Baru saja Kompas memuat berita dengan judul: Tak Sesuai Harapan, LCGC Dievaluasi
Kata-kata "dievaluasi" memang adalah kata favorit pejabat dan birokrat kita. Seolah studi dan analisa mendalam itu tidak pernah dibuat dalam tahap perencanaan. Yang penting gol dulu proyeknya, gagal atau tidak nanti kita evaluasi. Lihat saja, setiap ajang olahraga internasional di mana atlet2 kita gagal total, yang biasanya juga karena salah manajemen, para punggawa organisasi olahraga kita akan bilang: akan kita evaluasi.
Kembali ke topik.
Penyebab LCGC dievaluasi antara lain karena sudah melenceng dari spesifikasi awal. Program mobil hemat BBM ini seharusnya diatur untuk hanya menggunakan bensin nonsubsidi. Tapi tentu saja, hal ini hanya mimpi belaka. Bagaimana mungkin mobil yang dijual sedemikian murah yang menyasar kelas menengah dipaksa untuk hanya mengisi BBM nonsubsidi, yang sering digaungkan pemerintah sebagai BBMnya orang kaya?
Pilihan mengisi BBM sering kali menggunakan patokan harga mobil. Semakin mahal mobil, tentu perawatannya semakin hati-hati. Jika bisa membeli mobil 500 juta rupiah, tentu mampu untuk mengisi BBM Pertamax atau di atasnya. Terlebih lagi mesin dan teknologi yang sudah didesain sedemikian rupa untuk menggunakan BBM kualitas tinggi. Belum lagi wacana yang terus dikembangkan bahwa Premium adalah BBM untuk rakyat. Orang kaya pakailah Pertamax. Mobil Alphard yang mengisi Premium langsung diexpose media dan menjadi olok-olok.
Melihat realita ini, wajarkah jika pemerintah mengeluarkan program mobil hemat di bawah 100 juta, tapi harus mengisi BBM yang katanya untuk orang mampu (kaya)? Memang luar biasa pemikiran rezim ini.
Kini muncul inisiatif evaluasi LCGC, antara lain karena jenis mobil ini nyatanya semakin menguras BBM bersubsidi. Demikian pula dengan janji mengekspor yang jauh dari harapan.
Program LCGC ini akan menjadi ujian Jokowi. Kita tahu Jokowi keberatan dengan LCGC pada saat diluncurkan dan bahkan menolak hadir di IIMS 2013. Penolakan ini disinyalir sebagai sikap keberatan terhadap pemerintah yang menggolkan LCGC, dengan secara tidak langsung "mensabotase" rencana Jokowi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di DKI.
Kebijakan Jokowi mengenai LCGC adalah salah satu ujian pertamanya.
Tidak bisa dipungkiri, industri otomotif dan pendukungnya berkontribusi sangat besar bagi perekonomian. Lihat saja toko-toko aksesoris, servis, spare part, hingga jasa cuci mobil/motor di lingkungan kita. Tapi semua itu harus dibayar dengan borosnya pemakaian BBM dan kemacetan yang semakin parah. Bahkan berhembus kabar jika mandeknya transportasi massal di Republik ini salah satunya adalah berkat lobi industri otomotif.
Jusuf Kalla pernah berkomentar menarik mengenai LCGC. Saat menghadiri IIMS 2013, LCGC justru tidak membuat macet jalan karena ukurannya lebih kecil. Jadi tidak makan banyak ruang jalan.