Mohon tunggu...
Boly Uran
Boly Uran Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang Petani yang suka melakukan kajian sosial budaya untuk membantu pembangunan Desa

hasil kajian sosial budaya telah dibukukan dalam buku perdana dengan Judul Di Balik Kesunyian Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wurin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu dalam Perspektif Budaya Tutu Koda

31 Mei 2022   18:03 Diperbarui: 7 Juni 2022   08:26 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu sebagai sarana masyarakat menyalurkan aspirasi, adalah bagian teramat penting dalam  proses membangun bangsa dan negara. Aspirasi masarakat, suara rakyat adalah suara Tuhan ( Vox Populi Vox Dei ).  Menanta sistim dan memastikan proses penyaluran aspirasi masarakat secara bermartabat, taat pada regulasi adalah tanggung jawab semua pihak  termasuk pemilih. Tanggungjawab ini bukan hanya dibebankan pada penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum  dan  jajarannya sampai pada tingkat  Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

Menyongsong Pemilu serentak tahun 2024, KPU di setiap Kabupaten terus menggemakan pentingnya partisipasi masyarakat dalam  beberapa strategi sosialisasi. KPU Kabupaten Flores Timur mengemas strategis komunikasi yang disebut Tutu Koda Pemilu. Lewat tulisan singkat ini penulis mencoba menghadirkan sepenggal refleksi atas pendekatan Budaya dengan penekanan pada pilihan tema “ Tutu Koda Pemilu “

Masyarakat Lamaholot dalam kehidupan sosial budayanya tidak bisa terlapas dari tradisi budaya  “Koda“. Koda, kata, sabda yang menghidupkan, Koda yang mengispirasi serentak Koda mengikat.  Beberapa daerah menyebut koda dalam dialeg : tutu koda mari kiri, koda pulo  kiri lema.  Tutu berarti menuturkan. Koda: Kata, pesan, sabda.  Tutu Koda dalam terminologi budaya lamaholot dapat dimaknai  sebagai  proses menuturkan pesan pesan kehidupan yang selalu dirangkai dengan bahasa - bahas simbol. Tutu Koda sebagai mantra, doa , ikatan komitmen dalam sebuah ritual adat budaya. Kuntowijaya sebagaimana dikutip oleh Anton Baker dalam buku  Tantangan Kemanusiaan Universal (Kanisius, 1992 ) menegaskan bahwa “ Budaya adalah sebuah sistim yang mempunyai koherensi. Bentuk- bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku , mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep- konsep epistemologis dari sistim pengetahuan masyarakat ....”

Pemilu sebagai bagian penting dari  kehidupan masyarakat harus mampu dihadirkan dalam diskursus (tutu koda) kehidupan sosial budaya sebagai sebuah sistim pengetahuan. Slamet Sutrisno dalam artikelnya “ Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia (Kanisius, 1992 ) menegaskan bahwa “ perkembangan ilmu tidak terlepas dari perspektif nilai budaya, faktor kebudayaan merupakan penentu  bagi penguasaan dan pengembangan ilmu tersebut”. Pemahaman yang benar tentang pentingnya pemilu hanya bisa terbangun ketika proses komunikasi (koda) saling bersambung sebagaimana  padanan kata tutu koda mari kiri. Tutu : menuturkan, mari : mewartakan. Ada yang menyampaikan pesan dan  penerima pesan WAJIB melanjutkan pesan tersebut. Pesan kehidupan tidak boleh berhenti, harus terus digemahkan. Prinsip koherensi, keselarasan menegaskan nilai kesakralan dari koda tersebut sehingga harus dikawal tidak boleh dibelokan. Intinya Koda jangan dipolitisasi, jangan dinarasikan dalam bingkai HOAX.

Tutu Koda pemilu menujukan bahwa Pemilu adalah sebuah kesempatan yang teramat berharga bagi masyarakat untuk menyalurkan, menyerahkan koda, aspirasinya kepada Ata Dike ( orang baik ) yang dipercayai dapat mengemban, menterjemahkan serta mewujudkan koda tersebut. Konteks Koda sebagai sebuah amanat yang berharga menegaskan tentang sebuah nilai kebenaran. Koda yang dipercayai sebagai sebuah kepasrahan dalam dialog dengan wujud tertinggi serta para leluhur menegaskan tentang kesetiaan pada kebenaran bukan sebagai sebuah upaya memanipulasi  kejahatan terselubung.

Menyampaikan pesan pemilu adalah kesetiaan dalam membawakan serta mewartakan  kabar gembira, bahwa melalui pemilu dan pemilihan masyarakat berdaulat atas koda- kodanya. Untuk itu kedaulatan ini harus dilindungi dari segala upaya penghancuran melalui  berita berita bohong, berita manipulatif serta politik identitas yang terus marak dimainkan di media sosial. Kesadaran sebagai Ata Dike ( orang baik, bermartabat ) hendaknya menjadi penutun bagi semua penutur demokrasi. Para politisi yang akan maju menjemput koda- koda hendaknya menjaga martabat koda tersebut dari upaya perendahan martabat dengan praktek- praktek tidak benar seperti politik uang.

Koda Beridentitas Ata Dike

Setiap orang berhak dan berdaulat atas kehendaknya, aspirasi, harapan.  Kedaulatan yang tidak bisa diwakilkan ketika pemilih menggunakan hak konstitusinya. Ata Dike, Pemilih yang berdaulat juga wajib memastikan telah memiliki identitas diri yakni KTP-el serta terdaftar dalam daftar Pemilih.  Beridenitas dapat dimaknai sebagai kewajiban untuk mengawal kedaulatan  kodanya.  Kejelasan identitas  yang dapat dibuktikan menujukkan bahwa Koda yang akan diamanatkan ke calon wakil rakyat, ke calon pemimpin  adalah koda yang benar karena pemilik koda itu sendiri yang memberikan mandatnya. 

Kebenaran identitas sebagai warga negara Indonesia hanya dapat dibuktikan  dengan kepemilikan KTP- el.  Sebagaimana  penjelasan Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrullah atas isu  kepemilikan KTP-el Warga Negara asing, dikaitkan dengan persiapan Pemilu serentak tahun 2024  yang dimuat di  harian Kompas, 1 Juni 2022. (https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/01/174500165/penjelasan-kemendagri-soal-isu-e-ktp-wna-dikaitkan-dengan-pemilu-2024-?page=all#page2) . Warga Negara Indonesia  dan warga Negara Asing sama sama memiliki KTP-el tetapi ada perpedaan sebagaimana penegasan dalam pasal 63 undang-undang nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Persyaratan bagi WNA yang akan memiliki KTP-el wajib memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap ( KITAP ).  Meski memiliki KTP-el WNA yang ber KTP- El tidak bisa menggunakan hak Pilih dan tidak bisa dipilih. Hanya dengan ada kepastian memiliki dokumen KTP-el yang menegaskan  tentang Identitas sebagai Ata Dike – warga negara Indonesia maka pemilih boleh dan wajib mendaulatkan kodanya, aspirasinya.

Koda dalam Wadah Gebia  Waja

Gebia adalah tempat menaruh siri pinang. Waja adalah menyuguhkan.  Gebia waja selalu ditempatkan  di titik sentral dalam sebuah acara, ritus ada juga dalam urusan sebuah persoalan, termasuk urusan pernikahan. Gebia Waja sebagai sebuah simbol persatuan, perdamaian. Setiap orang yang hadir dalam sebuah kegiatan wajib deba ( menyentuh ) Gebia dan bisa menikmati siri pinang. Gerakan tangan deba Gebia  menegaskan pergerakan seluruh jiwa dan raga untuk menjadi bagian yang utuh, tidak terpisahkan. Gebia waja juga sebagai sebuah media undangan untuk masyarakat hadir dalam sebuah kegiatan  pesta sosial budaya.

Jawaban atas undangan ini,masyarakat merasa “ WAJIB “ hadir dan biasanya membawakan sesuatu untuk membantu tuan pesta. Jawaban atas Gebia Waja pemilu yakni undangan untuk hadir di tempat pemungutan suara,  masyarakat  wajib membawa dua hal penting yakni dokumen KTP-el atau Surat Keterangan ( Biodata Diri ) yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan pencatatan Sipil dan Koda kiri  (  aspirasinya, pilihannya) sebagaimana ditegaskan dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2020  tentang Perubahaan Atas Perarutan Komisi Pemilihan Umum  Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota. Pasal 7 ayat (2) “Dalam memberikan suara di TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilih menyerahkan formulir Model C.Pemberitahuan-KWK dan menunjukkan KTP-el atau Surat Keterangan kepada KPPS.”.  Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga  dapat dimaknai sebagai wadah Gebia Waja, tempat pemilih menyampaikan pesan, meletakan koda kirinya. Koda yang dituturkan di atas wadah Gebia waja adalah simbol sebuah ikatan doa, harapan. Ada tututan moril, keterpanggilan bagi yang diamanatkan koda  ini.

Keberanan Koda Melalui Pencaharian

Para penutur sastra yang ditemui penulis selalu mengisahkan bahwa untuk menuturkan sebuah kisah asal usul atau hendak menyampaikan sapaan adat dalam sebuah peristiwa ritual adat, selalu melakukan sebuah ritual sebelum kegiatan berlangsung. Malam harinya sang penutur sastra melakukan ritual yang disebut “ Tura Neda Lone Kemie Padu “. Sebuah upaya meminta petunjuk dari leluhur melalui mimpi agar  kata kata yang akan disampaikan adalah  “ Mure wene”, kata yang benar sesuai dengan asalnya, sesuai dengan pokoknya. Tradisi Tura Neda  selalu dilakukan oleh para leluhur dalam menentukan sebuah tempat untuk membangun rumah. Apakah tempat tersebut aman. Di mana seharusnya letak pintu utama. Tura Neda juga selalu dilakukan oleh pelaku tradisi untuk mengurai kesalahan - kesalahan (dosa) yang dibuat oleh para leluhur dan dampaknya dirasakan oleh anak cucu. Tura Neda, sebuah upaya pencarian kebenaran akan esensi dari Koda Kiri pulo lema. Tura : Mimpi, Neda, sebuah alas, bantal yakni sarana yang disebut kemie padu. Kemie : Buah Kemiri. Padu : lilin dari  kemiri ( buah kemiri kecil yang biasa digunakan sebagai lilin/pelita). Tura Neda dapat dimaknai  melalui landasan yang benar,  sang pencari kebenaran dituntun oleh cahaya menuju kebenaran itu.

Tradisi “ Tura Neda” upaya mencari kebenaran koda, telah diwariskan oleh para leluhur sebagai sarana untuk memuliahkan kehidupan dan kemanusiaan. Leluhur mengajarkan bahwa sebuah peristiwa harus mampu dilihat, dibaca dan dimakanai secara mendalam.  Proses mencarinya pun harus menggunakan alas, sumber yang benar, sarana yang tepat. Pemilu dan Pemilihan tidak terlepas dan sepih dari  publikasi berita berita bohong atau hoax. Keutuhan  berita sering dipotong. Sebuah peristiwa yang terdokumentasi dalam foto sering diedit dengan narasi yang berbeda dan setitikpun tidak ada nilai kebenaran dari narasi tersebut. Hasil penelitian MAFINDO ( Masyarakat Anti Fitnah ) mengklasifikasi hoax dalam dua klasifikasi yakni umum dan akademis.  Klasfikasi umum sangat sederhana yakni masyarakat memahami berita tersebut  Benar atau Bohong/Hoax. Sedangkan klasifikasi akademis menyangkut  kekacauan informasi yang mencakup miss-informasi, dis-informasi dan mal-informasi. MAFINDO  juga dalam penelitian selama september 2019 menyimpulkan bahwa penyebaran informasi  hoax menggunakan kombinasi Narasi –foto, Narasi Video yang umumnya disebarkan melalui Facebook dan Whatsapp ( pesan berantai ) di mana isu politik lebih mendominasi.

 Regulasi Pemilu sebagai Dasar Kebenaran Informasi 

Para pemilih ketika berhadapan dengan berita bohong  dengan tingkat literasi  yang rendah dan keengganan untuk mencari sumber yang kompeten untuk mengklarifikasi sebuah berita, menyebakan pemilih mudah terjebak dalam lingkaran kebohongan serta menjadi korban.   Leluhur telah mewarsikan nilai tradisi mencari kebenaran. Sebagai pemilih yang berbudaya, masyarakat, pemilih  wajib bersikap kritis. Pemilih harus bertanya pada penyelenggaran pemilu, KPU dan jajarannya sampai di tingkat desa berkaitan dengan aspek aspek teknis kepemiluan, bukan mendasarkan diri pada padangan dari pihak lain yang bukan penyelenggara.  

 Nilai Tradisi Lone Kemie Padu harus menjadi inspirasi bagi pemilih yang berjiwa ata dike  (baca pemilih cerdas ).  Undang- udang nomor  7 Tahun 2017  Tentang Pemilihan Umum yang selanjutnya diterjemahkan lebih teknis dam spesifikasi dalam beberapa  Peraturan Komisi Pemilihan Umum adalah dasar rujukan bagi KPU dan jajarannya. Maka Pemilih yang cerdas ketika berhadapan dengan ketidakjelasan informasi harus bertanya pada KPU dan Jajarannya  bukan mendasarkan diri pada pandangan seseorang atau lembaga lain yang mungkin menggunakan  rujukan di luar regulasi ini, apalagi menggunakan intepretasi pribadi yang jauh dari kata kebenaran. Kepatuhan pada regulasi juga wajib hukumnya dilaksanakan oleh KPU dan jajarannya.

Para penyelenggara sampai pada tingkat desa, satu suara, satu pemahaman atas regulasi dan taat  pada regulasi. Berpijak pada regulasi adalah langkah tepat memastikan diri aman dari upaya kriminalisasi penyelenggara sekaligus menegaskan integritas diri sebagai penyelenggara. Para peyelenggara pemilu, peserta pemilu baik partai politik, masyarakat pemilih  hendaknya mendasarkan diri pada regulasi pemilu  dan spirit nilai-nilai budaya sebagai penggerak yang mempersatukan. Politik, sarana untuk menata kehidupan bersama  hendaknya dibingkai dalam Kebudayaan Politik yang bermartabat di mana pemilu menjadi sarana wewujudkan kehidupan bersama yang Unum ( satu ), Verum ( Benar )  Bonum ( baik )  dan Pulchrum ( indah ).

Oleh URAN Fabianus Boli

Anggota Komisioner KPU Kabupaten Flores Timur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun