Secangkir kopi panas menemaniku di sebuah kafe langgananku di tepi jalan raya antar kota. Semilir angin berhembus pelan meluruhkan daun-daun kuning pepohonan di tepi jalan. Siang yang begitu panas, tetapi rimbunnya dedaunan mampu menahan tajamnya sinar mentari yang menghunjam bumi. Terbentuk kanopi-kanopi alami di penggal ruas jalan raya itu. Begitu teduh hingga membuat betah sekumpulan bocah yang sedang bermain di bawahnya, tepat di samping kafe tempat Aku membunuh waktuku.
Telolet ... telolet ....
Suara itu memaksa Aku untuk segera beranjak dari tempat dudukku. Kuseruput kopiku yang masih setengah cangkir sambil melirik pada seorang gadis pemilik kafe yang duduk semeja di depanku. Kemudian Aku mengambil sejumlah uang dan kuberikan padanya.
"Terimakasih untuk kopi panasnya."
"Aku senang kamu selalu mampir ke tempatku walau hanya sebentar ..."
Dia menolak uang pemberianku secara halus seperti waktu-waktu yang telah lalu. Tapi Aku terus memaksanya. Kupegang lembut tangannya dan kugenggamkan uang itu.
"Uang ini ... anggap saja sebagai uang sewa tempat selama aku mampir dan duduk di sini. Jika kamu menolaknya aku ...."
Belum selesai Aku bicara Gadis itu tersenyum manis sambil menatapku dalam-dalam hingga mampu membuat lidahku kelu dan menghentikan kata-kataku. Dia mengembalikan uang itu dan menggenggam erat tanganku.
"Jika aku menolak ... kamu masih tetap mampir ke sini."
Aku terdiam oleh kata-kata itu. Dia berusaha memutar balik logikaku dan membenamkan kata-kata itu ke dalam alam bawah sadarku. Sejenak Aku dan dia saling bertatap mata.
"Hati-hati di jalan ...."
Untuk kesekian kalinya kalimat singkat itu meluncur dari bibir tipisnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Segera kulempar langkahku meninggalkan Gadis itu di kafenya sebelum hati ini mendua. Sialnya pada saat itu terdengar alunan sebuah lagu Stinky yang seolah-olah membangun imajinasiku dengannya.
Aku mengalihkan pandangan mataku pada sekumpulan bocah yang berlarian menyongsong suara telolet itu sambil mengacung-acungkan tangannya. Aku tersenyum melihat apa yang mereka genggam. Sejenak polah tingkahnya dapat menghapus tatapan dan senyum manis Gadis di kafe yang mencoba menggapai palung hatiku.
Terlintas bayangan seseorang yang sedang berdiri menungguku terpisah jarak ruang dan waktu beberapa puluh kilometer di sana. Aku sudah terikat janji walau belum sampai mengikat jari manisku. Bus antar kota segera melaju mengantarkan Aku padanya.
"Aku dalam perjalanan" ... send ... kalimat itu tertulis dalam chat pribadiku dengannya.
Sepi ... hanya beberapa orang saja di dalam bus antar kota ini. Aku duduk sendiri di samping jendela. Kembali bayangan Gadis di kafe itu muncul dalam kesendirianku. Aku berada di persimpangan. Long distance ini seperti mencoba melonggarkan ikatan tambatan hatiku. Imajinasiku bertebaran tanpa bisa Aku bendung lagi.
Pandangan mataku menerawang jauh keluar dari jendela bus. Terlihat sekumpulan awan saling berpautan membentuk sebuah hamparan kelabu yang semakin gelap. Segelap imajinasiku yang sedang kuurai untuk menemukan batas-batas kebenaran sebuah janji.
Udara dingin AC pun semakin dingin menemani turunnya setetes dua tetes air hujan dari langit. Hujan pertama yang telah lama dinantikan oleh tanah. Hujan sebagai curahan rasa rindu mendung kepada tanah. Sementara bus antar kota tetap melaju cepat menggerus jarak antara Aku dengan dia. Bayangan Gadis di kafe itupun samar-samar masih menyelinap di rongga kepalaku.
Dan hujan turun dengan derasnya. Aku hanya bisa menggigit jari membayangkan kesetiaan tanah pada hujan. Sebuah kesetiaan akan tanpa arti bila tidak ada yang menjadi pengujinya, begitu pikirku. Hujan pun turun semakin deras diiringi tiupan angin yang semakin kencang. Angin datang sebagai penguji bagi hujan dan tanah. Butiran air hujan berhamburan, daun-daun gugur beterbangan kesana-kemari dan dahan-dahan patah di terjang angin kencang.
Bus antar kota tiba di pinggiran kampung tempat dia menungguku. Suasana sudah porak-poranda. Sebuah pohon besar tumbang melintang di jalan dan baliho baja roboh di samping halte tempat dia biasa menjemput impiannya. Bus harus berputar arah. Sementara Aku melihat dia di sana bersama kerumunan orang dengan wajah ketakutan. Aku gelisah ketika bus berbelok arah dan terus melaju pelan menghindari kemacetan.
"Aku harus turun di halte itu," kataku pada kondektur.
"Tidak bisa mendekat. Macet ... harus belok arah," kata Pak Sopir tetap menekan pedal gasnya.
Pelan tapi pasti bus meninggalkan tempat itu diiringi tatapan mataku padanya yang semakin menjauh. Aku telah meninggalkannya. Apakah Aku sudah tidak menghiraukan dia lagi? Benarkah hati ini telah terbagi? Aku tidak kuasa melawan keadaan ini.
Chat WA-ku bergetar ....
"Kamu sampai di mana?"
"Aku ada di dalam bus di depan haltemu."
"Kenapa bus tidak berhenti?"
"Harus putar arah ...."
Chat tidak berbalas. Apakah dia juga akan meninggalkan Aku? Aku semakin gelisah. Bukankah kesetiaan harus diuji? Dan di persimpangan jalan ini Aku harus memilih. Gadis yang selalu menemaniku di kafe atau dia yang selalu menjemput impiannya di halte itu.
Tanah telah membuktikan kesetiaannya pada hujan meskipun porak-poranda tempatnya. Aku segera turun dari bus tanpa menghiraukan tiupan angin kencang dan rintik hujan yang menerpa dan membasahi sekujur tubuhku. Sampai di sana halte itu telah kosong ... berat perjalananku dan sia-sia perjuanganku. Seandainya Aku masih di sana dan mendengarkan lagu Stinky itu ....
Aku tertunduk lesu. Apakah dia akan tergantikan? Aku berdiri mematung di depan halte yang telah terkoyak atapnya dan masih berharap dia akan kembali. Kuangkat wajah dan kutatap langit yang masih menyisakan mendung. Aku akan seperti hujan yang menuntaskan rindunya pada tanah.
Butir-butir air hujan kembali menetes dari langit dan beterbangan ditiup angin. Basah dan terasa dingin ketika menerpa sebagian wajahku. Sedingin hatiku yang masih merindukan sapaan lembut darinya. Hampa ... dan Aku pun tak mau berpaling darinya ....
Semilir angin yang berhembus pelan memberikan kesejukan ketika pandangan mataku tertuju pada seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. Benarkah dia masih menungguku? Dia berdiri di bawah pohon dengan menundukkan kepalanya. Dengan rambut panjangnya yang terurai dan sebagian menutupi wajahnya. Sesekali tiupan angin membelai lembut dan menyibakkan rambutnya. Ke dua tangannya mendekap di depan dada sambil memegang sebuah payung. Dia masih menungguku seperti tanah yang selalu merindukan hujan. Aku mendekat dan menyapanya.
"Maafkan aku ... telah membuatmu menungguku di sini."
"Aku takut kehilanganmu."
Terlihat pelangi di kedua bening bola matanya. Yang perlahan meleleh dari ke dua ujungnya. Angin pun bertiup kencang menyapu rintik hujan membasahi wajahnya. Dia tetap tidak bergeming.
"Maukah kamu pulang bersamaku?"
Dia tersenyum dan mengangguk pelan di ujung penantiannya. Kesetiaan hatinya telah menguatkan ikatan janjiku. Kuraih dan kugenggam tangannya sebelum hujan deras turun membasahi bumi kembali. Dan long distance ini akan terus diuji seiring berjalannya waktu.
Slo.06.10.2018
note : cerpen ini kutulis berdasarkan puisiDi Ujung Penantian Saat Hujan Kemarin karyaku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H