Mohon tunggu...
Nova Nada Pertiwi
Nova Nada Pertiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Atomi Sosial dan Kaitannya dengan Krissi Identitas, serta Anomi Global?

31 Mei 2023   21:57 Diperbarui: 31 Mei 2023   22:29 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tidak dipungkiri bahwa globalisasi memberikan banyak dampak positif bagi kehidupan sosial sehari-hari, seperti mudahnya mendapat informasi, mudahnya transmigrasi, dan mudahnya bertransaksi. 

Namun, dampak positif tidak datang sendiri tanpa ada dampak negatif, salah satu contohnya ialah masyarakat yang lebih individualis karena sekarang semua sudah mudah untuk dilakukan sendiri tanpa perlu bantuan banyak orang. Akibat dari sifat individualis tersebut adalah terjadinya disintegrasi sosial atau bisa juga disebut atomisasi sosial. 

Untuk itu penulis akan mencoba menjelaskan dengan beberapa pertanyaan pemandu menggunakan sudut pandang Galtung 1995. Adapun pertanyaan pemandu seperti berikut: Sejauh mana proses atomisasi sosial berlangsung dalam globalisasi? Mengapa atomisasi sosial berlangsung masif dalam globalisasi? Bagaimana kaitan atomisasi sosial dan krisis identitas dalam globalisasi? Bagaimana juga kemungkinan bagi munculnya anomi global di kemudian hari?

Peran globalisasi pada atomisasi sosial ialah globalisasi membantu mudahnya penyebaran budaya. Dalam hal ini globalisasi memberikan dampak pada mudahnya penyebaran modernisasi yang berkembang di Eropa dua abad yang lalu. 

Modernisasi ini merujuk pada tiga pilar yaitu state logic (sentralisasi dari kekuatan koersif dijiwai oleh demokrasi), capital logic (dorongan pasar dalam kekuatan ekonomi, diperlemah oleh klausul anti monopoli), dan ratio logic (sekularisasi kekuasaan normatif). 

Akibatnya terjadi individualisme dengan organisasi hierarkis masyarakat; atomisme epistemologis dan organisasi hierarkis ide (sistem deduktif); gambaran dunia yang sangat dichotomous (pemisahan yang tegas); dan agama/ideologi yang dipandang sebagai singularistik (kebenaran tunggal) dan universalistic (Galtung 1995).

Globalisasi dapat memberi dampak pada sifat sosialisasi manusia, manusia yang mulanya hidup berdampingan sebagai makhluk sosial menjadi individualis dan terintegrasi. 

Disintegrasi sosial dalam masalah global diidentifikasikan sebagai proses destruksi dan dekulturasi, artinya proses menuju tidak adanya struktur/tatanan yang jelas serta tidak adanya budaya (Galtung 1995). Istilah lain dekulturasi disebut anomi, sedangkan destruksi disebut atomisasi. Namun, realitanya kehidupan sosial sekarang belum sejauh itu, masih banyak norma yang mengikat, misalnya norma agama yang masih melekat di Indonesia. 

Selain itu antar individu juga masih saling berinteraksi, walaupun tidak secara langsung dan lebih sering melalui media untuk berinteraksi, misalnya berinteraksi melalui media sosial menggunakan gadget. Tapi perlu disadari juga bahwa mungkin saat ini kita tengah dalam masa menuju atomisasi dan anomisasi sosial mengingat banyak hal negatif yang dinormalisasi.

Lalu mengapa atomisasi sosial ini dapat terjadi bahkan bisa dikatan masif? Galtung (1995) menjelaskan bahwa struktur sosial telah berubah seiring berjalannya waktu, yang mulanya berbentuk nomadisme beralih menjadi monadisme. Nomadisme merujuk pada struktur horizontal yang berlandaskan norma kasih sayang dan solidaritas kelompok, sedangkan monadisme merujuk pada struktur sosial vertikal berlandaskan norma kehormatan dan kepatuhan yang dominan. Jika kita melihat realita sekarang, manusia secara kolektif berlomba-lomba mencari posisi untuk dihormati. Hilangnya norma-norma dalam masyarakat yang dapat mengikat individu dalam masyarakat akan menciptakan sindrom atomi dan anomi. Sindrom ini tidak hanya memisahkan individu dari satu sama lain, tetapi juga menghasilkan egosentrisme pada individu tunggal sebagai pembuat keputusan tertinggi. Selain itu, pemuas (barang/jasa) satu sama lain dilepaskan sebagai objek untuk dimiliki dan dikonsumsi secara terpisah. 

Preferensi ditetapkan berdasarkan biaya dan manfaat yang terkait. Hasilnya banyak terjadi tindak kekerasan di setiap tingkatan organisasi sosial. Sindrom atomi dan anomi juga terjadi dalam hubungan individu dengan alam, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan keluarga, hubungan masyarakat micro, dan hubungan masyarakat  makro atau dalam hubungan antar negara.

Individu tidak dapat terus menerus hidup dalam keadaan atomie dan anomie, keadaan dimana banyak kekerasan terjadi dapat menyebabkan penyakit mental pada individu meningkat. Akan muncul indikasi-indikasi alcoholisme, sexholic, dan workaholic. Keadaan yang semakin jauh dari norma dan saling terintegrasi ini tentu menyebabkan krisis identitas, misalnya dalam hal disintegrasi keluarga salah satu anggota yang seharusnya memiliki identitas sebagai anak dari keluarga A, bisa saja mengalami krisis identitas jika anak tersebut memisahkan diri dari keluarga. Anak tersebut tidak lagi beridentitas sebagai anak dari keluarga A. Globalisasi dapat memperparah proses krisis identitas karena proses atomisasi jauh lebih mudah dilakukan karena mudahnya akses untuk berpindah tempat, yang mana akan mengurangi intensifikasi hubungan primer dan sekunder individu. Hubungan primer merupakan hubungan yang dijalin individu terhadap kerabat dekatnya. Sedangkan hubungan sekunder merupakan hubungan yang bersifat umum, universal, dan mencakup individu yang seragam. Dua jenis hubungan ini erat kaitannya dengan identitas, keamanan, dan altruisme dalam kehidupan individu masyarakat (Galtung 1995). Krisis identitas juga bisa timbul saat norma-norma sosial yang mengatur kehidupan masyarakat menjadi lemah atau tidak jelas. Bila individu tidak memiliki panduan yang pasti tentang nilai-nilai, peran, atau harapan dalam masyarakat, mereka mungkin merasa bingung dan kehilangan arah. Ini bisa menimbulkan rasa tidak aman dan ketidakpastian mengenai identitas pribadi.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa kehidupan masyarakat yang tidak terstruktur dapat menyebabkan pecahnya kekerasan, salah satunya di tingkat internasional. Kekerasan di tingkat internasional dalam konteks ini merujuk pada dunia anomie, menurut Galtung (1995) dunia anomie adalah keadaan negara-negara didominasi oleh logika kepentingan egoistik dan pertimbangan cost-benefit. Masyarakat dunia digambarkan dengan struktur vertikal dengan hubungan simbolik dan abstrak daripada interaksi secara langsung. Masyarakat dunia cenderung tidak memiliki norma yang mengikat dan orientasi altruistic yang kuat. Meskipun terdapat struktur beta (struktur harmonis dan lebih kooperatif) di tingkat dunia seperti Nordik, Uni Eropa, dan ASEAN, tetapi struktur pada saat ini lebih condong pada ciri-ciri atomie dan anomie. Akibatnya, kekerasan seringkali menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan konflik, tanpa memperhatikan nilai-nilai yang diakui secara umum, tanpa memperhatikan suara hati nurani, dan tanpa rasa takut akan sanksi hukum. Hal ini tentu saja berdampak negatif pada upaya mencapai harmoni dan kerjasama di antara masyarakat dunia. Contoh nyata dari tindak kekarasan di tingkat global pada saat ini yaitu invasi Rusia atas Ukraina.

Kesimpulan yang dapat penulis tarik ialah bahwa kini masyarakat tengah dalam menuju anomie dunia, di mana banyak terjadi tindak kekerasan terhadap alam, diri sendiri, dan ke orang lain yang mana tindakan-tindakan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma. Selain itu masyarakat juga menunjukkan gejala atomisasi sosial, masyarakat dewasa ini lebih individualis dan kurangnya struktur yang mengikat sehingga menimbulkan krisis identitas. Perlu adanya pencegahan dari masing-masing individu agar anomie atau atomie sosial ini bisa berkurang kemasifannya dan tidak terjadi anomie global di kemudian hari. Masyarakat perlu menekankan betapa pentingnya membangun ikatan sosial yang kuat, norma yang jelas, dan keterhubungan yang bermakna antara individu-individu dalam masyarakat. Usaha untuk memperkuat ikatan sosial dan mempromosikan interaksi sosial yang positif dapat membantu mengatasi atomie sosial serta mengurangi kemungkinan krisis identitas.

Referensi: Galtung, Johan, 1995. On The Social Cost of Modernization: Social Disintegration, Atomie or Anomie and Social Development

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun