Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Uji Loyalitas Pelanggan SPBU Pertamina

25 November 2010   17:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi, pemerintah berencana akan membatasi penjualan BBM jenis Premium di SPBU Pertamina. Konsekuensinya, para konsumen di SPBU Pertamina itu akan diarahkan untuk membeli BBM jenis Pertamax atau Pertamax Plus.

Pada beberapa waktu yang lalu seperti yang pernah disinggung di artikel yang berjudul Selamat Tinggal SPBU Pertamina, sebagian dari konsumen BBM jenis Premium yang tadinya membeli di SPBU Pertamina -terkait dengan pembatasan dari pemerintah itu- telah berencana akan beralih menjadi konsumennya SPBU non Pertamina atau SPBU milik swasta asing seperti SPBU Shell atau SPBU Total atau SPBU Petronas.

Hal tersebut juga sudah diendus oleh para investor pemilik SPBU Pertamina, dimana mereka itulah sesungguhnya yang merupakan pemilik dari SPBU yang oleh sebagian kalangan disebut dengan sebutan SPBU Pertamina.

Mereka para investor itulah yang telah mengeluarkan uang dalam jumlah tak kecil dalam menanamkan uangnya untuk membangun SPBU Pertamina. Bahkan konon untuk SPBU yang berlokasi di kota-kota besar nilai investasinya tak kurang dari bilangan puluhan milyar rupiah.

Pengusaha SPBU Pertamina itulah yang merasa risau dengan rencana para konsumennya yang akan beralih ke SPBU non Pertamina, lantaran merisaukan nasib dari investasi puluhan milyar yang telah dikeluarkannya itu.

Sesuatu kerisauan yang wajar dan masuk akal, yang tentu saja kerisauan para pengusaha SPBU itu mungkin tak dirasakan oleh para pegawai atau karyawan Pertamina, lantaran beralihnya konsumen SPBU itu bagi para pegawai atau karyawan Pertamina itu tak akan berpengaruh kepada gaji atau pendapatannya.

Pengusaha SPBU Pertamina itu mau rugi pun tak akan berimbas kepada terkuranginya gaji dan pendapatannya para pegawai atau karyawan Pertamina.

Rupanya kerisauan para pengusaha SPBU Pertamina itu terpantau juga oleh para petinggi Pertamina. Dan rupanya para petinggi Pertamina itu sudah menyiapkan jurus atau strategi ‘rahasia’ untuk mengatasi kemunkinan terjadinya eksodus dari para konsumennya.

Ada (strategi), tapi masih rahasia. Itu bagian dari Pertamina untuk berkompetisi, jadi dengan adanya pembatasan BBM subsidi, Pertamina harus siap bersaing”, kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Djaelani Sutomo saat ditanyai tentang dampak dari kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang akan membuat persaingan semakin ‘panas’ antara SPBU Pertamina dengan SPBU asing, seperti dikutip dari berita online di detikfinance.com yang berjudul ‘Pertamina Siapkan Strategi 'Rahasia' Untuk Bersaing dengan SPBU Asing’.

Apakah strategi ‘rahasia’ itu akan cukup ampuh menjadi penghadang laju beralihnya konsumen SPBU Pertamina ke SPBU non Pertamina ?.

Waktu jua yang menjawabnya, dan selama waktu itu pulalah para pengusaha SPBU Pertamina masih patut untuk merasa risau dan was-was.

Sesungguhnya untuk mengurangi rasa was-was dan khawatir dari para investornya itu, pihak Pertamina sebagai awal penjajakan dari kemungkinan beralihnya para konsumen SPBU Pertamina ke SPBU non Pertamina, tak ada salahnya jika mulai melakukan survai loyalitas para pelanggannya.

Survai yang meliputi gambaran tingkat loyalitasnya, serta gambaran terhadap hal-hal yang akan membuat mereka para pelanggannya itu tak tergiur untuk beralih ke SPBU non Pertamina.

Dan, tak perlu disesali jikalau hasilnya ternyata tingkat loyalitas para pelanggannya rendah, serta sebagian besar dari para pelanggannya itu berencana akan beralih menjadi konsumennya SPBU non Pertamina.

Karena bisa jadi, rendahnya tingkat loyalitas para pelanggannya itu merupakan dampak logis dari sekian lamanya tumpukan rasa kecewa dan ketidak puasan dari pelanggannya yang diabaikan alias tak digubris oleh Pertamina.

Nah, para pembaca yang budiman, berkait dengan kemungkinan akan beralihnya konsumen SPBU Pertamina, maka akankah anda juga termasuk pelanggan yang akan akan beralih ke SPBU non Pertamina ?.

Beralih kemana ?, ke SPBU Shell atau SPBU Total atau SPBU Petronas ?.

Apa alasannya ?, dari segi harga kah ?, kualitas BBM-nya kah ?, pelayanannya ?, jaminan ketepatan literan-nya ?, atau karena apa ?.

Mengingat konsumen adalah raja yang mempunyai hak dan kebebasan penuh untuk memilih tempat dimana ia akan membelanjakan uangnya, di SPBU Pertamina atau di SPBU non Pertamina. Oleh sebab itu, jika anda berkenan, maka dipersilahkan untuk memberikan jawabannya di kolom tanggapan dan komentar yang tersedia dibawah artikel ini. Dan, atas jawaban yang diberikan, dihaturkan terimakasih.

Bagaimana jawaban anda ?. Siap beralih menjadi konsumennya SPBU Shell atau SPBU Total atau SPBU Petronas ?. Dan, apa alasannya ?.

Akhirulkalam, pola pemerintah yang membatasi penjualan BBM jenis Premium agar beralih ke BBM jenis Pertmax atau Pertamax Plus ini pada hakikatnya adalah kebijakan kenaikan harga BBM. Dimana kenaikan itu akan memicu kenaikan di komoditi yang lainnya, selanjutnya akan mendongkrak kenaikan biaya hidup.

Semoga saja, besarnya pendapatan kita menjadi terdongkrak menjadi naik pula. Paling tidak besaran atau tingkat kenaikan pendapatan kita itu sebanding dan setara dengan tingkat kenaikan biaya hidup akibat dari kebijakan itu.

Jika tidak, maka sama halnya dengan kita tekor. Ya, tekor, lantaran kita hidup di suatu suasana dimana tingkat pendapatan kita berstandar lokal namun tingkat biaya hidupnya distandarkan oleh pemerintah menjadi berstandar internasional.

Wallahualambishshawab.

*

  • Foto ilustrasi merupakan hasil copypaste dari :  sini ,  sini ,  sini ,  sini .

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun