"Ngapain kamu lepas sepatu segala, Â terus itu ... kakimu kotor sekali kenapa?" tanya Putri.
"Aku habis nyebrang sungai. Takut ketinggalan kamu."
"Ih, norak. Kampungan lagi."
"Yaelah ... kitakan memang di kampung, Put."
"Kita ...? Kamu kali, aku ... enggaklah ..." katanya sambil ngeloyor pergi.
Joko mengejarnya dan berjalan disampingnya. Jadilah mereka berjalan berdua menyusuri jalanan setapak di samping rel kereta. Mereka terdiam untuk beberapa lama. Entah apa yang dirasakan dua sejoli kecil ini ketika hati mereka berdua terkena panah Dewi Asmara. Yang pasti hati Joko berbunga-bunga dapat bersanding dengan gadis pujaannya. Angannya melayang membayangkan hari-hari indah bersama Putri.
"Bulan depan ujian kelulusan. Kamu mau melanjutkan sekolah kemana, Put?" tanya Joko memecah keheningan diantara mereka.
"Aku akan ikut ayahku pindah ke kota. Ayahku pindah tugas ke sana," jawab Putri lirih sambil menundukkan kepalanya.
Joko terkejut mendengarnya. Dia tidak menyangka Putri akan berkata seperti itu. Kata-kata Putri pelan tapi benar-benar menghunjam ke dalam palung hatinya yang paling dalam. Perpisahan nanti ... entah sampai kapan ... Joko merasa terluka karenanya. Dia kecewa pada keputusan Putri dan terbayang di pelupuk matanya hari-hari akan terasa hambar tanpa Putri. Pupus sudah harapannya untuk selalu bersamanya. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Joko. Kata-kata Putri bagaikan kunci gembok yang telah menutup rapat mulut Joko. Aliran darahnya pun sedikit tersendat hingga nafasnya terasa berat.
Serta merta dilemparnya sepasang sepatu yang sedang dipegangnya kearah rel kereta. Ke dua matanya memerah menahan amarah. Pandangan matanya tajam mengarah pada sepasang rel kereta yang berada disampingnya itu. Entah mengapa tiba-tiba saja Joko merasa benci padanya.
Sepasang besi tua hitam legam itu seolah-olah bergandengan tangan dan menertawakan kebersaman Joko dengan Putri yang hanya tinggal sebulan lagi. Tidak seperti mereka, sepasang rel kereta itu akan terus bersama selamanya hingga ke tempat tujuannya.