Pancasila dalam Sepenggal Refleksi Nilai Lamaholot
Keluhuran  Nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek Moyang adalah hasil dari dialog kosmik dengan wujud tertinggi yang disebut Ama Lerawulan Ema Tana Ekan, ( Sila Pertama )  melalui perantara Kewoko Kelite, Nitu Pudu  Hari Neda ( Kewoko Kelite : arwah para leluhur, Nitu Pudu : Penjaga Hutan hutan, Hari Neda : Penjaga Laut dan pantai ) melalui sebuah proses pencarian kebenaran yang disebut Tura Neda Lone Kemie Padu. Proses pencarian kebenaran ini bertujuan untuk membangun Ata Dike ( Orang baik) ( Sila Kedua ).Â
Ata Dike tidak bisa hidup sendirian, ia terpanggil hidup dalam sebuah ikatan social budaya yang disebut ata kaja ribu pulo ratu lema. ( Sila Ketiga). Ikatan social budaya ini termateraikan dalam adat istiadat yang lahir atas kesekapatan bersama yang dilakukan dalam sebuah wadah yang disebut Lage Loge  untuk melahirkan Koda Geto ( kesepakatan ).Â
Hasil kesepakatan ini juga tercermin dalam sikap penerimaan suku-suku pertama yang mendiami sebuah wilayah terhadap suku-suku pendatang atau yang datang belakangan. Penerimaan disertai dengan Pua Tana ekan, memberikan sebagai dari empunya mereka agar ribu ratu  ( masyarakat ) yang baru tiba boleh menjadi bagian tidak terpisahkan dalam ikatan social budaya. Agar mereka pun boleh bersama mengolah tanah, mengail ikan untuk sebuah kehidupan yang layak ( Sila Kelima )  demi sebuah pewarisan generasi penutur peradaban Ata Dike, penutur Kemanusiaan yang berbudaya
Kuntowijoyo dalam Anton Baker "Badan Manusia dan Budaya" Â menegaskan bahwa Budaya adalah sebuah sistim yang koherensi di mana bentuk-bentuk simbolis berkaitan erat dengan konsep epistemologis dari sistim pengetahuan masyarakat. Sistim ini tidak terlepaskan dari Manusia sebagai bagian inti dalam pembentukan budaya. Ruang refleksi warisan budaya selama ini belum dikemas secara terintegrasi sehingga roh pembangunan desa seolah-olah tanpa dilandasi asas berbasis budaya. Rendahnya ruang refleksi ini pun berpengaruh pada hilang atau punahnya warisan budaya. Untuk itu diperlukan upaya terobosan untuk melakukan refleksi sosial untuk menemukan nilai-nilai peradaban yang telah hilang.
Menghayati Pancasila adalah cara memahami dan memperlakukan manusia sebagai bagian tidak terpisahkan dari segala proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk bagaimana menumbukan kembali semangay menggali keluhuran nilai-nilai yang diwariskan. Dari Desa, Pancasila terwujud dalam nilai-nilai kearifan local. Ketika ada konflik di masyarakat desa, masyarakat dalam kearifan lokalnya mempunyai cara untuk berdamai, secara cepat atau lambat.Â
Menjadi sebuah tantangan ketika, para pemimpin atau gembala ( pemimpin dalam Geraj Katolik )  yang hadir dan kurang memahami tentang nilai-nilai kearifan local  mencoba menggiring masyarakat untuk sebuah penyelesaian dengan cara dan pemahamannya. Belajar dari para penenun sarung, ketika ada benang yang salah dimasukan atau terbelit, maka sang penenun dengan tekun mengurai benang tersebut yang disebut " Hua Kenire" dan setelah itu akan di " Bolo Kape", disatukan lagi.Â
Hua Kenire adalah  kejelihan melihat motif tersebut sepandan dengan motif lain, tidak salah ditempatkan. Hua Kenire dalam konteks penyelesaian konflik  adalah melihat dan mendengar dengan ketenangan  akar permasalahan, dengan bijak menempatkan diri tanpa menghakimi sebelum kebenaran tersebut ditemukan. Para penenun dengan sabar melakukan proses penguraian kusutnya benang. Demikian juga seorang pemimpin atau gembala, ia harus sabar memahami setiap persoalan bukan dengan muda termakan atau terpengaruh dengan berita berita yang belum dipastikan kebenaran.
Para Leluhur ketika menyelesaikan konflik, mereka melalui sebuah proses pencarian kebenaran lewat Tura Neda Lone Kemie Padu, artinya mereka tidak mengandalkan hanya kemampuan mereka tetapi mereka meletakan dalam pengharapan terhadap Sang pencipta untuk menujukkan kebenaran serta cara penyelesaian. Penyelesaian sebuah konflik juga disertai dengan tindakan dalam ritus yang disebut " Hoi Bake", memperbaiki kesalahan agar  social budaya  kehidupan generasi selanjutnya terlepas dari ikatan dosa sebelumnya. Â
Ada Proses merangkul kembali dan memperbaiki bukan proses terus memelihara konflik dan membangun kubu- kubu permusuhan, apalagi menjadikan setiap momentum konflik sebagai bahan untuk kotbah. Para Leluhur setelah menyelesaikan konflik, mereka melipatnya dengan rapih permasalah itu dan menyonsong masa baru dengan kebersamaan yang ditandai dengan " Hue Nuhe atau Kela Tou Nuro Rua.
Menghayati Pancasila hanya bisa dilakukan ketika manusia melihat manusia lain sebagai bagian dari dirinya, ketika melihat alam sebagai saudara kehidupan. Menghayati Pancasila dalam Berdesa adalah kerelasediaan untuk terus belajar memberikan diri bagi pembangunan sebuah peradaban kehidupan lebih baik, berbasis warisan nilai-nilai luhur. Kami Indonesia, Kami Pancasila, Kami Orang Desa Kami Pancasila.