Assalaamu 'alaikum,
Â
Akankah malam ini kita akan menyaksikan kembali kehancuran sepakbola menyerang oleh sebuah pragmatisme? Jawabnya mungkin harus kita tunggu sembari begadang dan berharap-harap cemas di Sabtu malam nanti. 2 minggu lalu, dunia disuguhi suatu kenyataan pahit, yang sejatinya menggambarkan kehidupan nyata juga, dimana suatu keindahan dan kesempurnaan tidak selamanya menang dan berjaya. Barcelona, klub dari ranah Catalan di Spanyol harus meratapi nasibnya kala gagal menembus kekokohan benteng Inter Milan, yang bermain bak bermain basket dan bukan sepakbola, dengan menumpuk 8 orang pemainnya di kotak penalti. Dengan jumlah pemain sedemikian banyaknya di kotak sesempit itu, sulit sekali untuk mendapatkan peluang mencetak gol bagi lawannya. Di semifinal kedua Liga Champions itu, Inter Milan memang cuma cukup kalah 0-1 untuk dapat melaju ke final. Tak heran, mereka bertahan habis-habisan dan tak ada keinginan untuk menyerang, apalagi ketika seorang pemain merah dikenakan kartu merah. Apa mau dikata, itu kan hak mereka, dan suka-suka mereka, serta mereka punya target sendiri, peduli amat dengan keinginan dan harapan para gila bola yang ingin menyaksikan permainan atraktif saling serang.
Â
Barcelona sendiri saat ini adalah klub yang luar biasa. Terus memperagakan permainan menyerang, dengan penguasaan bola yang dominan, di musim lalu, klub ini merengkuh 6 trofi, suatu pencapaian maksimal yang sulit, atau kalau boleh dibilang, tidak mungkin diwujudkan kembali oleh klub lainnya. 6 trofi itu adalah Juara La Liga Spanyol, juara King Cup Spanyol, juara Super Cup Spanyol, juara Champions League Eropa, juara Super Cup Eropa dan juara Piala Dunia Antar Klub. Lengkap sudah pencapaian mereka. Sepakbola Barcelona adalah Sepakbola yang tak perlu didiskusikan lagi. Demikian ungkapan kekaguman banyak orang demi melihat bangkit dan menangnya sepakbola indah. Striker mereka, Lionel Messi dari Argentina, bermain begitu eksplosif dan sangat pantas menyandang gelar pemain terbaik di dunia. Kepiawaiannya dalam dribbling, shooting dan pergerakan tanpa bola yang sulit ditebak, membuatnya diibaratkan sebagai titisan Diego Maradona dan pemain bola dari planet lain. Di final musim lalu, MU, sang kapiun di ranah Britania, terlihat seperti orang yang baru belajar bermain bola saat berhadapan dengan kedahsyatan permainan ciamik Barca.
Â
Tapi apa daya, semua iu runtuh dan remuk di tangan sang maestro taktik, Jose Mourinho. Mourinho, si pelatih flamboyan, memang unik dan eksentrik, sehingga banyak memiliki fans tetapi juga hater. Mourinho sebenarnya bukanlah pemain sepakbola yang hebat di kala menjadi pemain. Dia hanya sempat sebenar mencicipi lapangan hijau sebagai pemain, untuk mengikuti jejak sang ayah yang berprofesi sebagai kiper. Karena main di klub gurem saja, dia tidak bersinar, disebabkan kurangnya skill, speed dan power, akhirnya sang ayah mengarahkannya ke manajeman klub. ourinho dari situ belajar menjadi pelatih. Otaknya yang cerdas, membuat dia cepat menyerap ilmu kepelatihan, strategi dll. Dibuktikannya pula dengan penguasaan banyak bahasa asing, dimana biasanya kemampuan berbanyak bahasa itu paralel dengan kemampuan intelektualitas seseorang. Dia banyak belajar tentang sepakbola saat menjadi asisten sekaligus penterjemah Sir Bobby Robson, mantan pelatih timnas Inggris, saat di Real Madrid, dan juga saat menjadi asisten Louis van Gaal di Barcelona. Van Gaal adalah pelatih Bayern Munich yang bakal dihadapi Mourinho dan klubnya nanti malam.
Â
Kepiawaiannya memang terbukti. Klub meidoker seperti FC Porto sekalipun, tiba-tiba bisa melesat bak meteor di zona Eropa dengan menjadi kampiun di UEFA Cup (kini Europe League Cup) dan Champions League dalam tahun yang berurutan. Kesuksesan inilah yang melambungkan namanya sehingga direkrut oleh Chelsea. Di tahun pertamanya, dia berhasil mengakhiri paceklik gelar Chelsea di liga domestik selama puluhan tahun. Meski memberikan beberapa gelar lainnya, dia akhirnya didepak karena tak mampu mempersembahkan gelar Champions League kepada Chelsea. Pindah ke Inter Milan, prestasinya langsung moncer di liga domestik, dengan berhasil mempertahankan gelar juara liga. Tahun ini dia mencoba menyempurnakan pencapaiannya di Inter Milan, dengan merebut treble winner, setelah di bulan Mei ini sukses merengkuh gelar juara liga Serie A dan Piala Italia. Klub yang dihadapinya, bukanlah sembarang klub. Bayern Munich, dijuluki FC Hollywood, karena bertaburnya pemain bintang di sana, seperti Arjen Robben, Frank Ribbery, Ivica Olic, Miroslav Klose dll. Apalagi klub itu ditangani oleh mantan mentornya, Louis van Gaal, seorang Belanda, pengusung konsep Total Football.
Â
Mourinho, tidak seperti pelatih lainnya, pandai sekali memanfaatkan jasa teknologi untuk menganalisa pertandingan. Dia kerap mencatat data akan jalannya pertandingan dan kekuatan tim lawannya. Data-data tersebut dianalisa dengan komputer dan disimulasikan oleh dirinya. Dari situlah dia menentukan bagaimana taktik yang harus diterapkan. Kekurangan dia dengan tidak menjadi seorang pemain bola yang hebat, berhasil ditutupinya dengan kekuatan analisanya, apalagi kini dia dibantu oleh media komputer. Pelatih lain biasanya lebih mengandalkan insting dan pengalamannya, untuk menganalisa sesuatu. Inilah yang membedakan Mourinho, yang menjuluki dirinya sendiri dengan Special One. Dia tidak peduli dengan hujatan orang akan sikap pragmatismenya. Bagi dia, yang target yang dicapainya berhasil. Kehebatan taktiknya itulah yang juga mampu membuat Chelsea, yang diasuh oleh Carlo Ancelotti, menjadi tidak berkutik. Frank Lampard seperti anak ayam kehilangan induknya, dan tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan Barcelona, klub terhebat di dunia itu tak sanggup pula melawan kedigdayaan taktik sang maestro dari Portugal ini.
Â
Akankah Bayern Munich menjadi korban berikutnya dari kehebatan taktik Mourinho yang lebih memprioritaskan pragmatisme itu? Louis van Gaal, pelatih Bayern, yang berhasil dari Belanda, seperti pelatih Belanda kebanyaan, adalah penganut sistem Total Football. Sistem ini dirintis oleh Rinus Michel, dan berjaya terutama di era 1970-an saat dikapteni oleh Johan Cruyff, dan juga di akhir 1980-an saat Belanda masih memiliki Ruud Gullit dan van Basten. Total Football sejatinya adalah juga zonal marking pressure football, dimana para pemain menerapkan penjagaan per zona di dekatnya (bukan kepada pemain tertentu). Namun bedanya dengan attacking football lainnya, Total Football membolehkan para pemain berotasi dengan sendirinya. Para pemain tidak terpaku di posisi bakunya. Seorang bek pun bisa tiba-tiba maju ke depan, namun kekosongan tempatnya diisi oleh pemain lainnya. Permainan asli dari sistem ini adalah seperti rotasi sepakbola, dimana para pemain berputar bergantian mengoper bola sana-sini sembari mencari celah kosong untuk selanjutnya menghujam ke jantung pertahanan lawan. Penganut Total Football biasanya mendominasi penguasaan bola dan anti dengan sepakbola bertahan. Total Football pun kini telah mengalami modifikasi dengan menyesuaikan diri terhadap perkembangan sepakbola masa kini.
Â
Pertarungan antara Barcelona yang dahsyat dengan sepakbola indahnya melawan Bayern Munich yang mengusung konsep sepakbola menyerang Total Football, mungkin yang lebih ditunggu, dan idealnya seperti itu. Tapi apa hendak mau dikata, di dunia kehidupan nyata, gak selamanya yang ideal itu jadi kenyataan. Kita tunggu saja bagaimana hasil pertandingan malam ini. Apakah Mourinho dengan kemampuan otaknya yang brilyan itu telah menemukan dan akan menerapkan, lagi-lagi, taktik jitu untuk meredam kedigdayaan Total Football yang terkenal dahsyat itu? Ataukah justru Total Football yang justru berhasil menghancurkan kepiawaian suatu taktik, melalui talenta dan skill yang mereka miliki? Bolehkah pertarungan malam ini disebut pertarungan antara Otak melawan Skill dan Talenta? Hopefully, malam ini Mourinho tidak menerapkan sikap pragmatisme yang terlalu berlebihan dengan mengedepankan sistem ultra defensif, manakala mereka unggul lebih dulu nantinya. Salut dan kagum dengan kebrilian-an otak sang maestro taktik itu, tapi tentunya fans sepakbola akan "marah dan kecewa" andaikan keindahan permainan sepakbola melulu, lagi-lagi dirusak oleh sebuah pragmatisme yang mengedepankan target semata sembari menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Let's see tonight.
Â
Hanya sebuah intermezzo, sekaligu pemanasan menyambut World Cup yang akan digelar di Afrika Selatan pada tanggal 11 Juni -11 Juli 2010 ini. Ternyata tinggal kurang dari 3 minggu lagi brur. Wew, hebring deh. Seperti biasa, di kala pentas akbar bola dunia ini, banyak orang di banyak belahan dunia, khususnya di Asia, yang menurun produktivitasnya karena bela-belain begadang demi bisa menyaksikan dashyatnya dan serunya hobi mereka itu. Saya pribadi juga lagi mikir-mikir gimana caranya biar bisa menonton seluruh pertandingan, minimal pertandingan penting, tapi tetap tidak menurunkan produktivitas dan tidak menurunkan waktu kebersamaan bersama keluarga. Sewaktu muda dulu, saya selalu bela-belain begadang, dan hampir semua pertandingan saya tonton. Gak nonton yang lain, gak masalah, tapi tidak dengan sepakbola ini. Saya yakin, para gibol, alias penggila bola yang lain, juga setali tiga uang. Kalau ada yang menanyakan para gibol itu, kenapa sampai segitunya bela-belain demi bola, jawabannya, ya gimana yah. Ya udah begitu, namanya juga hobi, dan bola itu candu. Ibaratnya bola itu jadi segalanya. Apalagi kalau kita mendukung salah satu tim, wew, adrenalin kita terpicu dan jantung jadi deg-deg-an saat menyaksikan pertarungan tim kesayangannya yang berjuang sampai detik terakhir. Ya ya, asal jangan pada stres dan jantungan saja. Karena bola ya tetap bola, dan cuma hiburan semata dan bukan segalanya dari kehidupan kita ini.
Â
Selamat Menonton Final Champions League nanti malam dan selamat menyambut kedatangan pesta sepakbola akbar yang kurang dari 3 minggu ini. Siap-siap begadang yee, kalau perlu siap-siap begadang dan nonton bareng-bareng. Mohon maaf buat yang bukan penggemar bola atau yang tidak suka bola.
Â
Wassalaam,
Â
Papa Fariz & Ayya aka Mas Boedoet
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
Face Book: boedoetsg@gmail.com