Mahasiswa dan Masyarakat Adat Kampung Turiram dan Kampung Webu  Distrik Kimaam Kabupaten Merauke Prov. Papua Selatan Menolak Dengan Tegas Semua Perusahaan Yang Akan Masuk di atas Wilayah Adat .
Bahwa Pada tanggal 10 Agustus 2024 Perwakilan Masyarakat Adat Malind Anim dari Kondo sampai Digul telah melakukan aksi penolakan terhadap Investasi berskala luas yang sedang di jalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Proyek Strategis Nasional berupa Swasembada Gula dan Bioetanol serta Proyek Lumbung Pangan yang akan menggunakan jutaan Hecktar di Merauke. Pernyataan dan Aksi Penolakan terhadap program Jakarta tersebut dilakukan  di dusun Payum kelurahan Samkai, Distrik Merauke, Kab. Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Berdasarkan pada hasil penolakan tersebut maka masyarakat  adat di pulau Kimaam khususnya kampung Turiram dan kampung Webu telah menyatakan sikap untuk bersatu dengan seluruh masyarakat adat Malind dari Kondo sampai Digul kabupaten Merauke  untuk menolak segala bentuk investasi diatas tanah adatnya masing-masing, maka pada tanggal 11 Agustus 2024 Mahasiswa, Pemuda, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Perempuan, Tokoh Agama dan seluruh masyarakat adat Kampung Turiram dan kampung Webu distrik Kimaam kabupaten Merauke melakukan pertemuan untuk menyatakan keputusan mereka di balai kampung Webu.
Dalam pertemuan tersebut  semua elemen masyarakat bersepakat dan menyatakan sikap tegas untuk menjaga Tanah adatnya dan menolak segala bentuk investasi diatas tanah adat mereka. Tokoh Masyarakat Kampung Turiram bapak  Soter Guruba dengan keras menegaskan bahwa masyarakat Turiram dan Webu hari ini waspadah dan mencurigai semua aktivitas pihak-pihak yang hari ini beraktivitas di Kimaam " kita harus cek baik proyek penanaman bakau di pesisir selat Mariana, jangan sampai ada perusaahn yang mau sisip dalam proyek tersebut dan kalu ada, kita harus tolak". Ungkapnya
Selanjutnya ketua adat kampung turiram  bapak Hilarius Kampi,  menegaskan  bahwa saat ini semua masyarakat adat dari kampung Turiram dan Webu harus pikirkan baik-baik masa depan anak cucu nereka. "besok kalau perusahaan masuk ke sini, kita dan anak cucu semua mau kemana  dan mau mencari makan dimana ? Kalau tanah dan hutan suda dirampas oleh perusahaan . Jadi saya selaku ketua adat menyatakan bahwa Masyarakat adat kampung turiram dan kampung Webu di distrik Kimaam kabupaten Merauke  dengan tegas  menolak segala bentuk perusahaan yang mau masuk diatas  tanah adat kami".  Tuturnya. Hilarius  Kampi pada kesempatan itu juga  menyampaikan bahwa dirinya  mendukung masyarakat  Adat Malind-Anim dari Kondo sampai Digul  untuk menolak segala macam Perusahaan- perusahan di kabupaten Merauke karena belajar dari masa lalu yang kelam bersama perusahaan.
Selanjutnya bentuk penolakan juga disampaikan oleh ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM) kampung  Webu Anakletus Kornelis Yatawa, "kalau kita menerima perusahaan yang mau masuk di wilayah kami, pertama  Tanah kami akan dirampas, Hutan kami dibabat/digusur habis terakhir masyarakat adat akan tersingkir. Saya tidak mau berdosa terhadap anak cucu dan saya, sehingga saya mengajak masyarakat dari dua kampung baik Turiram maupun Webu untuk menolak Proyek penanaman bakau yang sedang dilakukan dan menolak segala macam investasi diatas  tanah adat kami dalam betuk apapun". Tuturnya. Dalam rapat tersebut masyarakat Adat kampung Turiram dan kampung Webu menyepakati beberapa poin seperti :
Menolak proyek penanaman bakau di pesisir selat mariana
Menolak semua rencana Investasi  diatas Pulau kimaam
Menolak perushaan yang akan berinvestasi  di distrik Ilwayab (Tanah adat Makleuw)
Menolak Semua Bentuk Investasi diatas Tanah Adat Malind
Sementara itu Arnold  Anda  Ketua Devisi  Ekosob LBH Papua Pos Merauke yang juga putra asli Marind  yang ikut memantau aksi penolakan tersebut menyampaikan bahwa Aksi-Aksi masyarakat Adat dari kampung Turiram dan Webu  wajib menjadi atensi dari Majelis Rakyat Papua Selatan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Merauke untuk berperan aktif memantau situasi dan meneruskan  Aspirasi tersebut kepada pemerintah Pusat agar segera menghentikan Proyek Strategis Nasional yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. " Majelis Rakyat Papua Selatan, Dewan Perwakilan Papua Kab. Merauke, wajib untuk mendengar aspirasi penolakan masyarakat Adat tersebut dan meneruskan ke Jakarta sehingga DPRI bisa memainkan fungsi pengawasan dan memanggil Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi maupun menghentikan Proyek Strategis Nasional yang berpotensi Melanggar Hak Asai Manusia" pungkasnya