di kampung pinggiran Kota Jogja itu menjadi tumbuh dan berkembang menuju dewasa. Mereka telah ditempa oleh keadaan. Dengan sabar dan telaten sang kakek mengajarkan ilmu silat serta falsafah hidup dan kehidupan sebagai seorang manusia untuk menuju kesempurnaan hidupnya. Yang kelak akan mengubah perilaku Sono menjadi lebih sabar dan tegas dalam kehidupannya.

Orang-orang silih berganti tetap berdatangan ke Alun-Alun Utara Kota Jogja untuk menikmati keramaian Pasar Malam dan Perayaan Sekaten yang tetap diselenggarakan setiap tahunnya. Kenangan tentang Putri dan ancaman dari anak-anak Genk Butterfly pun tersimpan rapi dalam memori Sono dan Tono.

Dan dua tahun telah berlalu ....

Solo. 08.05.2019

Bomowica

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun