Mohon tunggu...
Abdul Chalid Bibbi Pariwa
Abdul Chalid Bibbi Pariwa Mohon Tunggu... -

Warga di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ke Cisarua, Syech Belgia dan Pencari Ilmu di Mega Mendung

27 November 2013   17:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:36 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu menunjuk pukul lima sore ketika iringan kendaraan kami memasuki kawasan Mega Mendung, Dusun Cirimpak, Bogor. Meski begitu, gelap mulai menguasai lereng dan lembah sepanjang jalan menanjak, membelah kompleks rumah penduduk dan villa yang kami lalui. Jauh beda dengan suasana di perkotaan yang ketika sore, biasanya semburat merah matahari masih menerpa bumi.

Apa karena itu, akhirnya disebut Mega Mendung? Entah! Tapi, ketika kami tengah dalam perjalanan menanjak ke Mega Mendung, langit memang diselimuti awan tebal. Hujan rintik-rintik. Dan, halimun telah merambat menyelimuti seluruh kawasan pegunungan di samping Kota Cisarua ini. Di sini, mungkin karena kawasannya juga sebagian masih berupa hutan.

Sepertiga hampir mencapai puncak. Setelah menempuh perjalanan 30 menit dari Kota Cisarua di bawah gunung, Arrahman Quranic College (AQC) terlihat pelan-pelan. Tampak menonjol di antara villa-villa mewah dan rumah penduduk. Di kawasan itu, memang, hanya sekolah ini yang punya Masjid berukuran besar. Selain itu, bangunan-bangunan miliki sekolah ini berbeda dari bangunan umumnya di Jawa Barat. Berbentuk rumah gadang khas bukit tinggi, Sumatra. Jadi dari jauh, mudah dikenali. Rumah gadang tersebut merupakan fasilitas bagi kepala pesantren dan beberapa guru, atau pengajar yang tinggal di sana.

***
Ini tujuan tak terencana. Sebelumnya, saya tak membayangkan akan diajak ke tempat ini. Mobil saya tumpangi hanya followers sebuah mobil di depan kami. Kemanapun mengarah, ke situ kami ikut. Mobil itu dikemudikan Ustad Mujawwid, seorang ustad muda dari Kota Makassar. Di atasnya, satu keluarga keturunan Maroko dari Belgia turut serta. Ia bernama Syech Nuruddin, seorang istri, tiga putra dan satu putrinya.

Di puncak gunung, berdampingan dengan villa-villa mewah ini, saya tak membayangkan pula, ada sebuah pesantren penghafal Alqur’an. Sebelumnya kami hanya bermaksud mengunjungi Taman Safari di Kota Cisarua. Jadi ceritanya, Syech Nuruddin ingin menghibur dan menunjukkan kepada istri dan anak-anaknya, objek wisata menarik di sekitar Jakarta. Ia yang sudah setahun di Indonesia itu, tengah berusaha menyakinkan anggota keluarganya tersebut, Indonesia negara nyaman.

Istri dan anaknya-anaknya yang baru tiba dari Belgia itu kurang betah. Apalagi, bila harus menetap di Indonesia dalam jangka waktu lama. Mereka belum dapat menyesuaikan diri. Terutama dalam hal makanan dan cuaca Kota Jakarta yang panas.

Lain dengan Syech Nuruddin. Bagi penghafal Qur’an ini, dalam berdakwah, tak masalah hidup di daerah manapun. Sejak kecil, Ia sudah biasa jauh dari orang tua. Kira-kira di usia 10 tahun Nuruddin telah dikirim ke sebuah pesantren di Kota London, Inggris. Di tempat itu, Ia berhasil menghafal 30 Juz Al Qur’an saat usianya masuk 12 tahun. Kemudian, pada tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi, Ia melanjutkan belajar Ilmu agama di Madinah, Arab Saudi.

Sayang sekali, hari Sabtu, taman Safari tutup lebih awal. Menurut para pekerja di tempat itu, khusus Sabtu malam baru dibuka kembali. Menghadapi situasi ini, saya khawatir, istri dan anak-anak Syech Nuruddin justru merasa jumud, dan kian tak betah. Pasalnya, taman tropik dan suasana alam dijanjikan, tak berwujud di sore itu. Mereka hanya merasakan perjalanan melelahkan, menghadapi macet dan jalanan rusak. Terutama sepanjang Serpong ke Kota Bogor.

Setelah di pintu Taman Safari, Ustad Mujawwid memutar arah mobilnya. Saya berpikir, kita akan pulang ke Serpong. Namun akhirnya, masuk di kawasan Mega Mendung. Ide yang sangat cemerlang. Tampaknya, perjalanan ini tak ingin diakhiri sia-sia. Ustad Mujawwid, memang “tuan rumah”di acara jalan-jalan ini. Anak istrinya juga diboyong. Kemudian, saya yang tengah larut “kontemplasi” di Kota Depok, tak lupa diajak.

Pagi-pagi sekali, saya bertolak ke Tangerang Selatan, demi memenuhi undangan jalan-jalan ustad alumni LIPIA Jakarta itu. Saya naik kereta dari Depok menuju Stasiun Pasar Tanah Abang, lalu naik transportasi yang sama ke stasiun Rawa Buntu di Serpong. Di tempat itu, saya dijemput, lalu berangkat sama-sama. Dalam perjalanan ini, kami menggunakan total dua mobil yang bertolak dari sana.

***
Akhirnya kami tiba di AQC. Sejuk dan dingin. Itulah kesan pertama ketika memasuki kawasan AQC (14/9). Letaknya mendekati puncak gunung Mega Mendung, Dusun Cirampak, Bogor. Lokasi ini dikenal sebagai salah satu tujuan wisata terkenal di Jawa Barat yang menawarkan suasana dinginnya pedesaan. Pemandangannya menakjubkan. Tampak hamparan sawah-sawah berundak, ada suara gemericik air mengalir, jangkrik, dan kodok sawah yang tak henti menyambut malam. Benar-benar natural, khas pedalaman. Serupa suasana-suasana pedesaan Samurai dalam novel-novel Jepang.

Dan, tak kalah eksotiknya, dari lereng menuju kawasan AQC, kita dapat menikmati perjalanan dengan menyaksikan wajah kota kecil Cisarua dari jauh. Malam hari, pemandangan ke kota itu makin menarik, karena dihias lampu-lampu menyala.

Tak heran bila di kawasan ini menjadi salah satu tujuan wisata favorit. Di sini, terdapat banyak villa pribadi. Pusat-pusat training milik pemerintah dan perusahaan swasta. Memang, sangat tepat sebagai tempat menenangkan diri, menjauhi sejenak bisingnya Kota Jakarta. Alhasil, anak-anak Syech Nuruddin tampak ceria. Mereka girang dan takjub dengan yang dijumpainya di tempat ini. Dua yang kecil tak henti-henti berlari-lari di atas rumah gadang. Syech Nuruddin, istri dan anak perempuannya pun mengabadikan diri mereka di beranda rumah panggung tersebut. Tentu saja, latarnya wajah kota Cisarua.

Apa karena itu AQC dibangun di tempat ini? Pesantren ini berbasis Qur’anic. Berorientasi menelorkan dai-dai muda, penghafal Al Qur’an dan memahami Ilmu Al Qur’an. Dalam kunjungan ini saya tak sempat menggali informasi, latar belakang didirikannya pesantren ini. Sayang sekali. Mungkin saya tengah larut dalam takjub. Tentu juga sedikit malu-malu. Khawatir dinilai seolah wartawan majalah wisata, atau bulletin dakwah. Saya hanya membaca beberapa jadwal mata pelajaran yang tertera di sebuah papan tulis, depan bangunan atau ruangan guru. Lalu menyimpulkan, pesantren ini berbasis Quranic.

Saya akhirnya berasumsi juga. Wajar, bila pesantren ini dibangun di tempat tenang dan bersahabat suasana natural. Selain tadabbur Al Qur’an. Tiap saat juga tadabbur alam. Setidaknya, dengan kondisi ini penghayatan terhadap nilai-nilai keilahian dapat berlangsung lebih dalam. Menghafal Al Qur’an bisa lebih fokus karena jauh dari gangguan hiruk pikuk perkotaan. Mungkin begitu maksudnya.

Di Pesantren ini terdapat sekitar 40 sampai 50 santri. Sejak di buka pada tahun 2005 di Mega Mendung, jumlahnya meningkat. Selain fokus pada penghafalan, para santri ini diajarkan Ilmu Ushul, Nahwu, Balaghah, Mantiq, shorof, Qiroah dan lain-lain. Secara formal mereka belajar di dalam ruangan. Tapi di Mesjid tentunya.

Tak seperti di sekolah-sekolah umumnya yang harus belajar di kelas. Mesjid di AQC menyatu dengan asrama atau tempat tinggal santri. Ruang sholat di lantai dua, sementara tempat tinggal para santri di lantai dasar. Mereka tinggal tanpa bayar, dan makan tiga kali sehari ditanggung AQC. Santri-santri benar-benar belajar hanya membawa diri dan bekal kemauan.

Sebagai tambahan, di luar ruangan santri juga dididik belajar mandiri. Kebetulan, di tempat ini AQC memiliki aset perternakan sapi dan kolam untuk pemeliharaan ikan air tawar. Dalam produksi susu dan ikan air tawar, para santri dilibatkan. Mereka didorong bertanggung jawab dalam menghasilkan produksi yang berkualitas dan laku dikonsumsi atau jual.

Bangunan Nuansa Minang, guru dan pelajar didominasi Bugis

Ada yang menarik, dan paling tak saya bayangkan soal pesantren ini. Mulanya, dengan bentuk rumah gadang yang mendominasi suasana bangunan di tempat ini, maka saya berpikir, orang-orang dari Minangkabau, Sumatra, bakal banyak ditemui di sini. Saya menebak-nebak, dialek ala Minang yang disisipi huruf-huruf “O” itu bakal banyak didengar. Tapi tidak. Di luar dugaan, tempat ini justru sama sekali tak asing.
Sesaat setelah tiba di tempat ini, Ustad Mujawwid menghampiri saya, mengatakan, pesantren ini dikelola teman kuliahnya di LIPIA. Ustad muda yang telah beranak empat ini, mengenalkan saya pada sosok dimaksud. Saya lupa namanya, seperti Mujawwid, juga masih muda. Ia orang Bugis, asal Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Alumni Pesantren 77, di desa Kajuara, Kabupaten Bone.

Hampir separuh pengajar di pesantren ini rupanya berasal dari Sulawesi Selatan, terutama dari daerah Bugis. Mereka sebagian alumni pesantren 77, dan pesantren Darul Istiqomah di Maccopa, Kabupaten Maros. Itu terkuak setelah mengikuti sholat Magrib berjamaah di mesjid pesantren. Usai menunaikan kewajiban di awal malam tersebut, diam-diam saya menyimak dialog-dialog yang berlangsung di dalam masjid. Tak asing bagi saya. Karena bahasa mereka sangat kental dengan tutur orang-orang Bugis-Makassar. Saya juga hampir pastikan, separuh isi mesjid saat itu, yang terdiri dari santri-santri senior dan yunior, separuhnya anak-anak Bugis. Secara analitik, saya belum menemukan jawaban, mengapa di tempat ini sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan. Apa karena Ustad Bachtiar Nasir, salah satu pendiri, merupakan orang Bugis? Boleh jadi.Meski begitu,dari sisi kapasitas, para guru-guru di AQC terjamin. Seluruhnya merupakan sarjana, baik dari perguruan perguruan tinggi Islam di Jakarta, maupun dari Madinah, Arab Saudi.

Yah, sudah hal rutin di pesantren, usai sholat, jamaah tak langsung tinggalkan mesjid. Biasa akan diisi tauziah dan tadabbur Al Qu’an. Syech Nuruddin, bersama Ustad Mujawwid memiliki kesempatan mengisi tauziah pada ba’da Magrib itu. “Tak mudah bagi seorang anak remaja meninggalkan rumah mereka, dan rela berpisah dengan kedua orang tuanya hanya untuk belajar Al’Qur’an, dan pengetahuan agama Islam” Kata Nuruddin dalam bahasa Arab fasih, dan diterjemahkan Mujawwid. Dengan membaca beberapa ayat dalam Al Qur’an dan hadist nabi, Ia melanjutkan “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Swt”.

Depok, 16 September 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun