Nama hik begitu familier di Kota Solo dan sekitarnya. Tetapi tidak bagiku, sebagai pendatang baru selepas SMA di tahun 1993 dan menjadi anak kost untuk kuliah di kota tersebut, pada waktu itu nama hik begitu asing bagiku.
Hik adalah nama sebuah tempat makan dengan gerobak makanan dalam suasana malam yang remang-remang. Dengan lampu minyak, tutup terpal dan bangku panjangnya, serta tempat seadanya menjadi ciri khas hik tersebut. Terkadang juga menyediakan satu dua lembar tikar usang. Gerobak makanan itu berisi aneka macam camilan, gorengan, dan nasi bungkus dalam porsi sedikit yang biasa disebut dengan nama nasi kucing.
Teringat dulu ...
Hik sebagai tempat favorit bagi anak-anak kost dan orang-orang yang suka begadang untuk nongkrong dan bertukar cerita. Awalnya Aku menyebutnya angkringan ... bahasa dari Jogja karena memang Aku berasal dari sana. Hik menyajikan menu makanan yang beragam dan seleranya wong cilik. Orang makan di hik tidak pernah mengenyangkan walau sudah banyak duit dibelanjakan di sana.
Secangkir teh, jahe, kopi panas atau wedang cemui ... minuman khas Solo, serta beberapa bungkus kacang kulit dan gorengan adalah menu yang biasa tersaji untuk menemani ngobrol hingga dini hari.
Penasaran dengan nama hik tersebut, Aku mencoba googling di internet. Dari Wikipedia disebutkan nama Mbah Pairo yang berjualan makanan kecil dan minuman dengan cara dipikul dan ngider berkeliling keluar masuk kampung sambil berteriak "hiik ... iyeek" dan memukul piring, mangkok, atau gelas menggunakan sendoknya. Sehingga orang menyebutnya dengan julukan thing-thing hik, dan lebih gampang disebut hik. Sebagian orang mengartikan hik singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung.
Aku juga mencari informasi dari pemilik warung dan orang-orang sekitarnya. Tetapi mereka sendiri tidak tahu pasti awal mula nama hik tersebut. Bahkan teman-teman asli Solo pun demikian juga.
Lama berselang hingga Aku lulus kuliah dan bekerja di kota ini, hik tetap eksis menghiasi kehidupan malam di kota Solo. Entah kenapa Aku teringat kembali dengan hik ini yang telah memberikan sedikit banyak kenangan. Tentang aktivitas begadang dan kehidupan malam bersama teman-teman kuliah dulu. Dan Aku teringat kembali sekelumit cerita dari orang tua di kampung tempat Aku indekos yang mungkin dapat menjadi versi lain tentang asal-usul nama hik tersebut. Versi ini lebih menarik bagiku dan menurutku mendekati kebenaran ceritanya.
Sejak dulu hik memang identik dengan dunia malam hingga erat kaitannya dengan kalangan muda yang menyukai dunia sempoyongan. Mereka berkumpul dan begadang hingga pagi menjelang. Bukannya teh, jahe, kopi atau wedang cemui yang mereka minum, tapi mereka lebih menyukai alkohol atau ciu untuk menghangatkan badan.Â
Mereka sering mabuk-mabukan dan acap kali terdengar bunyi 'hik' seperti orang sedang ceguk'en (bahasa Jawa) dari warung tersebut. Sehingga orang menyebutnya warung hik karena sering mendengar bunyi tersebut. Mungkin dari merekalah kata hik itu melegenda di Kota Solo. (CMIIW)
Seiring perkembangan jaman, terjadi pergeseran budaya dan tingkat intelektual masyarakat. Hik mulai dipergunakan untuk hal-hal positif, terutama setelah banyak pendatang dari kalangan pelajar dan mahasiswa ke Kota Solo. Mereka biasa menghabiskan malam di sana melepas penat setelah seharian disibukkan dengan berbagai kegiatan. Mereka nongkrong, makan minum dan saling bertukar cerita di sana.
And now ...
Hik masih tetap ada meskipun banyak bermunculan warung dan kafe dengan konsep hik yang lebih modern dengan suasana romantis, dan menu yang lebih bervariatif bagi kalangan berduit. Serta menjangkau semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak dan dewasa bahkan keluarga pun memanfaatkan suasananya untuk berkumpul. Hik modern ini lebih menonjolkan sisi status sosial konsumennya.