Mohon tunggu...
Boly Uran
Boly Uran Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang Petani yang suka melakukan kajian sosial budaya untuk membantu pembangunan Desa

hasil kajian sosial budaya telah dibukukan dalam buku perdana dengan Judul Di Balik Kesunyian Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wurin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancasila dalam Refleksi Komunikasi Pembangunan Desa

27 Juni 2019   17:42 Diperbarui: 27 Juni 2019   17:54 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat dua tahun lalu, 1 Juni 2017,  berlokasi di halaman Kantor Desa Lewotobi sebuah refleksi peradaban yang hilang kembali diangkat dalam rangkaian kegiatan  Seminar Budaya dengan Tema " Birawam Menuju Pembangunan Desa Berbasis Budaya Ekologis"  Penulis  merasa bangga karena menjadi bagian kecil dari proses ini. Penulis merasa bersyukur karena hasil kajian warisan budaya Penulis  menjadi sebuah referensi yang dibedah oleh sekian banyak narasumber dan akhirnya melahirkan keputusan Lewo dan telah tertuang dalam Perdes. Beberapa Keputusan Lewotobi dan Lewouran adalah :

1. Konservasi Terumbu Karang

2. Konservasi Penyu dan Telur Penyu

3. Menarasikan Warisan Budaya dalam bentuk Dokumentasi berupa buku.

4. Menanam Pohon-pohon di Pinggir pantai untuk mengatasi Abrasi Laut

5. Membangun Design Wisata Bahari berbasis Budaya.

Poin satu sampai tiga  sudah dilakukan. Untuk Poin  tiga, pada tanggal 28 Oktober 2018, bertepatan denga peringatan Usia Emas Desa Lewotobi ( Birawan ) Buku dengan Judul di Balik Kesunyian Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri diluncurkan sebagai kenangan atas ziarah Lewotana.  Hari ini, 1 Juni 2019, dalam permenungan setelah apel memperingati HUT Pancasila, penulis mencoba merefleksikan tentang Nilai Pancasila dalam semangat membangun Desa, Membangun Lewo. Desa adalah sebuah tatanan Sosial, Desa adalah sebait syair tentang kesunyian, tentang kesederhanaan, tentang kearifan bagaimana membangun dari keterbatasan, tentang kesadaran untuk terus kembali berpijak pada nilai-nilai warisan leluhur. Desa dalam tarian kesunyian adalah bagian tak terpisahkan dalam membangun bangsa ini.

Sejak Kesepakatan Lewo ini pada tanggal 1 Juni 2019, Pemerintah Desa terus berjuang mewujudkan amanat keterpanggilan ini. Ada sekian banyak tantangan di awal dan sesudah proses ini tetapi, Kekuatan Lewo terlalu kuat untuk dikalahkan oleh segelintir pihak yang tidak memahami tentang Spirit membangun Lewo. Penulis sangat bersyukur, Program Konservasi Terumbu Karang bisa menghantar Desa Lewotobi  meraih juara II tingkat Propinsi untuk Kategori Desa dengan Program Inovasi. 

Saat ini Penyu-Penyu  semakin akrab dengan Pantai- Pantai di Lewotobi, di Pantai Blelawutun, Pantai Waiotan. Masyarakat menemukan sekian banyak titik penyu  bertelur dan setelah dipastikan, lokasi ini ini dipagari. Bersama Kelompok Konservasi dan Pemerintah Desa, Masyarakat terus disadarkan dan semakin sadar serta  tidak berani lagi mengambil telur penyu untuk dikonsumsi. Dulu kalau mendapatkan Penyu saat bertelur, Penyu dan telur penyu dieksekusi untuk konsumsi. Sekarang masyarakat telah sadar dan perlahan tumbuh jiwa melindungi dan merawat. Sebuah proses transformasi nilai sedang bergerak dan terus menemukan bentuk-bentuk.

Nilai transformasi ini juga berpengaruh ke desa desa tentangga. Seorang Nelayan , Andreas  Tutu Muda, di Desa Riangbaring  yang selalu mengambil telur penyu  untuk Konsumsi dan dijual kini telah beralih menjadi pegiat Konservasi Penyu dan Telur Penyu. Kesadaran Ande demikian sapaanya, bukan hanya karena takut dengan regulasi tentang perlindungan penyu tetapi karena muncul kesadaran tentang pentingnya kelestarian ekosistem.

Spirit Melindungi dan Merawat Ekosistem adalah bentuk kecil cara masyarakat Desa menghayati Nilai-Nilai Luhur Pancasila yang lahir di Bumi Flores, Inspirasi dari Sang Pencipta kepada Sang Proklamator Soekarno. Merefleksikan nilai-nilai luhur, mengkaji dan menyajikan sebagai sebuah  design pembangunan Desa adalah cara bagaimana membangun Desa bersumber dari kekuatan Lewo, kekutatan yang diwariskan oleh Leluhur. Setiap Narasi tentang Lewo lewat tuturan --tuturan lisan serentak juga ada proses transformasi kekuatan-kekuatan itu yang sering tidak disadari. Kekuatan-kekuatan Lewo adalah bisikan panggilan yang harus didengarkan dengan bijak karena ia mengandung sejuta makna.

 Pancasila dalam Sepenggal Refleksi Nilai Lamaholot

Keluhuran  Nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek Moyang adalah hasil dari dialog kosmik dengan wujud tertinggi yang disebut Ama Lerawulan Ema Tana Ekan, ( Sila Pertama )  melalui perantara Kewoko Kelite, Nitu Pudu  Hari Neda ( Kewoko Kelite : arwah para leluhur, Nitu Pudu : Penjaga Hutan hutan, Hari Neda : Penjaga Laut dan pantai ) melalui sebuah proses pencarian kebenaran yang disebut Tura Neda Lone Kemie Padu. Proses pencarian kebenaran ini bertujuan untuk membangun Ata Dike ( Orang baik) ( Sila Kedua ). 

