Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sultan HB XI, Akankah Masih Berkuasa ?

14 Desember 2010   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:45 2241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana di masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II (1726-1749) dipenuhi dengan pemberontakan dan intrik-intrik politik kekuasaan diantara pangeran di dalam keraton.

Berawal dari tindakan Sunan Paku Buwono II yang mengusir dan membuang Pangeran Mangkunegoro ke Sri Lanka, telah membuat Raden Mas Said melakukan pemberontakan.

Pangeran Mangkunegoro ini semula Putera Mahkota yang berhak atas tahta kerajaan menggantikan kedudukan ayahandanya, yaitu Sunan Paku Buwono I. Akan tetapi kemudian hak atas tahta itu telah tergeser oleh adiknya, Pangeran Adipati Anom.

Didalam menghadapi pemberontakan Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyawa yang merupakan putra dari Pangeran Mangkunegoro sekaligus juga menantu dari Pangeran Mangkubumi itu, Sunan Paku Buwana II menugaskan kepada Pangeran Mangkubumi untuk memimpin pasukan Kasunanan di dalam peperangan menghadapi pasukan pemberontak Raden Mas Said.

Penugasan itu disertai dengan janji hadiah dan imbalan jika Pangeran Mangkubumi mampu meredam pemberontakan itu maka kepadanya akan diberikan hadiah tanah di Sukowati. Daerah itu, di zaman sekarang ini dikenal dengan nama kabupaten Sragen.

  • Sunan Paku Buwono II Ingkar Janji .

Pangeran Mangkubumi kemudian berhasil meredam pemberontakan itu, akan tetapi kemudian Sunan Paku Buwana II dianggap telah ingkar janji. Realisasi dari besarnya hadiah imbalan yang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi itu ternyata hanya sepertiga saja dari luas wilayah yang semula telah dijanjikannya.

Semenjak itu, mulailah Pangeran Mangkubumi melakukan aliansi dengan Raden Mas Said –yang sesungguhnya belum punah kekuatan pasukannya- untuk bekerjasama melakukan pemberontakan terhadap Sunan Paku Buwono II.

Ditengah masa pemberontakan itu, Sunan Paku Buwono II meninggal dunia, yang kemudian Putera Mahkota naik tahta menggantikannya menjadi Sunan Paku Buwono III.

  • Perpecahan Aliansi Pemberontakan .

Aliansi pemberontakan Pangeran Mangkubumi yang bergerilya di wilayah sebelah barat kerajaan dengan Raden Mas Said yang bergerilya dari sebelah selatan dan timur kerajaan itu, semakin hari semakin menjepit posisi ibukota kerajaan.

Meluasnya wilayah yang dikuasai pemberontak juga membuat Kumpeni Belanda yang berkuasa di daerah pesisir Jawa bagian utara menjadi terganggu kepentingan ekonomi bisnis perdagangannya.

Kegiatan pertanian di wilayah Mataram yang terganggu akibat pemberontakan itu telah membuat pasokan dan suplai komoditi perdagangannya Kumpeni Belanda yang berasal dari wilayah Mataram menjadi terganggu.

Kumpeni Belanda lalu mengusulkan kepada Sunan Paku Buwono III suatu solusi untuk meredam pemberontakan agar tidak berlarut-larut dengan memecah jalinan aliansi yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said itu.

Lantaran pemberontakan Pangeran Mangkubumi didasari oleh rasa tidak puas atas pemberian wilayah kekuasaan sebagai hadiahnya, maka solusi yang ditawarkan itu adalah dengan menawarkan kepada Pangeran Mangkubumi atas bagian wilayah kerajaan Mataram.

Situasi dan keadaan dari pasukan tempurnya Sunan Paku Buwono III di medan pertempuran yang semakin hari semakin melemah kekuatannya, membuat posisinya menjadi terjepit.

Tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan tahtanya selain menyetujui usulan solusi itu dengan memberikan wewenang kepada Kumpeni Belanda untuk melakukan pembagian atas wilayah kerajaannya.

  • Perjanjian Giyanti (23 September 1754) .

Implementasi dari solusi itu kemudian dituangkan ke dalam perjanjian Giyanti atau dikenal juga dengan istilah peristiwa ‘Palihan Nagari’.

Perjanjian membelah Mataram menjadi tiga wilayah itulah yang menjadi awal dari berdirinya Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat.

Daerah pantai utara Jawa tetap menjadi wilayah kekuasaannya Kumpeni Belanda. Dimana pihak Kumpeni Belanda berkuasa dan berdaulat penuh atas wilayah itu.

Berdaulat penuh dalam arti kata berwenang penuh atas administrasi pemerintahannya, penataan dan pengaturan serta pengangkatan para pejabat birokrat pemerintahan, menerapkan aturan pungutan dan pajak serta segala hal yang berhubungan dengan hak-hak sebuah pemerintahan yang berdaulat penuh atas wilayah itu .

Lalu separo dari sisa wilayah kerajaan Mataram itu dibagi dua. Wilayah yang ada disebelah barat kali Opak merupakan daerah kekuasaannya Pangeran Mangkubumi, sedangkan wilayah yang ada disebelah timur kali Opak merupakan daerah kekuasaannya Sunan Paku Buwono III.

Diatas separo wilayah kerajaan Mataram itu, Pangeran Mangkubumi diangkat oleh Kumpeni Belanda sebagai ‘Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah Ingkang Jumeneng Kaping Setunggal’.

Di dalam perjanjian itu juga dicantumkan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, termasuk tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran.

Disamping itu Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta dengan pewaris penerus tahta kerajaannya harus selalu meminta persetujuan dari Kumpeni Belanda sebelum mengangkat dan/atau memberhentikan Pepatih Dalem (Rijks Bestuurder) dan para Bupati.

Mereka yang diangkat sebagai Pepatih Dalem dan para Bupati itu, sebelum memulai masa jabatan dan penugasannya masing-masing diharuskan untuk melakukan sumpah setia kepada Kumpeni Belanda.

Tak lupa, di dalam perjanjian itu juga diatur klausul yang memberikan wewenang kepada pihak Kumpeni Belanda untuk menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu.

Selain itu, Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat juga diharuskan membantu Kasunanan Surakarto Hadiningrat jika diperlukan.

Dengan demikian, sejarah awal kelahiran dari berdirinya Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat itu tak dapat dilepaskan dari kesepakatan yang tertuang didalam perjanjian Giyanti tersebut diatas, lengkap dengan segala konsekuensi dan kompensasi yang ditimbulkannya.

  • Versi Lain dari Perjanjian Giyanti .

Berkait dengan alasan dan dasar pertimbangan yang membuat perjanjian Giyanti ini diusulkan dan berhasil dilaksanakan, ada versi lain yang menyebutkannya secara berbeda.

Versi lainnya itu menyebutkan bahwa inisiatif dari munculnya solusi yang menjadi awal dari terjadinya perjanjian Giyanti itu sebenarnya berawal dari usulan dan inisiatif Pangeran Mangkubumi kepada pihak Kumpeni Belanda yang berkedudukan di Semarang.

Ditengah posisi pasukan tempur Kasunanan terdesak di segala front, terjadi perpecahan didalam aliansi pemberontakan yang diprakarsai bersama oleh Pangeran Mangkubumi dan menantunya, Raden Mas Said.

Perpecahan yang diakibatkan oleh gesekan persaingan menuju ke supremasi tunggal, lataran terjadi pergeseran di perimbanagan kekuatan.

Semakin meluasnya dukungan terhadap Raden Mas Said sehingga semakin membuat tambah kuatnya jumlah dan kekuatan pasukan maupun luasnya penguasaan wilayah, telah membuat khawatir Pangeran Mangkubumi.

Hal lainnya juga dipicu oleh keinginan Raden Mas Said yang ingin menjadi raja penguasa tunggal atas kerajaan Mataram jika nantinya berhasil ditaklukkan.

Itulah yang mendorong Pangeran Mangkubumi sampai kepada keputusan untuk memberikan tawaran damai kepada Kumpeni Belanda dan menjalin perdamaian serta melakukan penggabungan tiga kekuatan, Kumpeni Belanda dan Pangeran Mangkubumi serta Sunan Paku Buwono III, yang selanjutnya ketiga kekuatan itu akan bersama-sama menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran damainya itu disertai dengan permintaan imbalan atas separo wilayah kerajaan Mataram, namun dengan janji bahwa kerajaan baru yang akan didirikannya diatas separo wilayah Mataram itu akan tunduk dan bersahabat dengan pihak Kumpeni Belanda.

Entah benar entah tidak, konon kabar rumornya yang validitasnya tidak diketahui menyebutkan bahwa sebagai tanda keseriusan atas tawarannya itu Pangeran Mangkubumi menyerahkan Raden Ayu Retnosari yang berasal dari Sukowati kepada pihak Kumpeni Belanda sebagai tanda keteguhan dari janji persahabatannya.

  • Implikasi dari Perjanjian Giyanti .

Terlepas dari versi mana yang benar, tapi yang jelas bahwa berawal dari Perjanjian Giyanti itu posisi Raden Mas Said menjadi teralienisasi sehingga membuatnya terdesak dan terjepit, sehingga perlawanannya menjadi dapat teredam laju penguasaan wilayah yang dapat direbutnya.

Dan, isi dan syarat yang tertuang dari Perjanjian Giyanti itu sendiri secara jelas telah menunjukkan kekuasaan Kumpeni Belanda atas Mataram semakin teguh.

Dimana walau secara de jure pihak Kumpeni Belanda tidak berkuasa atas Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, namun dengan segala syarat yang ada didalam perjanjian itu sama halnya dengan secara de jure sebenarnya pihak Kumpeni Belanda yang menjadi penguasanya.

Syarat bahwasanya Pepatih Dalem (Rijks Bestuurder) dan para Bupati harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Kumpeni Belanda dan mengangkat sumpah setia kepada Kumpeni Belanda, secara de facto dan de jure telah menempatkan pihak Kumpeni Belanda sejatinya sebagai yang dipertuan oleh para pejabat yang diangkat itu.

Bahkan pada praktiknya, seringkali usulan dari pihak Kasultanan atas posisi Pepatih Dalem dan para Bupati itu ditolak oleh pihak Kumpeni Belanda, dan sebagai gantinya diangkat Pepatih Dalem yang merupakan orang pilihan dan tunjukannya pihak Kumpeni Belanda.

Padahal sesungguhnya posisi dan kedudukan dari Pepatih Dalem dan para Bupati itulah yang memberikan warna dalam setiap kebijakan pemerintahan maupun menjadi penentu didalam berputarnya roda pemerintahan sehari-hari.

  • Kekuasaan Sultan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat .

Terkait dengan itu semua dan dengan perkembangan terkini dari polemik atas jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terlihat seperti ada benang merahnya.

Hakikat dari isi Perjanjian Giyanti atau Perjanjian-Perjanjian lain yang dibuat pada setiap kesempatan seorang Raja baru di Kasultanan Yogyakarta hendak dinobatkan, adalah soal syarat dan aturan pembatasan atas implementasi wewenang kekuasaan Sultan atas wilayah kerajaannya.

Sultan di Kasultanan memang berwenang penuh di dalam tembok keratonnya. Walau terkadang juga harus mengakomodasi kepentingan dari kelompok-kelompok Pangeran yang merupakan kerabat dari Sultan yang terdahulu.

Namun diluar tembok keratonnya, wewenangnya itu dibatasi dan dicampuri oleh pihak kekuatan kelompok politik lainnya, yang di zaman dahulu kala adalah pihak Kumpeni Belanda. Termasuk didalamnya soal wewenang memegang kendali penuh atas aparat birokrasi dan jalannya roda pemerintahan sehari-hari di wilayah kerajaannya.

Dimana kekuasaan eksekutif dan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari itu tidak dipegang dan dilaksanakan oleh Sultan, namun dipegang oleh Pepatih Dalem dan para Bupati.

Dimana untuk memilih dan mengangkat Pepatih Dalem dan para Bupati harus mendapatkan persetujuan dari pihak lainnya.

Dan itu artinya, seorang Sultan di Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat semenjak dari awal berdirinya kerajaan itu tidaklah pernah mempunyai kekuasaan eksekutif dan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari secara sepenuhnya.

Bahkan didalam mengangkat Pepatih Dalem dan para Bupati itu disamping harus mendapatkan persetujuan dari pihak lain diluar dirinya sebagai Sultan, juga harus mengangkat sumpah setia kepada pihak lainnya itu.

  • RUU Keistimewaan Propinsi Yogyakarta .

Berkait dengan itu, Sultan di zaman Republik Indonesia ini juga menjabat sebagai Gubernur yang berarti adalah Kepala daerah dan Kepala Pemerintahan atas wilayah propinsinya.

Hal itu secara hakikatnya sama halnya dengan posisi Pepatih Dalem berada didalam genggaman satu tangan, tangan kekuasaan Sultan.

Dimana hal yang seperti itu malahan tak pernah terjadi di kekuasaannya para Sultan di Kasultanan Ngayogyokarto Hadingrat pada awal masa berdirinya sampai ke zaman berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Jika kemudian RUU keistimewaan propinsi Yogyakarta kemudian mengatur yang bahwasanya jabatan Gubernur tidak lagi secara otomatis dijabat oleh Sultan secara masa jabatan seumur hidup dan turun temurun, maka hal itu seperti mengembalikan lingkup kekuasaan Sultan ke awal muasalnya.

Awal muasal di zaman kelahirannya yang diberdirikan berdasarkan atas perjanjian Giyanti.

Dimana kekuasaan eksekutif dan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari itu di wilayahnya akan dipegang dan dilaksanakan oleh Pepatih Dalem dan para Bupati.

Dimana pejabat Pepatih Dalem dan para Bupati itu disamping harus mendapatkan persetujuan dari pihak lain diluar dirinya sebagai Sultan, juga harus mengangkat sumpah setia kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas Republik Indonesia.

  • Sri Sultan Hamengku Buwono XI .

Semenjak peristiwa Proklamasi Kemerdekaan republik Indonesia, Sultan di Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Hamengku Buwono X, disamping menjadi Sultan juga secara otomatis menjabat sebagai Gubernur dengan masa jabatan seumur hidup.

Umur manusia tentu ada batas akhirnya, dan tahta atas Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat pun akan beralih kepada Sultan Hamengku Buwono XI.

Akankah Sultan Hamengku Buwono XI juga akan secara otomatis menjabat sebagai Gubernur dengan masa jabatan seumur hidup ?.

Itu tentunya tergantung dari bagaimana isi dari RUU keistimewaan propinsi Yogyakarta akan disusun dan disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Akhirulkalam, akankah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono XI masih akan sama seperti di zaman kakek dan ayahnya ?. Ataukah, kekuasaannya akan kembali sama seperti di zaman kakek-kakek buyutnya ?.

Wallahualambishsahwab.

*

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun