Dan, tak kalah eksotiknya, dari lereng menuju kawasan AQC, kita dapat menikmati perjalanan dengan menyaksikan wajah kota kecil Cisarua dari jauh. Malam hari, pemandangan ke kota itu makin menarik, karena dihias lampu-lampu menyala.
Tak heran bila di kawasan ini menjadi salah satu tujuan wisata favorit. Di sini, terdapat banyak villa pribadi. Pusat-pusat training milik pemerintah dan perusahaan swasta. Memang, sangat tepat sebagai tempat menenangkan diri, menjauhi sejenak bisingnya Kota Jakarta. Alhasil, anak-anak Syech Nuruddin tampak ceria. Mereka girang dan takjub dengan yang dijumpainya di tempat ini. Dua yang kecil tak henti-henti berlari-lari di atas rumah gadang. Syech Nuruddin, istri dan anak perempuannya pun mengabadikan diri mereka di beranda rumah panggung tersebut. Tentu saja, latarnya wajah kota Cisarua.
Apa karena itu AQC dibangun di tempat ini? Pesantren ini berbasis Qur’anic. Berorientasi menelorkan dai-dai muda, penghafal Al Qur’an dan memahami Ilmu Al Qur’an. Dalam kunjungan ini saya tak sempat menggali informasi, latar belakang didirikannya pesantren ini. Sayang sekali. Mungkin saya tengah larut dalam takjub. Tentu juga sedikit malu-malu. Khawatir dinilai seolah wartawan majalah wisata, atau bulletin dakwah. Saya hanya membaca beberapa jadwal mata pelajaran yang tertera di sebuah papan tulis, depan bangunan atau ruangan guru. Lalu menyimpulkan, pesantren ini berbasis Quranic.
Saya akhirnya berasumsi juga. Wajar, bila pesantren ini dibangun di tempat tenang dan bersahabat suasana natural. Selain tadabbur Al Qur’an. Tiap saat juga tadabbur alam. Setidaknya, dengan kondisi ini penghayatan terhadap nilai-nilai keilahian dapat berlangsung lebih dalam. Menghafal Al Qur’an bisa lebih fokus karena jauh dari gangguan hiruk pikuk perkotaan. Mungkin begitu maksudnya.
Di Pesantren ini terdapat sekitar 40 sampai 50 santri. Sejak di buka pada tahun 2005 di Mega Mendung, jumlahnya meningkat. Selain fokus pada penghafalan, para santri ini diajarkan Ilmu Ushul, Nahwu, Balaghah, Mantiq, shorof, Qiroah dan lain-lain. Secara formal mereka belajar di dalam ruangan. Tapi di Mesjid tentunya.
Tak seperti di sekolah-sekolah umumnya yang harus belajar di kelas. Mesjid di AQC menyatu dengan asrama atau tempat tinggal santri. Ruang sholat di lantai dua, sementara tempat tinggal para santri di lantai dasar. Mereka tinggal tanpa bayar, dan makan tiga kali sehari ditanggung AQC. Santri-santri benar-benar belajar hanya membawa diri dan bekal kemauan.
Sebagai tambahan, di luar ruangan santri juga dididik belajar mandiri. Kebetulan, di tempat ini AQC memiliki aset perternakan sapi dan kolam untuk pemeliharaan ikan air tawar. Dalam produksi susu dan ikan air tawar, para santri dilibatkan. Mereka didorong bertanggung jawab dalam menghasilkan produksi yang berkualitas dan laku dikonsumsi atau jual.
Bangunan Nuansa Minang, guru dan pelajar didominasi Bugis
Ada yang menarik, dan paling tak saya bayangkan soal pesantren ini. Mulanya, dengan bentuk rumah gadang yang mendominasi suasana bangunan di tempat ini, maka saya berpikir, orang-orang dari Minangkabau, Sumatra, bakal banyak ditemui di sini. Saya menebak-nebak, dialek ala Minang yang disisipi huruf-huruf “O” itu bakal banyak didengar. Tapi tidak. Di luar dugaan, tempat ini justru sama sekali tak asing.
Sesaat setelah tiba di tempat ini, Ustad Mujawwid menghampiri saya, mengatakan, pesantren ini dikelola teman kuliahnya di LIPIA. Ustad muda yang telah beranak empat ini, mengenalkan saya pada sosok dimaksud. Saya lupa namanya, seperti Mujawwid, juga masih muda. Ia orang Bugis, asal Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Alumni Pesantren 77, di desa Kajuara, Kabupaten Bone.
Hampir separuh pengajar di pesantren ini rupanya berasal dari Sulawesi Selatan, terutama dari daerah Bugis. Mereka sebagian alumni pesantren 77, dan pesantren Darul Istiqomah di Maccopa, Kabupaten Maros. Itu terkuak setelah mengikuti sholat Magrib berjamaah di mesjid pesantren. Usai menunaikan kewajiban di awal malam tersebut, diam-diam saya menyimak dialog-dialog yang berlangsung di dalam masjid. Tak asing bagi saya. Karena bahasa mereka sangat kental dengan tutur orang-orang Bugis-Makassar. Saya juga hampir pastikan, separuh isi mesjid saat itu, yang terdiri dari santri-santri senior dan yunior, separuhnya anak-anak Bugis. Secara analitik, saya belum menemukan jawaban, mengapa di tempat ini sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan. Apa karena Ustad Bachtiar Nasir, salah satu pendiri, merupakan orang Bugis? Boleh jadi.Meski begitu,dari sisi kapasitas, para guru-guru di AQC terjamin. Seluruhnya merupakan sarjana, baik dari perguruan perguruan tinggi Islam di Jakarta, maupun dari Madinah, Arab Saudi.
Yah, sudah hal rutin di pesantren, usai sholat, jamaah tak langsung tinggalkan mesjid. Biasa akan diisi tauziah dan tadabbur Al Qu’an. Syech Nuruddin, bersama Ustad Mujawwid memiliki kesempatan mengisi tauziah pada ba’da Magrib itu. “Tak mudah bagi seorang anak remaja meninggalkan rumah mereka, dan rela berpisah dengan kedua orang tuanya hanya untuk belajar Al’Qur’an, dan pengetahuan agama Islam” Kata Nuruddin dalam bahasa Arab fasih, dan diterjemahkan Mujawwid. Dengan membaca beberapa ayat dalam Al Qur’an dan hadist nabi, Ia melanjutkan “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Swt”.