Sono berdiri termangu di sisi selatan Tugu Pal Putih. Pandangannya lurus ke depan seolah ingin menyibak tabir garis imajiner yang menghubungkan Tugu Pal Putih dengan pantai laut selatan. Dia membayangkan pandangan matanya menyusuri Jalan Malioboro, Alun-Alun Utara, Pagelaran, Siti Hinggil, Alun-Alun Selatan, Panggung Krapyak, Jalan Parangtritis, hingga Pantai Selatan Parangkusumo. Samar-samar dia mendapatkan bayangan semua itu. Begitu berat latihan yang telah diberikan Kakeknya untuk mempertajam mata batinnya tetapi belum bisa sempurna. Karena hal ini berhubungan dengan pengendalian diri. Sedangkan Sono mempunyai sifat tidak sabaran dan sulit mengendalikan emosi. Suatu sifat yang bertolak belakang dengan sahabatnya, Tono.
"Sepertinya aku harus banyak belajar darimu ...." kata Sono sambil menoleh ke arah Tono.
"Kita perlu latihan lebih mendalam, Son. Dan sepertinya Kakekmu tidak mau tergesa-gesa, agar kamu lebih memahami tentang mata batin itu," kata Tono.
"Iya, Ton, kita harus lebih giat berlatih."
Dua sahabat ... Sono dan Tono, mengambil sepedanya dan melanjutkan perjalanannya kembali. Dari Tugu Pal Putih mereka terus mengayuh sepedanya ke arah selatan menyusuri jalan beraspal melintasi rel kereta api Stasiun Tugu dan masuk ke Jalan Malioboro. Sebuah ruas jalan yang telah melegenda, menghubungkan Stasiun Tugu ke selatan menuju Alun-alun Utara dengan Bangsal Pagelaran.
Jalan Malioboro waktu itu cukup lebar sehingga diperuntukan jalur dua arah. Berbagai jenis alat transportasi dapat melewati jalan itu. Sepeda, becak, andong, sepeda motor, mobil pribadi, dan angkutan umum silih berganti melewati ruas jalan itu. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima membuka lapak-lapak dagangan mereka ditrotoar di depan toko-toko sepanjang jalan.
Perlahan-lahan Sono dan Tono mengayuh sepedanya. Roda berputar pelan seolah-olah enggan meninggalkan ruas jalan legenda tersebut. Mereka menikmati keramaiannya, suasananya, dan keramahan pengunjung di Malioboro. Mereka bercanda ria dan bertukar cerita di sepanjang perjalanan. Pedagang kaki lima tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Tawar-menawar pun menjadi suatu keasyikan dan membutuhkan cara tersendiri agar mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga yang lebih murah.
Sementara sang mentari berjalan pelan menuju peraduannya. Langit merah di ufuk barat membuat pemandangan yang indah di cakrawala Kota Jogja. Dengan dihiasi serombongan burung bangau yang terbang pulang ke kandangnya. Ruas Jalan Malioboro pun menjadi teduh dan angin bertiup sepoi-sepoi memanjakan para pejalan kaki menikmati suasana senja di sana. Tak terasa perjalanan mereka hampir sampai.
Sebuah perempatan dengan bundaran air mancur di tengah-tengahnya menjadi penghujung Jalan Malioboro. Sejenak mereka berputar-putar di bundaran air mancur tersebut. Dengan santai mereka mengayuh sepedanya menikmati keramaian di bundaran air mancur. Semilir angin berhembus pelan menerbangkan butiran-butiran air menerpa wajah mereka. Tetapi mereka tidak peduli, sama seperti seorang bocah dalam gendongan ibunya yang berdiri di tepi bundaran menikmati percikan-percikan air yang menerpa wajah dan tubuhnya. Sejenak Sono dan Tono menghentikan sepedanya dan turun menuju bundaran air mancur. Mereka berdiri saling membelakangi di sisi utara bundaran. Sono menghadap ke Jalan Malioboro.
"Ton, kita buktikan garis imajiner itu dari sini."
"Baik, aku dibelakangmu menghadap ke selatan. Apa yang kamu lihat, Son?"