Saya berprofesi sebagai jurnalis televisi di sebuah perusahaan media terbesar di Indonesia. Saat itu, saya tengah menghabiskan cuti, berlibur di Natuna. Namun karena mencintai profesi sebagai jurnalis, saya tetap mengirimkan berita.
Pimpinan redaksi tempat saya bekerja menghubungi, tepat dua hari, setelah bertemu dengan Brigadir Polisi Mudiyanto. Dia bertanya kenapa saya mengirim berita, padahal sedang liburan.
"Mau pindah tugas ke Natuna? Kalau mau, balik ke Batam dulu," ucapnya melalui sambungan telepon.
Mendengar tawaran itu, saya langsung semangat. Saya buru-buru balik ke Batam menyiapkan semua dokumen agar secepatnya bisa pindah ke Natuna.
Tepat satu tahun lalu, saya memutuskan pindah ke Natuna. Jauh dari hingar-bingar kehidupan perkotaan.
Natuna merupakan daerah kepulauan terluar di bagian utara Indonesia yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Natuna yang disebut sebagai mutiara di ujung Utara Negeri ini memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Kabupaten ini merupakan satu dari sekian banyak daerah penghasil minyak dan gas terbesar di Indonesia, penghasil ikan, dan memiliki alam yang sangat indah.
Setelah memantapkan diri menetap di Natuna, cobaan pun datang menghampiri. Saya kesulitan dalam mengirimkan berita. Itu terjadi setelah saya bertugas di minggu kedua pada Juli lalu.
Sebagai seorang jurnalis televisi, saya dituntut untuk mengirimkan berita peristiwa secepatnya. Saya harus mengedit video dan naskah berita terlebih dahulu.
Terkadang kapasitas video yang sudah diedit mencapai 1 Gigabyte (GB). Hal ini membutuhkan banyak waktu saat diunggah ke email dan dikirim ke redaksi.
Saya harus berlomba dengan jurnalis dari televisi sebelah. Kecepatan internet sangat dibutuhkan dalam menjalankan tugas ini.