Siang hari Minggu (29/11), jarum jam di arloji di tangan saya menunjukkan pukul sebelas siang lewat duapuluh menit. Setelah berlayar selama kurang lebih tiga jam setengah dari Labuan Bajo, akhirnya kapal yang membawa kami merapat juga ke pantai Pulau Padar. Sebuah Pulau yang pesona dari puncaknya menjadi background foto dari banyak traveler yang sudah pernah mengunjunginya. Satu dari dua ratusan lebih Pulau kecil yang ada disekitaran Labuan Bajo dan yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Manggarai Barat, ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ketika kami hendak merapat ke Pantai, sebuah perahu lain baru saja pulang dan berpapasan dengan kami. Ada delapan orang penumpang diatasnya. Mungkin grup traveler dari luar Flores. Satu perahu lain sedang mengapung di tepian pantai.
Jarak dari pantai masih sekitar lima meter. Namun mesin perahu sudah mati. Oleh kapten dan kru kapal kami sudah diizinkan untuk turun. Kami yang berombongan belasan orang, satu persatu turun dari kapal dan menuju tepian Pantai. Beberapa teman yang baru pertama kali ke Pulau Padar langsung berteriak. Membunuh rasa penasaran selama ini akan banyak cerita dari orang-orang tentang pesonanya yang mendunia.
“Ada Komodo disinikah?”
Seorang kawan yang baru pertama kali ke Padar bertanya ke kawan yang lainnya.
“Ah, sembarang saja. Tidak ada Komodo disini. Komodo hanya ada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca”
Demikian teman lain menjawab.
“Dimana tempat foto yang keren itu sudah?”
“Masih jauh. Lumayan. Kita harus mendaki sekitar dua puluh menit”,
jawab kawan yang ditanya.
Siang itu matahari tepat diatas kepala. Tepat tengah hari. Matahari seolah membakar ubun-ubun. Dibawah panas terik itu, kami harus mendaki menuju puncak. Pun begitu, semangat teman-teman seolah membunuh panas siang itu. Pokoknya harus sampai puncak.
Pendakian pun dimulai. Di bawah sengatan matahari yang ganas. Tak ada rindang pepohonan. Hanya satu-dua pohon Bidara tumbuh dengan dedaunannya yang kecil menyoklat. Gersang. Ilalang dan rerumputan berwarna coklat. Kering.
Pelan kami mendaki. Belum apa-apa, keringat sudah banyak bercucuran. Satu dua kawan sudah mengeluh panas. Beberapa yang lain terlihat sangat menikmati pendakian. Sesekali mereka berhenti, mengambil pose selfie dengan background Pantai jauh dibawah sana.
Sesekali juga terdengar keluhan,
“Oe kolang o morii.... (ya Tuhan, panasnya...)”, katanya dalam Bahasa Manggarai.
Puncak sudah terlihat. seorang kawan bahkan berlari kecil. Namun sampai disana, ternyata masih ada bukit lagi. Tiga pantai pasir putih yang menyerupai ‘danau’ yang selama ini kerap ia lihat di foto-foto teman-temannya yang pernah ke Padar hanya terlihat separuhnya. Belum sempurna.
“Berarti harus mendaki ke puncak bukit itu lagi ya”, katanya kepada seorang kawan yang lain.
Saya yang sudah pernah sekali ke Padar sebelumnya memaklumi rasa penasaran kawan itu. Kunjungan ke Pulau Padar akan sia-sia jika tak mencapi puncak dan mengmabil gambar dengan latar belakang tiga ‘danau’ nun jauh di bawahnya. Indah dan keren.
Pendakian terus berlanjut. Panas tetap menyengat. Satu-dua botol air minum tandas diteguk. beberapa kawan yang sama-sama mulai mendaki sejak dari tepi pantai tadi, kini sudah tak terlihat di belakang. Informasi dari seorang kawan, mereka sudah KO. Tak sanggup lagi mendaki di bawah panas matahari dan uap tanah gersang Pulau Padar yang ganas. Syukurnya, di lereng menuju puncak, tumbuh dua-tiga pohon Bidara. Walau deduanannya mengering, namun cukup menjadi tempat berteduh.
Setelah mendaki sekitar tiga puluh menit, akhirnya sampai di puncak. Sebuah tebing curam menganga disampingnya. Jauh dibawah sana, gelombang menghantam batu karang. Menempeleng tepian jurang. Angin bersemilir lembut. sejuk.
Pemandangan dari puncak Padar memang luar biasa. Jauh di depan sana, beberapa pulau sekitar Padar terlihat. Garis-garis pantainya memutih. Beberapa kawan mengabadikan momen di puncak itu. Mengambil beberapa dengan beberapa sisi latar belakang. Puas.
Pesona ‘Tiga Danau'
Daya tarik utama dari Pulau ketiga terbesar di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca ini adalah pesona 'tiga danau' yang terlihat dari atas puncak. Bukan danau dalam arti sebenarnya. Namun lengkungan laut beserta tepian pantai pasir putih dari tiga sisinya yang menyerupai danau. Dari atas puncak, lautan dan garis pantai dari tiga sisi Pulau ini begitu memesona. Semacam tiga tepian kuali dengan minyak goreng yang membiru. Bibir pantainya memutih. Melengkung indah. Dari atas puncak, Pulau ini begitu memesona. Banyak traveler yang berkunjung ke Padar semata ingin berpose dengan latar belakang tiga ‘danau’nya yang memesona itu. Dari kawanan backpaker hingga calon pengantin yang hendak melakukan pemotretan foto pra wedding. Bener.
Pulau ini sebenarnya relatif lebih dekat ke Pulau Rinca daripada ke Pulau Komodo, yang dipisahkan oleh Selat Lintah. Pulau Padar tidak dihuni oleh ora (biawak Komodo). Di sekitar pulau ini terdapat pula tiga atau empat pulau kecil.
Pulau Padar juga diterima sebagai situs warisan dunia UNESCO, karena berada dalam wilayah TNK, bersama dengan Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Gili Motang.
Sebagaimana dikutip dari laman berita floresa.co, sejak bulan September 2014, pengelolahan Pulau Padar sudah diserahkan kepada PT. Komodo Wildlife Eco-tourism (PT KWE), hal yang memicu kecemasan terkait nasib komodo di pulau itu dan praktek privatisasi yang kian massif terhadap sumber daya publik di Mabar.
Untung saja, hingga kini perusahaan tersebut belum mulai mengeksekusi usahanya. Jadinya, masyarakat umum masih bisa mengakses kemolekannya.
Andaikata perusahaan ini mulai membangun resort dan usaha rekreasi pantai, Padar menambah deretan pulau yang sudah berhasil diprivatisasi di Labuan Bajo.
Beberapa lainnya seperti Pulau Bidadari, Sebayur dan Kanawa sudah lebih dahulu diprivatisasi. Bahkan Pulau Bidadari, sebagaian kawasan Pantai yang menjadi tempat resort, masyarakat dilarang masuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H