Mohon tunggu...
buhari sulaiman
buhari sulaiman Mohon Tunggu... -

Hanya seorang mahasiswa Antropologi saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Selalu Bermenung di Tepi Pantai

9 Oktober 2012   19:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:01 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu bernama Siman, bukan nama asli, sebab nama yang tertera di surat kelahirannya adalah Ahmad Sobari. Tak jelas, dan tak ada yang tahu asal muasal serta alasan mengapa ia mendapat julukan nama itu. Barangkali hanya dia seorang yang tahu, atau bahkan ia juga tak tahu atau malah tak mau tahu. Rambutnya ikal, hitam agak pirang, khas orang pesisir. Kulitnya hampir sewarna dengan rambutnya, cuma sedikit lebih terang.

Umurnya baru sekitar 15 tahun, tapi beban hidupnya membuat penampilannya nampak jauh lebih tua dari umurnya. Ia tinggal di sebuah rumah berdinding bambu, 100 meter dari pantai bersama Ibu dan kedua adiknya, Masisah dan Afif. Umur Masisah 5 tahun lebih muda darinya, sedang Afif masih menetek susu ibunya.

Setiap Jumat sore Siman duduk bermenung memangku kedua lututnya di tepian pantai, sebab Siman berpikir arwah ayahnya yang ditikam maut akibat badai hebat saat melaut akan datang bersama dengan gelombang air laut yang berlarian ke tepi pantai.

Setelah kematian ayahnya, Siman menjadi tulang punggung kaluarga. Ia ikut melaut bersama nelayan-nelayan lain. Meski masih terlalu kecil, Siman cukup lihai menebar pukat, lalu memunguti ikan-ikan yang terjerat, ke dalam keranjang ikan di punggungnya. Ikan-ikan hasil tangkapannya dijajakan oleh ibunya pada penduduk desa dari pintu ke pintu.

Sore-sore ketika ia sedang duduk-duduk bermenung seperti biasa, ia melihat garis lengkung berwarna-warni pada kaki langit batas pandangnya. Tiba-tiba terbesit keinginannya untuk menghampiri bianglala yang menggoda hatinya. Ia berjalan menuju arah sampan pukatnya bertambat, mengangkat sauh, lalu mendayung menuju laut, menuju kaki langit, menuju lengkung spektrum warna yang menggoda. Semakin jauh ia mendayung, semakin pudar warna-warna itu, lalu tak tampak sama sekali. Siman kecewa, ia memutar balik kemudi, lalu pulang ke rumahnya.

Semenjak itu, Siman tak pernah lagi duduk bermenung di tepi pantai sebagaimana ia lakukan setiap Jumat sore. Kenapa? Entahlah.

***

“Ini cerita apa sih? Gak jelas!” komentarmu heran pada sebuah catatan yang kutulis di buku catatanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun