Mohon tunggu...
Boedi Santoso
Boedi Santoso Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@CupuNoted\r\n\r\nhttp://notedcupu.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Motor Tua Berjasa

18 Agustus 2014   17:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:14 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi tukang Pak Ojek, motor diberdayakan untuk menggaet penumpang guna mencari setangkup rezeki. Bagi Pak tukang becak, motornya Pak Ojek adalah pesaing di medan laga, dalam memperebutkan penumpang. Namun bagi, bapak gue, motor hanyalah besi tua yang berfungsi untuk menerobos jalan terjal, melewati gurun, melewati lembah… Tapi bapaku bukan Ninja Hatori, jeh.

Motor pada umumnya, diguanakan sebagai alat tranportasi, untuk mengangkut manusia. Namun, hal itu tidak berlaku bagi bapak. Dengan besi tuanya, bapaku iki, naik motor sambil  bonceng  wedus. Mungkin, sampean mengira bapaku iki, spesilisasi tukang ojek hewan. Khusunya wedos (kambing). Bukan, bukan.

Bapaku memang pekerjaanya begitu. Usahanya bergerak di bisnis Njagal hewan, Sapi dan Kambing. Cuma, yang paling kenceng dapat order ya itu, dari kambingnya. Soal jaringan, bapaku iki ancene top -- markotop. Jagone. Se-kecamatan Panggul, Dongko, bapaku yang nguasai. Jaringanya tersebar sampai ke penjuru Nglorok. Bahkan sampek Karangan dan Nggalek kota saja, bapak masih bisa hendel.

Makannya itu, bapak-ku kerjaanya mobile, muter-muter sama motornya. Begitu, telfon gengamnya berdering dari pelanggan yang menawari wedus mendem (kambing keracunan), bapaku langsung geber motornya jadulnya. Lantas tancap gas dengan pemandangan, keranjang dibelakang sebagai tempat wadah wedos…

Motore bapak iki terbilang cukup tua, asap batuk dari knalpotya belum begitu pekat. Sekali di geber, dan di tarik gasnya, knalpotnya ndak pernah batuk sampai ndakik-ndakik. Padahal,  bila dibanding penampakan wujud aslinya, persis bebanding lurus. Bodinya kumal, yang terlihat hanya tanah lempung yang mengering di berbagai sudut knalpot, mesin dan rangkanya. Usut punya usut, sejarahnya, motor ini dulu di datangkan dari Surabaya era 2007-an, persis ketika gue masih menjadi anak SMP. Kala itu, motor bermerk Smash jadul ini, dibeli dengan dengan ragat (biaya) 8jta-an. Seumpama, sekarang di rupiahkan atau di jual, gue yakin ndak ada yang nawar.

Kenapa?. Lha… wong sudah terkenal motor wedos kok. Jok penumpang bagian belakang saja penuh dengan tambalan lakban. Di tambah lagi, baunya benger  dan anyir, khas bau kencing wedos gimbal. Sejenis kambing yang lebat bulunya dan berjenggot.

Merunut sejarahnya ke belakang, gue punya kenangan berdua dengan motor wedos itu. Sewaktu gue SMA. Gue sekolah sering memakai jasa motornya bapak ini. Rutin, sebelum gue pakek buat sekolah, sore harinya tuh motor gue cuci, pakai sabun colek di gang, sebelah rumah. Maklum, waktu jadi anak SMA, paki motor butut tur (nan) jelek, sekaligus bau, itu bikin gengsi.

Pernah suatu ketika, waktu pulang sekolah hujannya deras banget, nah, gue kelupaan ndak markirin tu motor di parkiran resmi. Hujan yang deras telah mengguyur sekujur tubuh motor wedos itu. Setelah beberapa lama, hujan reda. Gue pancal staternya kenceng-kenceng, eh…syial tenan, malah ndak nyala-nyala…! Mogok.

Gue hanya bisa membantin dengan kepala dingin, ‘Juampotttttttt, asyu!’.

Karena saking malunya, motor butut tersebut mogok, gue biarkan saja ia terparkir sendirian di halaman sekolah. Tindakan semacam ini, sebenarnya telah mengindikasikan kalo gue tipikal bocah yang sontoloyo plus ediyan. Gue pulang nebeng temen. Sesampainya di rumah, gue ditanyain bapak;

“Lha… motornya mana, kok ora mok (kamu), gowo?’.

Praktis, alasan yang kelur dari moncong gue, waktu itu. “Motore, mogok Pak, tak tinggal nek sekolahan, isin gowo muleh!”.  “Lha…. Ndiasmu, Teng (nama panggilan gue ketika itu), sesok-sesok ora usah kok gawe ritek.” Saut bapak, trengginas, dan galak. Lantas gue pun ndak berani menatap wajahnya bapak, yang memerah langsat, bak jendral Soedirman ketika menggayang penjajah kolonial Belanda. Mungkin saja, jika hukum karma, berlaku langsung sama Gusti Allah, ubun-ubun gue langsung kesambar petir dan gledek. Gosong, terus botak.

Motor tua nan renta itu, meski pun sering mogok kalo kena hujan, tapi gue ndak pernah absen untuk memakainya. Yang paling berkesan, meskipun hanya sekedar motor bebek, namun gue pakai keluar dari kodrat pabrikannya sebagai motor bebek. Pernah gue tumpangi, gue pecut gasnya layaknya motor tril.

Cerita singkatnya, kondisi jalannya memang menurun, dan ada jendulan (gundukan tanah), begitu jarak 10 meter mendekati gundukan tanah setinggi dengkul orang dewasa, gas gue pacu kenceng. Dan hasilnya. Motor bebek itu menjelma menjadi motor tril yang trengginas. Gue yang bertindak sebagai pengemudi, dan Ibnu (temen sekelas),  yang duduk di jok belakang, terbang, naik 10 kaki di atas permukaan tanah. “Asyuu….. aku sek arep sego, aku sek pengen ngrasakni rabi, ojo ngebut-ngebut cuk”!. Celetuk Ibnu, yang sedang ketakutan nyawanya terancam. Moncong gue hanya bisa berkelakar, “Tenang wae, Nu, sopire wes ngerti medan.

Cilakanya; dua bulan yang lalu, tenaga kanuragan motor itu memasuki usia senjanya. Semenjak motor wedos itu dilarikan ke bengkel dan masuk ruang ICU kemudian di diaknosis untuk turun mesin. Tenaganya ndak setangguh dulu. Menurut cerita bapak, meskipun turu mesin, tapi ketika di ajak menaiki bukit, menjangkau daerah pegunungan seperti Dongo, Karang Tengah, Depok, dan lain sejenisnya.. tenanganya masih mampu. Masih bisa di andalkan.

Meski pun tenaga kanuragannya mengalami penyusutan, tapi jasanya layak untuk di kenang dan di abadikan. Dengan motor wedos ini, bapak mampu menyekolahkan ke tujuh anaknya sekaligus, sampai bangku kuliah. Emang superhero tenan, duet maut antara bapak dan motor wedos  iki.

Setelah gue tersandar, akan jasa-jasanya, sewaktu pulang dari Surabanya… gue slalu rutin membawakan oleh-oleh untuknya; Nosy. Begitu gue ada rumah, motor wedus itu gue rawat, lalu gue mandikan dengan kembang tujuh rupa. Yang dulu berbau anyir, dan pesing, kini badannya wangi, persis bidadari turun dari Angkot.

Sayang, meski pun motor wedos ini sudah wangi, tapi gue masih belum berani bonceng putrinya Pak Kepala Sekolah ke KUA. #Tsahh.

Alamat usaha; PT. Njagal Wedos dan Sapi. Desa kertosono, RT/RW/03/01. Kecamatan Panggul.

Blogger Trenggalek : http://boediinstitute.wordpress.com/

Sering ngetwit nek: @notedCupu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun