Aa Gym yang dahulu sempat digelari sebagai Ustadz Semua Umat dan dikabarkan mempunyai Ilmu laduni ini, pada awal mula kemunculannya di ruang publik, bukanlah termasuk penceramah agama yang menyukai topik soal poligami dalam setiap ceramahnya. Bahkan terkesan selalu berusaha keras untuk menghindari pembahasan soal poligami. Sekitar delapan tahun yang lalu di saat perdebatan soal poligami lagi semarak merebak di ruang publik, pernah ada salah satu jamaah yang hadir di acara ceramahnya -kalau tidak salah ingat diselenggarakan di gedung Sucofindo Jakarta- yang menanyakan pendapat dan sikap Aa Gym berkaitan dengan soal poligami. Aa Gym waktu itu menjawab yang pada intinya dapat dikesankan sebagai tidak menyukai dan menyetujui praktik poligami. “Ah, satu istri saja tak habis-habis kok”, begitu kurang lebih jawaban yang diberikannya sembari memandang mesra penuh arti ke arah istrinya, Ninih Muthmainnah atau teh Ninih. Beberapa tahun kemudian atau tepatnya di tahun 2006, para pengagum dan jamaah pengikutnya Aa Gym sempat dikejutkan oleh kemunculan berita yang menyebutkan bahwa Aa Gym menikah lagi, alias melakukan poligami. Di awalnya Aa Gym sempat membantah berita itu, namun akhirnya Aa Gym pun kemudian mengakui bahwa dirinya telah mempersunting janda muda nan cantik rupawan yang berusia 37 tahun sebagai istri keduanya. Isteri keduanya itu bernama Alfarini Eridani, atau dikalangan para jamaah pengikutnya biasa memanggilnya dengan nama teh Rini. Konon katanya, saat ini dari pernikahannya dengan isteri keduanya, Aa Gym telah dikaruniai 2 orang anak. Setelah di perkawinan sebelumnya dengan isteri pertamanya, Aa Gym telah dikaruniai tujuh orang anak. * “Awalnya, saya tidak tertarik mengomentari isu yang berkembang. Tentang isu Teh Ninih menggugat cerai ke Pengadilan Agama itu adalah berita sangat palsu, tidak berdasar dan dusta”, demikian kata Aa Gym saat membantah tentang kabar perceraiannya dengan istri pertamanya, sebagaimana dikutip dari situs berita online. Senada dengan bantahan dari Aa Gym itu, tak ketinggalan para pengagum dan jamaah pengikut setianya juga turut serta mengamini isi bantahan soal kasus perceraian antara Aa Gym dengan teh Ninih. Sampai saat ini, belum ada berita konfirmasi dari pihak teh Ninih tentang kebenaran perceraiannya Aa Gym dengan isteri pertamanya itu. Walau kalangan pengikut di ring satunya, bisik-bisik yang memberikan validasi kebenaran atas berita tentang kasus perceraian itu sudah santer beredar di kalangan terbatas. Ketua MUI kota Bandung, termasuk kalangan yang memberikan pembenaran atas berita itu, yang konon kabarnya, pembenaran itu didapatkannya langsung dari teh Ninih melalui sms. Entahlah, apa yang nantinya akan disampaikan oleh Aa Gym dalam penjelasannya soal perceraian dengan istri pertamanya itu. * Poligami memang diperbolehkan dalam ajaran agama Islam, dengan batasan maksimalnya poligami dengan 4 orang isteri. termasuk juga soal aturan berlaku adil dalam perkawinan poligami yang dijalaninya itu. Biasanya, soal berlaku adil inilah yang menjadi sumber dari pro dan kontra didalam perdebatan soal poligami ini, antara mereka yang menerima atau mungkin bahkan pro poligami dengan mereka yang kontra atau antipati terhadap aturan diperbolehkannya poligami ini. Fiqih dalam hukum Islam sesungguhnya sudah menerangkan secara jelas dan baku bahwa hal berlaku adil ini berlaku terhadap segala sesuatu dalam konteks yang sifatnya kuantitatif, sesuatu yang bisa terlihat dan terukur, bukan yang bersifat kualitatif. Dalam arti, adil dalam memberikan materi dan nafkah lahir serta perongkosan kehidupan bagi isteri-isterinya beserta anak-anaknya. Berlaku adil dalam melakukan penggiliran terhadap isteri-isterinya itu, serta hal-hal yang terukur lainnya. Tidak diaturnya segala sesuatu dalam soal yang bersifat kualitatif, seperti kadar kualitatif cintanya terhadap masing-masing isterinya itu, lantaran soal kualitatif itu memang sangat sulit untuk melihat dan mengukurnya. Adil, dalam hal ini mungkin dapat dianalogikan dengan ukuran perlakuan adilnya orangtua terhadap para anak-anaknya. Dan memang di perkawinan poligami ini, di soal-soal yang bersifat kualitatif inilah sumber dari persoalan utama terjadinya percekcokan dan perselisihan tiada henti dalam rumah tangga. Salah satunya, biasanya ada gejolak hati soal ketidak relaan dari isteri pertamanya yang semula merasa semua hal yang tadinya utuh 100% merupakan miliknya, kemudian menjadi harus dibagi dengan isteri lainnya yang dianggapnya sebagai pesaing dan pendatang baru. Isteri pertama biasanya dinikahinya saat situasi sosial dan ekonominya masih pas-pasan, atau bahkan segala sesuatunya masih diliputi oleh serba kekurangan. Setelah keserba kurangan itu menjelma menjadi keserba lebihan, tiba-tiba saja hadir sosok baru yang menjadi ikutan berhak menikmatinya. Apalagi jika sosok baru itu terhitung berusia lebih muda, lebih cantik, dan tentunya lebih segar menggairahkan. Soal kualitatif yang seperti ini suka tidak suka merembet ke hal yang kuantitatif. Pada awal berumah tangga, semula sang istri hanya mampu dibelikan oleh suaminya kendaraan sepeda motor saja. Lalu kondisi sosial ekonomi rumah tangga membaik, sepeda motor berubah menjadi kendaraan mobil roda empat. Jika semula bagi isterinya, mobil sekelas Honda Grand CRV atau Toyota Fortuner sudah sangat disyukurinya, sehingga mendatangkan kegembiraan luar biasa. Lalu, apabila kemudian hadir sosok baru sebagai isteri kedua, maka biasanya mobil yang sudah tergolong mobil wah itu menjadi tak cukup lagi untuk mendatangkan kegembiraan dengan kadar yang sama. Mungkin bahkan mobil sekelas Toyota Alpard atau Velfire masih juga tak akan mampu mendatangkan kegembiraan yang luar biasa bagi isteri pertamanya. Lantaran pesaingnya, sang isteri kedua, tentu harus diberikan mobil serupa, jika mengikuti kaidah hukum fiqih soal adil dalam memberi dan memperlakukan para isterinya. Berkait dengan soal poligami ini, ada ulama yang memberikan nasihat tentang poligami ini kepada para pengikutnya. Yaitu, agama memang memperbolehkan poligami, dan aturan soal adil itu memang hanya mengatur soal hal-hal yang bersifat kuantitatif saja. Sehingga saat segala sesuatunya masih bisa dibagi secara serba berkelebihan maka semuanya mungkin masih bisa dikendalikan dan membahagiakan. Namun, jika sedikit saja terjadi keberkurangan dari semula, maka bersiaplah menghadapi hal yang tak akan bisa lagi dikendalikannya dan tak lagi bisa membahagiakannya. Oleh sebab itu, sang ulama tadi mewanti-wanti bahwa poligami itu memang mubah dan halal. Hukum syariat agama mengatakannya begitu, tak elok dan tak semestinya hamba-Nya menggugat sesuatu hukum yang Allah SWT sudah putuskan demikian adanya. Namun, jika berbicara mengenai segala hal yang berkaitan dengan sunnah Nabi SAW dan amalan ibadah yang berhadiah pahala surgawi, maka sesungguhnya poligami itu sepantasnya memanglah hanya merupakan amalannya para Ulama Warasatul Anbiya yang sekelasnya para Waliyullah saja. Lantaran sungguh banyak masalah dan persoalan yang akan ditunainya, jika manusia biasa secara sembarangan mencoba untuk mempraktikkannya. Terkecuali memang ada permasalahan tertentu atau situasi dan kondisi yang spesifik sehingga poligami merupakan solusinya atau mungkin bahkan emergency exit-nya. Lalu, apakah karena itu maka poligami sampai jumlah maksimal 4 isteri yang diperbolehkan oleh agama itu perlu dilarang ?. Dan, apakah perlu dibuat syarat dan aturan tambahan baru untuk mempersulitnya seperti misalnya diharuskan adanya terlebih dahulu surat persetujuan dari isteri pertamanya ?. Menolak sesuatu yang telah jelas hukumnya di dalam agama -bagi para pemeluknya- adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Apalagi jika berniat merubah atau bahkan menghapuskan hukum asalinya, yaitu mubah dan halal. Termasuk juga tak seyogyanya mengada-adakan sesuatu baru yang menyalahi kaidah fiqihnya. Seperti salah satu misalnya, soal isteri pertama harus mengetahui suaminya kawin lagi yang sebenarnya sudah jelas merupakan suatu keharusan yang secara otomatis sudah diatur di fiqihnya. Aturan soal kunjungan dan penggiliran yang adil terhadap para isterinya itu, jelas secara otomatis berarti mensyaratkan tidak bolehnya sang suami menutupi praktik poligaminya terhadap isteri pertamanya. Jika soal soal kunjungan dan penggiliran yang adil terhadap para isterinya itu tidak dijalankan dengan benar, maka sesungguhnya disamping ada dosa soal kebohongan, juga ada dosa soal tidak menjalankan aturan fiqih soal poligami. Atau dalam kata lain, sesungguhnya ia bukan sedang mempraktikkan poligami yang memang diperbolehkan oleh hukum agama. Tetapi, sebenarnya yang sedang dijalaninya adalah praktik perselingkuhan dengan berkerudung dan berjubahkan hukum agama. Hal lainnya, tanpa mengadakan aturan baru yang dipersepsikan oleh manusia agar bisa lebih mempersulitnya dengan adanya syarat tambahan baru yang mengada-ada itu, ternyata bagi mereka para isteri yang benar-benar merasa tidak mampu atau tak sanggup menghadapi situasi dimadu dengan berbagi lantaran hadirnya isteri baru itu, masih ada jalan keluarnya. Yaitu, meminta talak cerai dari suaminya dengan mengajukan gugatan cerainya ke Pengadilan Agama. Mungkin sekarang ini yang sedang dilakoni oleh teh Ninih adalah mengajari dan mengajak kepada kita untuk mentafakuri soal poligami beserta soal hak isteri untuk melakukan gugat cerai itu. Benarkah begitu ?. Wallahualambishshawab. *
- Artikel lain : ‘#Stayherebachdim’, ‘Miss Aceh & Benturan Antar Peradaban Dunia’, ‘Malam 1 Suro’, ‘80% Gadis Tak Lagi Perawan’, ‘Mbah Marijan : Hangrungkepi Momongane’, ‘Sultan HB XI & Perjanjian Giyanti’, ‘Mentafakuri Fenomena Aneh di Gempa Minang’.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H