Ata Dike tidak bisa hidup sendirian, ia terpanggil hidup dalam sebuah ikatan social budaya yang disebut ata kaja ribu pulo ratu lema. ( Sila Ketiga). Ikatan social budaya ini termateraikan dalam adat istiadat yang lahir atas kesekapatan bersama yang dilakukan dalam sebuah wadah yang disebut Lage Loge  untuk melahirkan Koda Geto ( kesepakatan ). 

Hasil kesepakatan ini juga tercermin dalam sikap penerimaan suku-suku pertama yang mendiami sebuah wilayah terhadap suku-suku pendatang atau yang datang belakangan. Penerimaan disertai dengan Pua Tana ekan, memberikan sebagai dari empunya mereka agar ribu ratu  ( masyarakat ) yang baru tiba boleh menjadi bagian tidak terpisahkan dalam ikatan social budaya. Agar mereka pun boleh bersama mengolah tanah, mengail ikan untuk sebuah kehidupan yang layak ( Sila Kelima )  demi sebuah pewarisan generasi penutur peradaban Ata Dike, penutur Kemanusiaan yang berbudaya

Kuntowijoyo dalam Anton Baker "Badan Manusia dan Budaya"  menegaskan bahwa Budaya adalah sebuah sistim yang koherensi di mana bentuk-bentuk simbolis berkaitan erat dengan konsep epistemologis dari sistim pengetahuan masyarakat. Sistim ini tidak terlepaskan dari Manusia sebagai bagian inti dalam pembentukan budaya. Ruang refleksi warisan budaya selama ini belum dikemas secara terintegrasi sehingga roh pembangunan desa seolah-olah tanpa dilandasi asas berbasis budaya. Rendahnya ruang refleksi ini pun berpengaruh pada hilang atau punahnya warisan budaya. Untuk itu diperlukan upaya terobosan untuk melakukan refleksi sosial untuk menemukan nilai-nilai peradaban yang telah hilang.

Menghayati Pancasila adalah cara memahami dan memperlakukan manusia sebagai bagian tidak terpisahkan dari segala proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk bagaimana menumbukan kembali semangay menggali keluhuran nilai-nilai yang diwariskan. Dari Desa, Pancasila terwujud dalam nilai-nilai kearifan local. Ketika ada konflik di masyarakat desa, masyarakat dalam kearifan lokalnya mempunyai cara untuk berdamai, secara cepat atau lambat. 

Menjadi sebuah tantangan ketika, para pemimpin atau gembala ( pemimpin dalam Geraj Katolik )  yang hadir dan kurang memahami tentang nilai-nilai kearifan local  mencoba menggiring masyarakat untuk sebuah penyelesaian dengan cara dan pemahamannya. Belajar dari para penenun sarung, ketika ada benang yang salah dimasukan atau terbelit, maka sang penenun dengan tekun mengurai benang tersebut yang disebut " Hua Kenire" dan setelah itu akan di " Bolo Kape", disatukan lagi. 

Hua Kenire adalah  kejelihan melihat motif tersebut sepandan dengan motif lain, tidak salah ditempatkan. Hua Kenire dalam konteks penyelesaian konflik  adalah melihat dan mendengar dengan ketenangan  akar permasalahan, dengan bijak menempatkan diri tanpa menghakimi sebelum kebenaran tersebut ditemukan. Para penenun dengan sabar melakukan proses penguraian kusutnya benang. Demikian juga seorang pemimpin atau gembala, ia harus sabar memahami setiap persoalan bukan dengan muda termakan atau terpengaruh dengan berita berita yang belum dipastikan kebenaran.

Para Leluhur ketika menyelesaikan konflik, mereka melalui sebuah proses pencarian kebenaran lewat Tura Neda Lone Kemie Padu, artinya mereka tidak mengandalkan hanya kemampuan mereka tetapi mereka meletakan dalam pengharapan terhadap Sang pencipta untuk menujukkan kebenaran serta cara penyelesaian. Penyelesaian sebuah konflik juga disertai dengan tindakan dalam ritus yang disebut " Hoi Bake", memperbaiki kesalahan agar  social budaya  kehidupan generasi selanjutnya terlepas dari ikatan dosa sebelumnya.  

Ada Proses merangkul kembali dan memperbaiki bukan proses terus memelihara konflik dan membangun kubu- kubu permusuhan, apalagi menjadikan setiap momentum konflik sebagai bahan untuk kotbah. Para Leluhur setelah menyelesaikan konflik, mereka melipatnya dengan rapih permasalah itu dan menyonsong masa baru dengan kebersamaan yang ditandai dengan " Hue Nuhe atau Kela Tou Nuro Rua.

Menghayati Pancasila hanya bisa dilakukan ketika manusia melihat manusia lain sebagai bagian dari dirinya, ketika melihat alam sebagai saudara kehidupan. Menghayati Pancasila dalam Berdesa adalah kerelasediaan untuk terus belajar memberikan diri bagi pembangunan sebuah peradaban kehidupan lebih baik, berbasis warisan nilai-nilai luhur. Kami Indonesia, Kami Pancasila, Kami Orang Desa Kami Pancasila.

Selamat Merayakan Hari Lahir Pancasila

Larantuka, 1 Juni 2019

URAN, Fabianus Boli, S.IKom

Pengamat dan Penulis Isu-Isu Sosial Kebudayaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun